Senin, 22 September 2008

Korupsi ”Harus Berjemaah”

Korupsi ”Harus Berjemaah”
20 September 2008
Oleh
Ruddy Agusyanto

Saat ini sedang hangat-hangatnya pengungkapan kasus-kasus korupsi para pejabat, baik pejabat dari institusi eksekutif, legislatif maupun yudikatif mau pun dari lembaga lembaga non-departemen. Yang menarik adalah tindak pidana korupsi itu dilakukan secara ‘berjemaah’. Banyak pihak berpendapat bahwa para pemimpin bangsa Indonesia ini sudah mengalami ‘degradasi moral’, apalagi pendapat dari kalangan religius. Apakah memang demikian? Atau ‘sistem ‘kontrol-monitoring-koordinasi’ di organisasi lembaga dan jawatan negara memang tidak memadai?
Organisasi dibangun dari suatu keputusan yang disadari oleh individu atau sekumpulan individu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu melalui kerjasama dengan disiplin yang tinggi atas sumberdaya-sumberdaya manusia dan sumberdaya-sumberdaya material. Oleh karena itu, organisasi sekecil atau sesederhana apapun akan membutuhkan kontrol dan monitoring terhadap hubungan-hubungan antara tujuan dengan tata cara dan hasil yang akan dicapai. Setiap kontrol dan monitoring ini mengimplikasikan suatu proses disipliner yang disadari oleh masing-masing pimpinan atau pusat power organisasi dalam mengadaptasi struktur-struktur internal ke dalam persepsi anggotanya tentang kondisi eksternal mereka.
Dengan kata lain, yang namanya organisasi selalu melibatkan suatu kerjasama sejumlah sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik ke dalam suatu mekanisme kontrol, monitoring dan koordinasi (KMK) yang cermat dan rapih demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang dikehendaki. Tanpa adanya KMK - tujuan-tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai. Tidak hanya itu, fungsi kontrol, monitoring dan koordinasi, sumberdaya-sumberdaya manusia dan material juga bisa diperhitungkan dan direncanakan untuk menghadapi fluktuasi kondisi ekternal yang menghadang di perjalanan. Dengan demikian, sistem kontrol, monitoring dan koordinasi dapat dikatakan mempunyai peran yang krusial atau merupakan ‘jantung’ bagi sebuah organisasi dalam mencapai tujuan atau targetnya.

Pengelompokan Sosial dalam Organisasi
Sistem KMK tentunya telah dirancang sedemikian rupa oleh organisasi di lembaga lembaga tinggi negara seperti DPR, Mahkamah Agung, departemen dan badan badan non-departemen, sampai ke pemerintahan daerah. Pada masing-masing unit dan sub-unit di dalamnya terjalin kerjasama dan saling monitoring sebagai kontrol terhadap kinerja dan pencapaian target. Bahkan diciptakan pula KMK interdepartemental, yakni antar organisasi/institusi di lingkungan legislatif, eksekutif, yudikatif. Itu bisa dalam bentuk komisi atau panitia tetap, MOU, SKB, badan koordinasi. Sehingga tindakan penyimpangan apapun sulit untuk ‘lolos’ dari cakupan sistem KMK yang ada.
Namun, manusia dalam upaya memenuhi hajat hidupnya selalu membutuhkan orang lain, memerlukan ‘kerja sama’ atau hubungan sosial satu sama lain baik secara/bersifat horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu, pengelompokan sosial tidak bisa dihindarkan dan akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam organisasi. Sementara di sisi lain, manusia juga saling bersaing dan memanipulasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Maka dalam kehidupan organisasi bisa terdapat individu-individu/kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain, saling bekerja sama demi tujuan bersama (target-target organisasi) tapi juga saling bersaing dan saling memanipulasi untuk kepentingan-kepentingan individu atau kelompok.
Yang terjadi, distribusi kontrol atas sumberdaya-sumberdaya dan perilaku individu atau kelompok serta formasi kelompok-kelompok kepentingan tersebut saling berkompetisi dalam rangka melindungi atau memperoleh kesempatan atas penguasaan sumberdaya-sumberdaya ‘berharga’ yang tersedia dalam organisasi. Aktivitas politikal semacam ini bisa “tersembunyi” sebab hasil kompetisi (kebijakan, ideologi dan aturan-aturan organisasional yang lahir) selalu dikamuflase dengan cara-cara yang canggih sehingga akan selalu tampak harmonis baik bagi para anggota maupun para pimpinan dan pusat power yang ada dalam organisasi - apalagi bagi “orang luar”.
Dari sudut ini, sebuah keputusan tertentu apapun tidak selalu mencerminkan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi, tetapi merupakan kemampuan kelompok-kelompok tertentu dalam menentukan atau mendefinisikan situasi dan solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh kelompok-kelompok lain.

Rasionalitas Individu dan Organisasi
Hickson menegaskan, di dalam organisasi terdapat “dual rasionalitas” - di satu pihak organisasi dilibatkan ke dalam masalah pemecahan persoalan-persoalan sehingga selalu mencari solusi-solusi yang dianggapnya rasional; sementara itu, di lain pihak, terdapat kelompok-kelompok kepentingan yang selalu berusaha mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri sehingga aktivitas dan keputusan-keputusan yang lahir selalu merepresentasikan dua elemen tersebut (Hickson: 1987).
Tidak ada satu aktivitaspun yang diambil oleh sebuah organisasi tanpa suatu ‘klaim’ bahwa hal itu adalah rasional. Kemampuan untuk melahirkan keputusan atau kebijakan adalah masalah power (mendesak kelompok-kelompok lain), bukan dari superioritas rasionalitas ‘klaim’ yang dicetuskan. Oleh karena itu, keputusan atau kebijakan yang lahir dalam sebuah organisasi selalu merepresentasikan dual rasionalitas, yaitu rasionalitas individu atau sekumpulan individu dan rasionalitas orga-nisasi. Dalam konteks ini, power me-mainkan peran yang krusial. Individu dan kelompok atau kelompok kuasi (jaringan sosial) memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan pengambil keputusan dan kebijakan, juga kemampuan atas akses-akses penguasaan sumberdaya-sumberdaya or-ganisasional. Oleh karena itu membina hubungan dengan orang-orang yang menduduki posisi yang menyandang wewenang/power tertentu menjadi sangat penting.
Kondisi sistem KMK yang sede-mikian kompleks dan canggih di institusi/lembaga tinggi negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), tentunya akan sulit dilanggar oleh perseorangan. Untuk bisa melakukan pelanggaran dengan tidak ketahuan–tentunya harus bekerjasama dengan sub-sub sistem yang ada dalam organisasi bersangkutan (sistem KMK) – yaitu dengan orang-orang yang punya wewenang (power) atas tujuan yang diperjuangkan. Dengan kata lain, tindak pidana korupsi sangat sulit atau hampir bisa dikatakan mustahil dilakukan seorang diri.kecuali sistem KMK organisasi yang bersangkutan memang tidak memadai atau longgar seperti sistem KMK di organisasi kecil atau paguyuban.
Dengan demikian, jika dalam kasus tindak pidana korupsi terungkap bahwa “penyelewengan” tersebut dilakukan oleh perseorangan (seorang diri), hal ini justru menimbulkan sebuah pertanyaan besar sebab tindak pidana korupsi di organisasi setingkat lembaga tinggi negara seharusnya hanya mampu dilakukan oleh “kelompok” atau “kelompok kuasi” (jaringan sosial). Atau kelompok dan kelompok kuasi korup ini sedemikian powerfull sehingga KPK belum mampu menembusnya.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.



Copyright © Sinar Harapan 2008

Tidak ada komentar: