Minggu, 29 Maret 2009

Pilpres: Koalisi Kontekstual

Oleh
Ruddy Agusyanto

Pemilihan umum (pemilu) 9 April 2009 tinggal beberapa hari lagi, kampanye mulai intens dilakukan oleh hampir semua partai politik (parpol) di berbagai wilayah di Indonesia, berbagai lobi politik juga dilakukan. Karena begitu banyak parpol peserta pemilu kali ini, persoalan upaya memenangkan persaingan pun menjadi semakin “kompleks”, mulai dari pelanggaran aturan kampanye sampai dengan saling menyu-dutkan parpol lain. Selain itu, berbagai parpol mulai “berancang-ancang” membangun koalisi sebagai persiapan untuk pemilihan calon presiden nanti.
Namun, yang mengejutkan banyak pengamat dan analis politik adalah rencana-rencana koalisi dan pernyataan-pernyataan para ketua umum parpol yang bersangkutan selalu diakhiri dengan kalimat “... ini penjajagan, kita lihat setelah pemilu 9 April nanti baru kita menentukan sikap.” Seolah-olah tidak “peduli” lagi dengan yang namanya “ideologi politik” parpolnya. Apakah memungkinkan atau tidak secara ideologis jika parpolnya berkoalisi dengan parpol-parpol yang secara ideologis berbeda – sepertinya sengaja “luput” dari pertimbangan mereka. Tentunya, hal ini tidak hanya membuat bingung para pengamat dan analis politik, saya pikir para kader dan pendukung simpatisan juga “bingung”. Apa yang terjadi?
Selama sistem pemilihan langsung diterapkan, di serentetan pemilihan kepala daerah (pilkada) sering kali menunjukkan bahwa parpol pemenang pemilu tidak selalu menjamin calon yang diusungnya akan mendapat dukungan sebesar perolehan suara parpolnya. Apalagi jaminan menang. Artinya, pemimpin daerah terpilih tidak harus berasal dari parpol pemenang pemilu. Di beberapa pilkada, calon pemimpin daerah justru memilih diusung oleh parpol lain, meski parpolnya adalah pemenang pemilu di daerahnya. Sebagai contoh, Golkar adalah pemenang pemilu lalu di suatu daerah, tetapi sang calon pemimpin daerah yang kader Golkar justru maju dengan kendaraan parpol PPP; sementara itu Golkar sebagai parpol pemenang pemilu juga mengajukan calon lain. Akhirnya, calon dari Golkar sendiri kalah dalam perolehan suara.

Parpol Pilihan Tidak Identik dengan Pemimpin Pilihan
Pengalaman dari berbagai pilkada ini, masing-masing parpol memperoleh pelajaran yang berharga bahwa: (1) Parpol pilihan rakyat tidak sama dengan pemimpin pilihan rakyat; (2) Persentase perolehan suara untuk tampil sebagai pemenang tidak cukup hanya mengandalkan dukungan perolehan suara parpolnya, meskipun parpol yang bersangkutan adalah parpol pemenang pemilu. Pelajaran inilah yang mendasari rencana-rencana koalisi antarparpol yang dibangun oleh para elite parpol dalam menghadapi pilpres mendatang.
Oleh karena itu, para parpol juga sudah mulai menyeleksi siapa saja yang mempunyai peluang “besar” sebagai calon presiden (capres). Artinya, capres tidak harus berasal dari parpolnya atau tidak harus kader parpol pengusungnya. Berbeda dengan pemilu legislatif yang mungkin “masih lebih” merupakan perjuangan ideologi politik dalam memenangkan persaingan, meskipun dalam kampanye sering juga kita lihat “pesan” yang disampaikan (iklan) juga tidak selalu sama dengan ideologi politiknya demi perolehan suara. Pilkada atau pilpres bukan lagi menjadi perjuangan ideologi politik, tetapi cenderung sebagai perjuangan perebutan “power” semata sehingga ideologi politik akhirnya menjadi “kontekstual”.
Dalam pilkada atau pilpres, koalisi yang dibangun adalah untuk perolehan suara semata, meski harus rela berbagi “kue power” dengan parpol yang tidak “seideologis” melalui “kesepakatan-kesepakatan” yang dibangunnya. Dampaknya saat menjalankan pemerintahan, pada beberapa hasil pilkada pada kenyataannya “pasangan” hasil koalisi belum tentu bisa tetap saling mendukung sampai akhir masa kepemerintahannya. Dan, tak jarang pula, di tengah masa pemerintahannya “pasangan” pemimpin daerah sudah “tak sehati” lagi sehingga rencana atau program-program yang telah dijanjikan tidak bisa terlaksana. Di sisi lain, pemimpin daerah terpilih yang karena bukan berasal dari parpol pemenang pemilu atau “kelompok” parpol “besar” (berdasarkan perolehan suara/kursi), juga menjadi serba “cang-gung” dalam memutuskan kebijakan atau menjalankan kepemerintahannya karena “tekanan” mayoritas parpol dan parpol pengusungnya di DPRD. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban.

Yang Mengikat Adalah “Kepentingan”
Masyarakat semakin kompleks dan heterogen sehingga tidak mungkin lagi semua “kebutuhan” mampu dipenuhi dengan hanya mengandalkan bantuan dan kehadiran dari komunitasnya sendiri. Perlu juga dibangun kerja sama dengan komunitas lain agar kebutuhan-kebutuhan tertentu mampu dipenuhi. Oleh karena itu pula, jika kita lihat secara individual, banyak orang di masyarakat kompleks tidak cukup hanya menjadi anggota satu organisasi (rata-rata menjadi anggota di lebih dari satu organisasi). Jadi, tidaklah mengejutkan dalam berbagai bentuk koalisi (tak hanya di bidang politik), jaringan kerja sama justru terdiri dari orang, organisasi atau komunitas yang mempunyai latar belakang berbeda-beda (heterogen).
Ideologi politik, etnis dan budaya akhirnya menjadi “kontekstual”. Yang mengikat mereka menjadi satu jaringan sosial atau membangun kerja sama atau koalisi adalah “kepentingan” – yaitu “kebutuhan” tertentu yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, ideologi politik tersingkirkan demi kepentingan perolehan suara untuk memenangkan kompetisi perebutan “power” atau mempertahankan “power” adalah suatu hal yang wajar. Jika koalisi yang dibangun seperti yang terjadi saat ini maka jelas bahwa tujuan koalisi adalah untuk memenangkan persaingan perebutan kursi kepemimpinan, bukan untuk kepentingan rakyat, meski di balik itu “siapa pun yang akan dicalonkan dan terpilih nantinya”, parpollah yang tetap lebih banyak “mengatur”.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa parpol hanyalah sebuah “sarana” menuju kursi kepemimpinan, baik bagi sang calon pemimpin eksekutif maupun para calon anggota legislatif, bukan sebuah perjuangan ideologi politik untuk mensejahterakan rakyat. Sebagai pelipur lara bagi rakyat, paling tidak lima tahun sekali mendapat hiburan gratis dan berbagai “hadiah” dari banyak parpol saat kampanye, sebagai “pengganti” kekecewaan dari wakil dan pemimpin yang telah mereka pilih lima tahun yang lalu. Bagi parpol dan para elitenya, “... sampai ketemu lagi lima tahun mendatang wahai rakyatku ...”. Lalu, bagaimana dengan pendidikan politik yang menjadi salah satu kewajiban atau “tugas suci” parpol?

Penulis adalah pengajar luar biasa dan associate Puska Antropologi FISIP UI. Juga mengajar di PTIK.

Copyright © Sinar Harapan 28 MARET 2008

Tidak ada komentar: