Kamis, 14 Mei 2009

Parpol Hanya untuk Tiket Pendaftaran

Oleh
Ruddy Agusyanto

“Dunia politik itu tidak ada yang abadi”, begitu sering diucapkan oleh para pakar atau pengamat dan tokoh politik sehingga tanpa kita sadari, jargon tersebut menjadi sebuah “keyakinan” di dunia politik negeri ini. Ketidakpastian itulah yang abadi. Siapa teman dan siapa lawan bisa saling tukar tempat kapan saja... itulah politik. Jika memang demikian, tentunya sungguh sulit membuat analisis atau prediksi terhadap fenomena, gejala atau peristiwa politik. Kalau sudah demikian, seharusnya juga tidak perlu ada ilmu pengetahuan yang namanya ilmu politik?
Jargon tersebut muncul di saat terjadi kebuntuan analisis, yaitu di saat tak bisa menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi. Para pengamat atau pakar politik serta elite politik masih berpikir bahwa masyarakat itu homogen sehingga memandang masyarakat terkotak-kotak.
Demikian halnya melihat partai politik (parpol) juga terkotak-kotak. Hal ini terjadi karena teori dan konsep yang dipergunakan adalah teori dan konsep yang berasal dari hasil penelitian-penelitian di masyarakat yang relatif homogen (masyarakat sederhana) sekian puluh tahun yang lalu.
Saat ini, sangatlah sulit menjumpai masyarakat yang homogen seperti itu sehingga teori dan konsep tersebut tidak mampu menjelaskan kompleksitas yang terjadi. Memandang sebuah parpol sebagai satu kesatuan sosial yang homogen membuat kita tidak melihat variasi dan dinamika sikap-tindakan-perilaku (yang terjadi sesungguhnya) sehingga tidak mampu menangkap dan memprediksi serta menjelaskan proses “perubahan” yang terjadi.

“Muatan Kepentingan” Para Tokoh
Berdasarkan hal ini maka ideologi juga tidak signifikan untuk menganalisis parpol di Indonesia. Seorang pendiri sebuah parpol pun bisa pindah ke parpol lain, yang tidak sama secara ideologis - apalagi kader. Kader hanya loyal kepada tokoh atau elite tertentu, bukan kepada ideologi parpolnya. Dengan demikian, tidak ada dukungan suara yang stabil. Oleh karena itu pula, sangat diragukan sebuah wilayah administratif tertentu atau kelompok/golongan sosial bisa diklaim sebagai “basis” parpol tertentu. Jika parpol tidak lagi ideologis, bagaimana kita bisa menjamin bahwa suatu wilayah, kelompok atau golongan sosial tertentu adalah basis parpol tertentu?
Selama parpol masih kehilangan ideologinya maka dukungan suara terhadap parpol pun sangat fluktuatif. Pendukung atau kader berafiliasi kepada tokoh (person) – dari tingkat DPC, DPD dan DPP - sehingga perolehan suara sebuah parpol sangat tergantung pada dinamika hubungan sosial para pendukung dengan para tokoh parpol yang bersangkutan. Maka SBY tidak sama dengan Demokrat; JK tidak mewakili Golkar; atau Mega bukanlah representasi dari PDIP. Oleh karena itu, tiga parpol besar tersebut tidak bisa berbangga diri dengan perolehan suara yang dicapainya sebab suara itu bukan suara parpolnya, melainkan karena para tokoh (di tingkat DPC, DPD dan DPP) di parpol mereka masing-masing.
Dengan kenyataan bahwa selama pendukung dan atau kader masih berafiliasi kepada tokoh maka capres dan cawapres yang berpotensi menang juga tidak ditentukan oleh parpol yang mengusungnya. Banyak contoh dari berbagai pilkada – calon dari parpol bukan pemenang pemilu pun bisa menang meski pesaingnya adalah tokoh dari parpol pemenang pemilu.
Dengan kata lain, tokoh atau elite politik mempunyai posisi yang demikian penting dalam memperjuangkan kepentingan parpolnya - termasuk proses negosiasi mengenai penentuan capres dan cawapres. Dengan demikian, koalisi antarparpol yang dibangun sebenarnya merupakan koalisi antarelite parpol. Di sisi lain, bisa dikatakan bahwa parpol benar-benar hanya merupakan sebuah tiket untuk bisa mendaftar sebagai capres atau cawapres – tidak lebih.
Berdasarkan kenyataan di atas, interaksi dan hubungan sosial yang dibangun dalam proses koalisi antarparpol, jelas didominasi “muatan kepentingan” para tokoh politik (yang katanya telah mereka konsolidasikan di internal parpol masing-masing). Dalam paradigma Analisis Jaringan Sosial, proses koalisi antarparpol yang sedang berlangsung ini bisa dikategorisasikan sebagai jaringan kepentingan.

Seni Ketidakpastian
Jaringan kepentingan adalah jaringan sosial yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus yang ingin dicapai oleh para pelaku (dalam hal ini para elite atau tokoh politik masing-masing parpol). Bila tujuan-tujuan tersebut sifatnya spesifik dan konkret - seperti memeroleh barang, pelayanan, pekerjaan dan sejenisnya - setelah tujuan-tujuan tersebut tercapai biasanya hubungan-hubungan tersebut tidak berkelanjutan. Bila tujuan-tujuan dari hubungan-hubungan sosial yang terwujud adalah spesifik dan konkret seperti ini maka struktur sosial yang lahir dari jaringan sosial tipe ini juga sebentar dan berubah-ubah.
Tindakan dan interaksi yang terjadi dalam jaringan tipe ini selalu dievaluasi berdasarkan tujuan-tujuan relasional. Pertukaran (negosiasi) yang terjadi dalam jaringan kepentingan ini diatur oleh kepentingan-kepentingan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, pada jaringan kepentingan ini terdapat ruang bagi tindakan - yang relatif besar (lebih besar dibanding jaringan hubungan jenis lainnya) sehingga sering kita lihat banyak kemungkinan si pelaku memanipulasi hubungan-hubungan sosial yang dimilikinya (manuver-manuver) untuk mencapai tujuan-tujuannya. Yang relatif stabil dalam hal ini hanyalah kepentingan yang diperjuangkan.
Jika yang dilihat dan dianalisis adalah masalah proses manipulasi atau pengaktifan hubungan sentiment dan power (manuver-manuver) dalam rangka memperjuangkan kepentingan masing-masing, tentu saja tampak selalu berubah-ubah atau semuanya menjadi tidak pasti – semuanya bisa berubah dalam hitungan menit atau detik. Selama muatan sentiment atau power tertentu yang diaktifkan gagal mencapai kesepakatan (pencapaian kepentingan), tentunya pelaku akan mencoba mengaktifkan atau memanipulasi jenis hubungan sentiment atau power yang lain.
Konsekuensinya dengan mengaktifkan jenis hubungan sentiment dan power yang berbeda maka orang-orang, kelompok atau golongan sosial yang dituju pun tentu akan berubah. Kawan bisa menjadi lawan saat harus bersaing; dan menjadi kawan saat membutuhkan kerja sama untuk menghadapi lawan yang lebih kuat dalam rangka memperjuangkan kepentingannya. Jika manuver-manuver tindakan dalam proses kerja sama dan persaingan yang menjadi fokus perhatian (bukan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan) maka memang benar bahwa dunia politik itu menjadi unpredictable atau sering disebut juga sebagai “seni ketidakpastian”.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.







Copyright © Sinar Harapan 2008

Tidak ada komentar: