Senin, 15 November 2010

KEKELIRUAN “PARADIGMATIK” PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA

Paradigma pembangunan selama ini menyebabkan “episentrum” pada kota Jakarta dan Pulau Jawa. Akibatnya, 80% industri berlokasi di Jawa, ledakan jumlah penduduk dan gedung sehingga penggunaan air tanah meningkat. Salah satu dampaknya adalah penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut sehingga banjir menjadi salah satu “ciri khas” Jakarta. Pada akhirnya, Jakarta tidak mampu lagi mengendalikan tata ruang, pelestarian lingkungan, kebutuhan permukiman, kebutuhan transportasi umum, serta tidak mampu mengatasi kemacetan dan seterusnya. Untuk mengatasi kondisi ini, berbagai program digalakkan. Program transmigrasi, percepatan pembangunan daerah tertinggal dan pengembangan pendidikan di luar Jawa, dan seterusnya. Namun, semua upaya tersebut gagal melawan kuatnya episentrum kota Jakarta dan pulau Jawa. Semua ini tidak lain adalah akibat tidak adanya kebijakan visioner selama tiga dasa warsa terakhir. Hal ini, tercermin dari rendahnya kualitas kebijakan dan implementasi kebijakan strategis dalam pengelolaan pembangunan nasional. Singkatnya, semua ini adalah akibat dari kesalahan paradigma pembangunan yang diterapkan oleh negara untuk mengelola kepentingan bangsa.
Kondisi inilah yang mendorong Tim Visi Indonesia 2033 (penggagas) menggulirkan wacana pemindahan ibukota negara. Asumsinya, pertama adalah dengan memindahkan ibukota negara akan melahirkan episentrum baru. Oleh karena itu, episentrum baru yang dianggap paling tepat adalah lokasi yang secara geografis memang merupakan “titik sentral” dari “lokasi” sebagian besar kawasan tertinggal dan kawasan pinggiran. Keberadaan ibukota negara di “titik sentral” nusantara dianggap akan memudahkan pemerintah menata kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa. Untuk mendukung upaya tersebut, penggagas juga menyiapkan beberapa rencana tindakan strategis di bidang ekonomi, pembangunan kawasan, pemerintahan, politik, hukum dan kebudayaan yang kesemuanya bergerak saling mendukung. Asumsi kedua, dengan “memindahan ibukota negara akan mampu membalik paradigma pembangunan”. Singkatnya, dengan memindahkan ibukota negara dianggap dapat menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara yang kompleks di atas.
Asumsi dasar dalam wacana yang ditawarkan, tanpa disadari penggagas telah melakukan kesalahan mendasar secara “paradigmatik” dalam memahami esensi dari “realita” persoalan. Paradigma adalah “kerangka pikir” (point of view) yang digunakan untuk merumuskan “kepentingan bangsa” melalui “kebijakan-kebijakan pembangunan” yang dihasilkannya. Artinya, “episentrum” kota Jakarta dan pulau Jawa adalah akibat dari “kerangka pikir” yang digunakan untuk merumuskan paradigma pembangunan. Oleh karena itu, asumsi pemindahan titik episentrum negara akan menyelesaikan semua permasalahan bangsa adalah keliru. Kesalahan “paradigma pembangunan”lah yang menyebabkan kota Jakarta tidak mampu menahan “beban” yang diakibatkannya dan tidak mampu menjalankan perannya sebagai ibukota negara. Ibukota adalah “pusat kebijakan pembangunan” bukan sebagai “pusat kegiatan pembangunan”.
Selanjutnya, jika paradigma pembangunan dianggap “keliru” maka secara logis bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan yang dihasilkannya juga keliru. Demikian halnya dengan beberapa masalah bangsa yang telah disinggungnya, seperti persoalan nation building, kemiskinan, ketidakadilan, pemerataan pembangunan dan seterusnya seharusnya dilihat pula sebagai akibat dari kesalahan paradigma pembangunan, bukan akibat dari letak ibukota negara berada di titik sentral nusantara atau tidak.
Sementara itu, solusi yang ditawarkan adalah pemindahan ibukota negara. Mengapa bukan sebuah “paradigma pembangunan” yang baru? Sungguh ironis, solusi yang ditawarkan masih tetap menggunakan kerangka pikir episentrum. Artinya, penggagas masih menggunakan paradigma pembangunan yang sama. Lalu, apakah dengan memindahkan ibukota negara akan menyelesaikan persoalan bangsa jika masih menggunakan paradigma pembangunan yang sama? Oleh karena itu pula, penggagas tidak mempersoalkan implementasi kebijakan. Meskipun tertulis dalam dalam usulannya, tapi tidak ada dalam analisisnya. Dengan kata lain, penggagas beranggapan bahwa dalam implementasi kebijakan pembangunan sudah tidak ada persoalan. Apakah memang tidak terjadi penyimpangan dalam implementasinya? Jika demikian, lalu bagaimana dengan budaya birokrasi yang ada saat ini sehingga banyak kasus yang ditangani oleh KPK?
Permasalahan mendasar bangsa ini adalah rasionalitas kepentingan bangsa belum menjadi rasionalitas paradigma pembangunan. Justru sebaliknya, yang terjadi seringkali rasionalitas kepentingan bangsa hanya diterapkan sebatas tindakan politis (politisasi kepentingan bangsa) demi tujuan-tujuan tertentu. Hal ini semakin menambah kompleksnya persoalan bangsa. NKRI sebagai negara-bangsa sudah seharusnya menempatkan rasionalitas kepentingan bangsa berada di atas semua kepentingan lainnya.
Singkatnya, penggagas sebenarnya tidak menawarkan solusi , yaitu “paradigma pembangunan yang baru” sebagai gantinya paradigma pembangunan yang lama, yang dianggapnya keliru dan menjadi penyebab semua persoalan yang melanda bangsa ini. Penggagas hanya menawarkan pemindahan “episentrum” kota Jakarta ke Kalimantan dengan kerangka pikir “spasial-geografis” (titik sentral nusantara). Perlu disadari bahwa dengan memindahkan ibukota negara bukan berarti paradigma pembangunan akan “berubah” atau “berganti” dengan sendirinya. Justru sebaliknya, penggagas hanya memindahkan masalah kota Jakarta ke calon ibukota negara yang baru. Dalam kurun waktu tertentu, ibukota negara yang baru dapat diprediksikan akan mengalami hal serupa dengan kota Jakarta karena akar permasalahannya tidak pernah diselesaikan. Lalu “apakah kita akan pindah ibukota negara lagi? Ini namanya pemerataan masalah, bukan pemerataan kesejahteraan. Penggagas terjebak dalam paradoks paradigma pembangunan yang sama. Selain itu, wacana ini secara tidak langsung justru mensosialisasikan budaya “lari dari masalah”.

Ruddy Agusyanto
Pengajar Antropologi FISIP UI dan Pengajar PTIK
Institut Antropologi Indonesia (IAI) dan Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS)

Tidak ada komentar: