Selasa, 26 Agustus 2008

Jaringan Sosial dalam Organisasi-Press realease

JARINGAN SOSIAL DALAM ORGANISASI

Manusia selalu membina hubungan sosial dengan manusia lain di mana pun dia tinggal dan hidup, tetapi manusia tidak sanggup membina hubungan atau berhubungan dengan semua manusia yang ada disekitarnya. Hubungan sosialnya selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu. Oleh karena itu mengapa setiap individu/manusia membina hubungan sosial dengan individu/manusia tertentu dan tidak dengan individu/manusia lainnya. Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masing-masing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Jadi, manusia membina hubungan sosial dengan manusia lainnya tidak terjadi secara acak. Konfigurasi hubungan sosial manusia yang satu dengan lainnya ini akhirnya membentuk ‘satu kesatuan sosial’ yang bisa disebut “jaringan sosial”.

Permasalahannya, jaringan sosial itu adalah pengelompokan sosial (tidak sama dengan kelompok sosial), sehingga keanggotaannya seringkali tidak disadari oleh pelaku. Anggota jaringan sosial yang satu dengan anggota lainnya belum tentu saling mengenal. Tak seorangpun menyadari sepenuhnya atau tahu persis – dengan siapa dia berhubungan secara tidak langsung dengan orang atau sekelompok orang lain (umumnya hanya mengenal sebatas “ring satu” dari ego). Sebagai contoh, dalam jaringan pinjam-meminjam buku, Amir biasanya meminjam buku kepada Budi. Amir dengan sadar dan tahu bahwa dirinya punya hubungan sosial dengan Budi. Tetapi Amir belum tentu tahu kalau Budi mempunyai hubungan sosial (pinjam-meminjam buku) dengan siapa saja selain dirinya.

Meskipun para pelakunya belum tentu menyadarinya, tingkah laku yang diwujudkan dalam suatu interaksi sosial itu sistematik, ada pengulangan tingkah laku untuk hal-hal yang sama dan dalam situasi yang sama, ini menandakan adanya: Keteraturan; dan “Aturan” yang disepakati bersama (hukum kuasi), yang membuat tingkah laku yang diwujudkan menjadi 'teratur‘. Hukum kuasi tersebut mengatur saling keterhubungan masing-masing aktor/anggota jaringan - ada hak dan kewajiban yang mengatur masing-masing aktor. Dengan kata lain, hukum kuasi yang terwujud ini membatasi dan menjadi pedoman tindakan, sikap dan perilaku para anggota jaringan sosial yang bersangkutan (sebagai pedoman yang operasional untuk bertindak, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan nyata)

Pengelompokan sosial memang tidak bisa dihindarkan, akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam kehidupan sebuah organisasi, baik secara/bersifat horisontal maupun vertikal. Namun, tidak berfungsinya sistem kontrol, monitoring dan koordinasi sebuah organisasi bukanlah akibat pengelompokan sosial semata. Pengelompokan sosial yang melahirkan 'struktur sosial' atau 'hukum kuasi' yang tidak mendukung 'struktur formal' dan atau begitu sangat menentukan (sudah tidak lagi sekedar memberi ketidakleluasaan atau constraints ) tindakan para anggotanya - baik individual maupun kolektif - sehingga tak seorangpun berani menentang /melanggarnya. Di lain pihak, begitu dominannya 'struktur sosial' yang lahir dari pengelompokan sosial (jaringan sosial) ini mengakibatkan 'struktur formal' organisasi tidak berlaku atau tidak bisa dijadikan pegangan bagi para anggotanya. Seseorang berani melanggar 'struktur formal' tetapi tidak berani melanggar aturan dan norma jaringan sosial. Jaringan sosial seperti inilah yang membuat sistem Kontrol-Monitoring-Koordinasi organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga masing-masing unit sosial organisasi tidak mampu untuk tetap mengarahkan tindakan anggota-anggotanya demi tercapainya tujuan atau target yang telah ditetapkan oleh organisasi.

Dengan memfokuskan diri pada ikatan-ikatan di antara individu (ketimbang kualitas yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan) mendorong kita untuk berpikir tentang ketidakleluasaan-ketidakleluasaan perilaku individual atau kolektif sebab ketidakleluasaan itu inheren dalam cara-cara hubungan sosial yang diorganisasikan. Analisa Jaringan Sosial (AJS) memberikan sebuah pandangan alternatif, di mana atibut-atribut individual menjadi kurang penting dibandingkan jaringan hubungan dan ikatan yang mereka miliki dengan aktor-aktor lain di dalam jaringan. Perselisihan dua individu yang berbeda agama dan sukubangsa bisa menjadi konflik nasional, tetapi bisa juga berhenti pada perselisihan dua individu tersebut, hal ini tergantung pada struktur jaringan sosial masing-masing. Berbeda dengan studi-studi ilmu sosial yang berasumsi bahwa atribut aktor sangat menentukan. Pendekatan ini telah membalikan arah dalam “menjelaskan banyak phenomena dunia yang nyata (real). Pintar atau bodoh, luwes atau kaku dan sejenisnya – tidak begitu menentukan keberhasilan individu. Jaringan sosial memainkan peran kunci dalam “membeli” kesuksesan dan peformance kerja. Jaringan sosial menyediakan cara-cara kerjasama untuk memperoleh informasi, menghalangi atau memenangkan kompetisi dan termasuk mengatur serta menentukan kebijakan. Sebagai contoh, Power sesungguhnya di dalam banyak organisasi seringkali justru berada pada individu-individu anggota jaringan sosial, bukan pada individu dengan job title formal (struktur formal organisasi). Oleh karena itu pula, mengapa presiden SBY sewaktu akan memutuskan kebijakan kabinetnya sering ‘mondar-mandir’ ke DPR atau perlu melobi partai-partai politik meskipun dia dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, AJS mampu memperlihatkan bagaimana suatu aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma yang sudah mapan (bisa) diterapkan atau tidak (demikian halnya dengan aturan-aturan yang telah distrukturkan secara formal di dalam sebuah organisasi). Dan, standar-standar yang jadi pegangan dalam kehidupan nyata (struktur sosial) membentuk kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan bagi alternatif tindakan, sikap dan perilaku, di mana standar-standar ini sebenarnya merupakan hasil tawar-menawar dari pasangan-pasangan hubungan diadik yang ada dalam jaringan sosial yang bersangkutan dan bukan secara langsung berasal dari sesuatu yang abstrak seperti kebudayaan, sistem nilai atau tatanan moral . AJS lebih mempelajari “keteraturan individual atau kolektif berperilaku” ketimbang keteraturan “keyakinan” tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku

Bila hakekat atau prinsip dari hubungan-hubungan sosial yang mengikat para aktor dalam jaringan sosial yang bersangkutan diketahui maka dapat dibuat prediksinya tentang struktur sosial yang terciptakan, jenis kontrol dan jenis-jenis pertukarannya. Selain itu, dari perpotongan-perpotongan berbagai jaringan sosial yang terbentuk dalam organisasi, dengan masing-masing struktur sosial (hukum kuasi) yang diciptakannya dapat menjelaskan sejumlah konflik sosial, perubahan dan pengendalian di dalam organisasi (negara dan masyarakat).

Ruddy Agusyanto

Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi – FISIP UI

Direktur Operasional Pusat Analisa Jaringan Sosial

Tim Pengajar PTIK

Email : ragusyanto@yahoo.com

pajs_ui@yahoo.com

Senin, 11 Agustus 2008

BERANI TAMPIL BEDA

BERANI TAMPIL BEDA ???

Umumnya, sebagian besar orang akan memilih untuk bertindak, bersikap dan berperilaku seperti kebanyakan orang di sekitarnya; atau di mana mereka hidup dan tinggal. Dengan kata lain, seseorang mempunyai kecenderungan untuk berusaha ‘sama” atau “tidak berbeda” dengan kebanyakan orang lainnya. Mereka semua berpatokan apada aturan, norma dan nilai-nilai yang berlaku umum di masyarakatnya. Padahal – norma, aturan dan nilai – tidak pernah secara eksplisit menegaskan ‘variasi-variasi’ (alternatif-alternatif) sikap, tindakan dan perilaku yang tersedia di dalamnya; Norma, aturan dan nilai- hanya menegaskan prinsip-prinsip yang seharusnya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

Oleh karena itu pula, jarang orang berani “berbeda” dengan yang kebanyakan orang lakukan. “Tampil beda” memang dibutuhkan suatu “keberanian”, meski berbeda dengan kebanyakan orang tidaklah selalu berarti ‘negatif’; ‘tampil beda” beresiko akan dibenci, dikucilkan atau bahkan dipenjara jika tidak berhasil membuahkan terobosan-terobosan baru.

Di era globalisasi ini, “tampil beda” justru diperlukan karena sebuah ‘inovasi’ atau ‘invention’ tidak akan terjadi jika tidak ada yang berani ‘tampil beda’ dalam masyarakat yang bersangkutan.

Begitu halnya dengan “Sensasi”. Dalam kerangka pikir ini, ‘sensasi’ bisa dilihat sebagai bagian dari “tampil beda”. Tidak hanya masyarakat (secara kolektif), tetapi perseorangan pun, sering diperlukan ‘tampil beda’ untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.

Jadi tidak ada salahnya jika anda ingin sesekali ‘tampil beda’ untuk alasan-alasan tertentu, meski ada resiko tertentu pula yang anda harus siap hadapi. Sikap berani “tampil beda” justru bisa menghasilkan terobosan-terobosan baru. Selama kita memiliki itikad atau tujuan positif serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Jadi, kenapa harus takut beda ???

Jumat, 08 Agustus 2008

Polisi dan Politisi

Polisi dan Politisi

Oleh
Ruddy Agusyanto

Maraknya demo, terutama sejak bergulirnya kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sering berakhir dengan bentrok fisik antara para demonstran dan polisi–bahkan tak jarang diwarnai tindakan anarkis para demonstran–tak terkecuali demo yang dilakukan oleh mahasiswa.
Di era Orde Baru, “keberanian” layaknya orang yang sedang “berjihad”. Semua menunggu siapa yang berani “tampil””. Tapi, di era Reformasi ini, di mana kita bebas bicara dan mengagungkan “kesadaran akan perbedaan” dan “kesetaraan” mengapa tindakan mahasiswa belakangan ini justru bertolak belakang? Bahkan berbagai diskusi yang ditayangkan di banyak stasiun televisi sungguh memprihatinkan, karena tindakan “anarkis” dalam sebuah demo dianggap wajar oleh kelompok mahasiswa melalui berbagai argumennya.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup, proses kerjasama, persaingan dan konflik memang merupakan proses yang wajar. Di dalamnya, ada upaya saling bekerja sama, saling bersaing, saling tergantung satu sama lain, bahkan juga saling manipulasi untuk mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Namun, dalam kerja sama dan persaingan juga selalu ada aturan yang harus disepakati dan ditaati bersama, sehingga kekerasan dapat dihindari. Persaingan yang sudah menjadi konflik akan atau cenderung menjurus kepada upaya saling menghancurkan.
Kekerasan sering kali timbul antara lain karena peserta dalam persaingan melanggar aturan yang disepakati sehingga merugikan atau mengorbankan kepentingan pihak lain. Juga bisa terjadi karena persaingan yang tidak seimbang derajat kekuatannya, maka akan terjadi dominasi. Oleh karena itu, dalam pertandingan tinju ada kelas bulu, kelas ringan, kelas berat dan seterusnya. Kekerasan juga bisa terjadi karena pemahaman yang tidak sama atas aturan yang berlaku, atau juga karena penegak hukum bersikap tidak adil atau dianggap tidak adil.

Warisan Orde Baru
Di era Orde Baru, polisi adalah bagian dari militer/ABRI, yang fungsinya untuk membungkam kekuatan-kekuatan sosial-politik yang mencoba mengganggu pemerintah yang sedang berkuasa. Polisi bertanggungjawab atas stabilitas dan ketertiban umum demi langgengnya kekuasaan. Tindakan represifnya sangat dominan.
Namun, di era reformasi, polisi sudah berubah statusnya, yaitu sebagai bagian dari masyarakat yang bertugas untuk mengayomi (melayani dan melindungi) masyarakat serta sebagai penegak hukum. Dengan demikian, fungsinya berubah, dari sebagai alat penguasa untuk mempertahankan dan melindungi pemerintah yang sedang berkuasa menuju polisi sebagai kekuatan sipil yang diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat dan penegak hukum.
Perubahan status dan peran polisi ini, selain harus disadari dan dipahami oleh polisi itu sendiri, juga harus dipahami oleh masyarakat yang dilayaninya (termasuk Politisi, Partai Politik dan mahasiswa). Dalam hal ini, polisi dituntut untuk berbenah diri, menyesuaikan diri dan menjadi profesional dalam melayani dan melindungi sesuai dengan “kebutuhan” masyarakat Indonesia yang multikultur demokratis ini. Polisi juga dituntut untuk mampu meredam atau mencegah terjadinya konflik berbagai pihak agar tidak ada pihak yang dirugikan atau terganggunya ketertiban umum.
Sementara itu, bangsa Indonesia (tanpa kecuali) sedang menikmati “pesta kebebasan”. Semua pihak bebas berpendapat dan mempunyai kedudukan yang sama meski berbeda satu sama lain. Jadi tidak ada yang punya “hak atau perlakuan khusus” seperti di era Orde Baru. Semua pihak bebas bekerja sama dan bersaing untuk mencapai keinginannya, asalkan sesuai dengan “aturan main” yang telah disepakti bersama – dalam hal ini undang-undang dan hukum negara.
Persoalannya, apakah UU dan hukum negara warisan Orde Baru masih operasional atau sesuai dengan kebutuhan bermasyarakat dan bernegara di era Reformasi ini? Lalu, apakah “wasit” (penegak hukum) sudah siap dan memahami “aturan main” tersebut? Siapa yang menjadi “Penilai atau Juri”nya?
Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, ditambah dengan munculnya berbagai partai politik dalam perjuangannya untuk berusaha menguasai politik negara, menambah kompleksnya “persoalan” (apalagi menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2009); sehingga tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa “konflik” akan sering terjadi terutama jika penyebab atau potensinya tidak segera diantisipasi.

Dibuat Gamang oleh Politisi
Dalam kerangka pikir ini, para politisi (dengan atau tanpa partai politiknya) ibarat para pemain bola yang sedang bertanding di lapangan hijau. Dalam kompetisi di “lapangan hijau” ini, yang utama adalah “aturan main” harus dipahami dan dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali (termasuk polisi).
Sementara itu, polisi sebagai “wasit”, dalam hal ini harus mampu menjaga dan memelihara permainan/pertandingan berjalan tertib. Jelas bahwa keberadaan polisi di “lapangan hijau” bukan sebagai peserta pertandingan (tidak ikut berkompetisi) ataupun untuk kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Tugasnya hanya mengawasi dan menjaga agar kompetisi berjalan sesuai dengan aturan main. Sedangkan rakyat adalah penonton yang sekaligus sebagai penilai.
Yang menarik adalah kelompok Politisi/Partai Politik, dimana selain mereka berperan sebagai peserta yang sedang berkompetisi, mereka juga bisa berperan sebagai pengawas, atau untuk menilai apakah “wasit”(polisi) sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar - melalui Lembaga Legislatif yang mayoritas terdiri dari para politisi. Hal inilah yang seringkali membuat polisi tampak “gamang” dalam menangani demo, karena tak jarang membuat polisi terjebak ke dalam “situasi” yang dilematis (tak menguntungkan) dan akhirnya membuat diri mereka terperangkap dalam pelanggaran undang-undang atau HAM.
Dengan kata lain, semakin aktif para politisi memainkan peran “gandanya”, semakin “pusing” pula polisi dibuatnya . Apalagi akhir-akhir ini manuver-manuver mereka (baik melalui mahasiswa atau pun tidak) seringkali memojokkan “wasit”, sebagai salah satu strategi untuk memenangkan kompetisi.
Ini seringkali tidak disadari oleh para mahasiswa (juga masyarakat). Oleh karena itu, untuk meningkatkan profesionalisme, sudah saatnya kepolisian mempunyai suatu Institusi Kajian Ilmiah yang melakukan pengkajian berbagai permasalahan yang muncul dan memprediksikan persoalan yang bakal muncul untuk kemudian merekomendasi kebijakan-kebijakan Kepolisian. Bagi politisi, semoga saja tujuan mereka memang benar-benar untuk memperjuangkan kepentingan/ kesejahteraan masyarakat luas.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.

26 Juli 2008

Copyright © Sinar Harapan 2008

”Total Institution” dan Tradisi Kekerasan

”Total Institution” dan Tradisi Kekerasan



Oleh
Ruddy Agusyanto

Korban kekerasan bermunculan dari “asrama-asrama” pendidikan, seperti kasus terbunuhnya siswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Sekolah Tinggi Pelayaran Indonesia (STPI). Setelah kita amati, ternyata hampir di semua institusi pendidikan yang menggunakan sistem asrama sangat rawan dengan kekerasan–terutama yang dilakukan para siswa/taruna senior terhadap para yuniornya.
Ini adalah salah satu ekses negatif dari proses penanaman karakter dan pembentukan identitas kolektif yang eksklusif–yang nantinya membedakan lulusannya dengan lulusan institusi pendidikan umum lainnya.
Institusi pendidikan, di mana selama menempuh pendidikan, siswanya diharuskan tinggal di asrama, dengan seperangkat aturan-aturan yang sedemikian ketat dan berlaku selama “dua puluh empat jam” seperti institusi pendidikan akademi militer, akademi kepolisian, STPDN, STPI dan sejenisnya–oleh Goffman disebut Total Institution.
Total Institution adalah tempat kediaman di mana orang diasingkan dari masyarakat luas dalam periode yang relatif lama dan kelakuan mereka diatur secara ketat. Semua kegiatan di situ diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan yang ada–sesuai dengan pranata-pranatanya – yang dijalankan oleh dan melalui kekuasaan “pejabat” asrama. Misalnya untuk pemenuhan kebutuhan makan setiap siswa/taruna mendapat apa, jam berapa diperbolehkan makan, di tempat mana mereka boleh makan dan tidak boleh makan, dan seterusnya–semuanya diawasi dan ditentukan oleh para “pejabat” asrama.
Semua kegiatan diatur dan dijalankan berdasarkan atas hirarki kekuasaan yang “ketat”.
Dengan struktur kekuasaan seperti ini, tidak menutup kemungkinan di antara para pejabat melakukan penye-lewengan kekuasaan yang diembannya. Artinya, mungkin saja pejabat tinggi asrama memberikan atau melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, tetapi para pejabat yang lebih rendah yang langsung berhubungan dengan para siswa/taruna bisa saja melakukan penyelewengan sebab pejabat asrama adalah seorang yang berkuasa penuh menentukan apa yang boleh dan yang tidak untuk dilakukan para siswa/taruna.

Identitas Kolektif dan Eksklusif
Masing-masing level hirarki mempunyai batasan dan otoritas yang tegas, tidak ada kata ‘tidak’ bagi mereka yang berada pada level hirarki yang lebih rendah. Semua ucapan yang keluar dari mulut seorang yang hirarkinya lebih tinggi adalah “perintah” dan tidak boleh dibantah.
Demikian halnya dengan kehidupan atau hubungan antara siswa/taruna senior dan yunior. Dengan kondisi kehidupan di ‘asrama 24 jam’ yang seperti itu maka posisi pejabat asrama dan siswa/taruna senior menjadi semakin penting dalam kehidupan para siswa/-taruna selama menempuh pendidikan.
Dengan kondisi yang demikian, penyelewengan kekuasaan oleh para siswa/taruna senior semakin besar–apalagi biasanya keamanan “individual” memang relatif minim (resiko/bahaya menjadi sasaran sesama siswa/taruna memang kurang mendapat perhatian). Hal ini, tanpa disengaja akan menciptakan “kebrutalan” atau struktur pembrutalan sehingga ‘asrama 24 jam’ sering dikenal sebagai “dunia yang paling keras” tak ubahnya seperti kehidupan dalam penjara. Oleh karena itu, kehidupan dalam “asrama 24 jam”–sangat rawan dengan tindak kekerasan siswa/taruna senior terhadap siswa/taruna yunior.
Setiap penghuni asrama tidak boleh tidak harus menerima aturan yang berlaku. Di sana mereka mempelajari pola-pola kelakuan dan norma atau nilai sosial “baru”. Mereka juga harus menjadi identik serta harus loyal dengan asrama atau “korps” yang bersangkutan.
Kebebasan pribadi sangat minim, semua yang dilakukan atas nama kelompok/korps, semua sama – mulai dari jenis makanan, potongan rambut, pakaian hingga pola kelakuan. Setiap detik atau menit, tindakan dan kegiatan mereka diawasi oleh pembina, petugas atau pengawas–termasuk oleh siswa/taruna yang lebih senior.
Mereka benar-benar diasingkan dari pengaruh luar, termasuk keluarga. Mereka akan memiliki nilai-nilai bersama yang begitu kritis terhadap penciptaan rasa solidaritas di antara mereka, ditanamkan karakter tertentu, identitas kolektif dan eksklusif (menjadi warga “pilihan” atau “berbeda” dengan warga masyarakat lainnya).
Dalam kehidupan asrama, boleh dikatakan aturan-aturan yang ada lebih banyak berisi larangan, pembatasan kegembiraan atau harus menekan diri. Dalam kondisi yang demikian, membina hubungan sosial dengan sesama yunior (anggota baru), terutama dengan senior maupun pengawas/pembina menjadi sangat penting.
Bahkan bisa dikatakan bahwa menjadi anggota sebuah “klik” (menjadi anggota pengelompokan sosial, yang tak jarang melibatkan pengawas/petugas) merupakan syarat mutlak untuk mampu bertahan hingga selesai masa pendidikan.
Tanpa “klik” yang kuat, mereka akan mudah dikecam atau dieksploitasi oleh penghuni lainnya. Oleh karena itu, di antara mereka tercipta hubungan sosial yang kuat dan biasanya relatif langgeng–hingga selesai masa pendidikan pun mereka tetap dekat satu sama lain.

Hierarki Kekuasaan
Kehidupan dalam penjara, tak ubahnya seperti kehidupan dalam asrama pendidikan (asrama 24 jam). Bedanya, dalam kehidupan di penjara, para penghuni biasanya melebihi kapasitas penjara itu sendiri; fasilitas yang tersedia semuanya serba minim bahkan dapat dikatakan kurang memadai, baik makanan, kondisi kamar, fasilitas kesehatan, penerangan dan sebagainya. Dengan adanya perasaan senasib dan sepenanggungan (merasa sebagai orang yang paling miskin/sengsara), identitas kolektif pun lambat laun mulai tertanam.
Asrama pendidikan sebagai “total institution” dengan konsep sentralnya yaitu ‘pengasingan atau isolasi sosial’ secara total, jika mulai dirasakan ‘longgar’, di mana para penghuninya tidak lagi merasa terisolasi, maka fungsi “resosialisasi” pun (menanamkan pola-pola kelakuan dan norma-norma atau nilai-nilai sosial “baru”) tentu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Kegagalan penjara me-resosialisasi pola kelakuan karena tidak menjalankan konsep “isolasi total” secara konsisten. Institusi penjara berhasil menanamkan identitas kolektif yang baru, tetapi gagal merehabilitasi pola kelakuan narapidana sehingga banyak narapidana “kambuhan” atau semakin meningkatnya kualitas dan bertambah luasnya jaringan “kejahatan” mereka.
Namun, isolasi total tidaklah harus identik dengan “hierarki kekuasaan yang ketat”. Isolasi sosial secara total adalah selama berada dalam asrama, penghuni tidak boleh berhubungan sosial dengan dunia di luar asrama selama 24 jam, agar program-program re-sosialisasi bisa dijalankan dan dapat mencapai target yang diharapkan; sedangkan “hierarki kekuasaan yang ketat” hanyalah salah satu metode untuk menjalankan proses (program-program) re-sosialisasi.
Artinya, proses resosialisasi tidak harus diatur dan dijalankan melalui kekuasaan yang sedemikian hirarkis dan melibatkan siswa/taruna seniornya sebagai pengawas/pembina, agar resiko terjadinya kekerasan terhadap sesama siswa/taruna dapat dihindarkan.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI Pusat Analisa Jaringan Sosial, juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

SINAR HARAPAN 9 JULI 2008

Copyright © Sinar Harapan 2008

PKL, Keluarga Miskin, Akumulasi Aset

PKL, Keluarga Miskin, Akumulasi Aset



Oleh
Ruddy Agusyanto

Demikian marak upaya “penertiban” pedagang kali lima (PKL). Tindakan yang menyolok dari upaya penertiban ini adalah penyitaan atau perusakan aset milik PKL, padahal sumber pendapatan utama mereka adalah dari hasil pengelolaan aset tersebut. Jadi, sangat logis bila terjadi demo besar-besaran seluruh PKL se-Surabaya baru-baru ini.
Selain itu, tipe pendapatan PKL adalah “harian”, permodalannya bersifat jangka pendek dan harian juga. Aparat sering berargumen demi “keindahan dan ketertiban” dan merelokasi PKL ke daerah “baru”, yang umumnya jauh dari “keramaian” (target pasar) sehingga membutuhkan sekian waktu untuk mendatangkan pangsa pasar.
Dengan sifat permodalan PKL, jelas hal ini tidak mungkin mereka lalui karena sebelum pangsa pasar tercipta, sudah keburu kehabisan modal. Aset penduduk miskin memang tidak pernah diperhitungkan. Kita jarang sekali menggunakan konsep property untuk masyarakat miskin, bahkan mereka sendiripun tidak memahami konsep tersebut.
Tingkat kesejahteraan selalu dihitung dari jumlah pendapatan, baik dalam bentuk uang tunai, barang, atau jasa. Oleh karenanya, kebijakan sosial untuk orang miskin selalu dibangun seputar ide tentang pendapatan, yang dikaitkan dengan standar hidup rata-rata.
Asumsi dasar pemikiran ini memandang kemiskinan dan kesulitan hidup sebagai akibat dari ketidakmerataan arus distribusi sumberdaya sehingga solusinya adalah membuat arus distribusi menjadi lebih terarah kepada keluarga miskin. Bantuan yang dilakukan memang dapat mengurangi kesulitan hidup, namun tidak mengentaskan keluarga miskin dari kemiskinan.
Peningkatan pendapatan semata-mata mempertahankan budaya konsumtif sebab dalam kasus keluarga miskin pada akhirnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perut belaka.

Kreativitas dan Inovasi
Sementara itu, mayoritas keluarga di Indonesia terbiasa dan terlatih hidup dalam kondisi minus (sosialisasi sejak kecil). Seminus apapun yang tak terbayangkan, masyarakat kita tetap mampu bertahan hidup. Sebagai contoh, masih banyak warga Indonesia yang berpenghasilan Rp 10.000/hari, tetapi mampu bertahan hidup.
Sebaliknya, jika tiba-tiba dibantu oleh pihak lain sehingga penghasilannya menjadi Rp 100.000/hari, apa yang terjadi? Hidup mereka bukan jadi lebih sejahtera atau bebas dari miskin, tetapi justru menjadi lebih konsumtif dan tak jarang akhirnya terlilit hutang di sana-sini.
Hal ini tidak saja terjadi pada mereka yang tingkat pendidikannya rendah. Sebagai contoh perusahaan yang terdiri dari orang-orang profesional dalam bidangnya, yang biasanya dibayar sesuai dengan progres pekerjaan (per termin)–tetapi begitu disediakan dana 100%, apa yang terjadi? Pekerjaan tidak selesai, danapun tidak bersisa. Memang ironis, inilah “budaya kemiskinan”.
Salah satu ciri penting budaya kemiskinan adalah miskinnya “kreativitas” (untuk tujuan “inovasi). Tanpa daya kreativitas, semua akses terhadap modal, peluang atau relasi yang dimilikinya/tersedia tidak akan banyak bermanfaat bagi dirinya.
Banyak sekali orang yang mempunyai hubungan dekat dengan menteri atau konglomerat tertentu, yang seharusnya membuat mereka semua sukses atau bebas dari kondisi miskin. Realitanya tidaklah demikian. Di sekolah, orang tua dan lingkungan keluarga memacu kita untuk mengejar nilai yang baik supaya kelak memperoleh pekerjaan yang baik. Kita dipersiapkan oleh bangsa ini untuk menjadi “pekerja”. Maka, setelah lulus sekolah, kita sering bingung jika ditanya kelak ingin menjadi apa? Karena kita memang tidak dipersiapkan untuk merancang masa depan kita
Di sisi lain, kita semua sangat kreatif di saat kondisi minus agar tetap survive, namun saat berada pada batas tidak minus atau pada saat mencapai kondisi surplus, daya kreatif pun lenyap entah kemana, tidak tahu harus berbuat apa ...dan pada akhirnya hanya mampu menikmati hasil keadaan surplus yang sudah dicapai dengan penuh perjuangan itu hingga kembali pada kondisi minus.
Kita memang tidak dipersiapkan untuk mengelola kondisi “surplus”. Berbeda dengan tradisi kaum pebisnis, mereka disosialisasikan bagaimana harus survive di saat kondisi minus (efisiensi dan sebagainya) dan pada saat surplus, diajarkan bagaimana mengelola dan mengakumulasikan asetnya.
Oleh karena itu, pembuat kebijakan program pengentasan kemiskinan seharusnya lebih menitik-beratkan pada bentuk investasi dan harus mengidentifikasi potensi masyarakat miskin yang belum diberdayakan.

PKL Lebih Punya Potensi
Program peningkatkan pendapatan dan pemerataan distribusi barang dan jasa, jelas tidaklah membuat keluarga miskin bebas dari kondisi miskin karena tidak mengubah pola pikir (mindset) mereka. Oleh karena itu, tidak ada salahnya melihat sisi lain dari pendapatan yaitu sumber/asal dari pendapatan itu sendiri. Sumber pendapatan bisa dibedakan: Upah dan Gaji; Pengelolaan Aset; Pinjaman dan; Bantuan/santunan.
Keluarga miskin, sumber pendapatan utamanya dari pinjaman dan santunan karena upah (kalaupun ada dan ajeg) tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar/pokok bagi kelangsungan hidupnya. Keluarga miskin “terselubung” adalah keluarga yang sumber pendapatan utamanya mengandalkan upah dan gaji di atas UMR tapi tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya pinjaman atau santunan.
Saya sebut “terselubung” karena dengan upah dan gaji tetap membuat orang lain tidak melihat kondisi miskin yang dialaminya. Berbeda dengan keluarga non-miskin, mereka lebih mengandalkan sumber pendapatan pada “pengelolaan aset” ketimbang pada sumber pendapatan lainnya.
Dalam hal ini, sebenarnya PKL lebih mempunyai potensi dibandingkan keluarga miskin kategori lainnya untuk bebas dari kemiskinan, mereka hanya perlu dibantu agar lebih menitikberatkan pada akumulasi aset (tidak sekadar mengelolanya untuk memenuhi kebutuhan hidup/subsistence).
Program pengentasan kemiskinan saat ini mengabaikan kesejahteraan jangka panjang, demikian halnya dengan program pinjaman/kredit, keluarga miskin bekerja hanya untuk menambah pendapatan para pemilik aset sehingga tidaklah telalu salah jika dikatakan “yang kaya semakin kaya–yang miskin semakin miskin”.
Oleh karena itu, program pinjaman/kredit untuk golongan ekonomi lemah jika tidak dibarengi dengan sosialisasi akumulasi aset tidak akan bermanfaat, kecuali hanya menambah kekayaan/pendapatan para pemilik aset (termasuk institusi Bank). Dengan menitikberatkan pada akumulasi aset, diharapkan dapat mengubah pola pikir dan mendorong keluarga miskin berinteraksi dengan dunia aset, yang dapat membuatnya berpikir untuk tujuan-tujuan jangka panjang serta merealisasikannya menjadi kenyataan.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi – FISIP UI. Juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Copyright © Sinar Harapan 2008

SINAR HARAPAN, 17 JUNI 2008

Jaringan Sosial Dalam Organisasi
Oleh Ruddy Agusyanto

Manusia selalu membina hubungan sosial dengan manusia lain di mana pun dia tinggal dan hidup, tetapi manusia tidak sanggup membina hubungan atau berhubungan dengan semua manusia yang ada di sekitarnya.
Hubungan sosialnya selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu. Oleh karena itu mengapa setiap individu/manusia membina hubungan sosial dengan individu/manusia tertentu dan tidak dengan individu/manusia lainnya.
Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masing-masing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Jadi, manusia membina hubungan sosial dengan manusia lainnya tidak terjadi secara acak. Konfigurasi hubungan sosial manusia yang satu dengan lainnya ini akhirnya membentuk ‘satu kesatuan sosial’ yang bisa disebut “jaringan sosial”.
Permasalahannya, jaringan sosial itu adalah pengelompokan sosial (tidak sama dengan kelompok sosial), sehingga keanggotaannya seringkali tidak disadari oleh pelaku. Anggota jaringan sosial yang satu dengan anggota lainnya belum tentu saling mengenal. Tak seorang pun menyadari sepenuhnya atau tahu persis–dengan siapa dia berhubungan secara tidak langsung dengan orang atau sekelompok orang lain (umumnya hanya mengenal sebatas “ring satu” dari ego). Sebagai contoh, dalam jaringan pinjam-meminjam buku, Amir biasanya meminjam buku kepada Budi.
Amir dengan sadar dan tahu bahwa dirinya punya hubungan sosial dengan Budi. Tetapi Amir belum tentu tahu kalau Budi mempunyai hubungan sosial (pinjam-meminjam buku) dengan siapa saja selain dirinya.

Dibikin “Teratur”
Meskipun para pelakunya belum tentu menyadarinya, tingkah laku yang diwujudkan dalam suatu interaksi sosial itu sistematik, ada pengulangan tingkah laku untuk hal-hal yang sama dan dalam situasi yang sama, ini menandakan adanya: Keteraturan; dan “Atu-ran” yang disepakati bersama (hukum kuasi), yang membuat tingkah laku yang diwujudkan menjadi “teratur”.
Hukum kuasi tersebut mengatur saling keterhubungan masing-masing aktor/anggota jaringan-ada hak dan kewajiban yang mengatur masing-masing aktor. Dengan kata lain, hukum kuasi yang terwujud ini membatasi dan menjadi pedoman tindakan, sikap dan perilaku para anggota jaringan sosial yang bersangkutan (sebagai pedoman yang operasional untuk bertindak, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan nyata)
Pengelompokan sosial memang tidak bisa dihindarkan, akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam kehidupan sebuah organisasi, baik secara/bersifat horizontal maupun vertikal.
Namun, tidak berfungsinya sistem kontrol, monitoring dan koordinasi sebuah organisasi bukanlah akibat pengelompokan sosial semata. Pengelompokan sosial yang melahirkan “struktur sosial” atau “hukum kuasi” yang tidak mendukung “struktur formal” dan atau begitu sangat menentukan (sudah tidak lagi sekedar memberi ketidakleluasaan atau constraints ) tindakan para anggotanya - baik individual maupun kolektif - sehingga tak seorangpun berani menentang /melanggarnya.
Di lain pihak, begitu dominan-nya “struktur sosial” yang lahir dari pengelompokan sosial (jaringan sosial) ini mengakibatkan “struktur formal” organisasi tidak berlaku atau tidak bisa di-jadikan pegangan bagi para anggotanya. Seseorang berani melanggar “struktur formal” tetapi tidak berani melanggar aturan dan norma jaringan sosial.
Jaringan sosial seperti inilah yang membuat sistem Kontrol-Monitoring-Koordinasi organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga masing-masing unit sosial organisasi tidak mampu untuk tetap mengarahkan tindakan anggota-anggotanya demi tercapainya tujuan atau target yang telah ditetapkan oleh organisasi
Dengan memfokuskan diri pada ikatan-ikatan di antara individu (ketimbang kualitas yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan) mendorong kita untuk berpikir tentang ketidakleluasaan-ketidakleluasaan perilaku individual atau kolektif sebab ketidakleluasaan itu inheren dalam cara-cara hubungan sosial yang diorganisasikan.

Analisa Jaringan Sosial
Analisa Jaringan Sosial (AJS) memberikan sebuah pandangan alternatif, di mana atribut-atribut individual menjadi kurang penting dibandingkan jaringan hubungan dan ikatan yang mereka miliki dengan aktor-aktor lain di dalam jaringan.
Perselisihan dua individu yang berbeda agama dan sukubangsa bisa menjadi konflik nasional, tetapi bisa juga berhenti pada perselisihan dua individu tersebut, hal ini tergantung pada struktur jaringan sosial masing-masing. Berbeda dengan studi-studi ilmu sosial yang berasumsi bahwa atribut aktor sangat menentukan. Pendekatan ini telah membalikan arah dalam “menjelaskan banyak phenomena dunia yang nyata (real). Pintar atau bodoh, luwes atau kaku dan sejenisnya–tidak begitu menentukan keberhasilan individu.
Jaringan sosial memainkan peran kunci dalam “membeli” kesuksesan dan peformance kerja. Jaringan sosial menyediakan cara-cara kerjasama untuk memperoleh informasi, menghalangi atau memenangkan kompetisi dan termasuk mengatur serta menentukan kebijakan.
Sebagai contoh, power sesungguhnya di dalam banyak organisasi seringkali justru berada pada individu-individu anggota jaringan sosial, bukan pada individu dengan job title formal (struktur formal organisasi). Oleh karena itu pula, mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu akan memutuskan kebijakan kabinetnya sering ‘mondar-mandir’ ke DPR atau perlu melobi partai-partai politik meskipun dia dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, AJS mampu memperlihatkan bagaimana suatu aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma yang sudah mapan (bisa) diterapkan atau tidak (demikian halnya dengan aturan-aturan yang telah distrukturkan secara formal di dalam sebuah organisasi).
Dan, standar-standar yang jadi pegangan dalam kehidupan nyata (struktur sosial) membentuk kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan bagi alternatif tindakan, sikap dan perilaku, di mana standar-standar ini sebenarnya merupakan hasil tawar-menawar dari pasangan-pasangan hubungan diadik yang ada dalam jaringan sosial yang bersangkutan dan bukan secara langsung berasal dari sesuatu yang abstrak seperti kebudayaan, sistem nilai atau tatanan moral. AJS lebih mempelajari “keteraturan individual atau kolektif berperilaku” ketimbang keteraturan “keyakinan” tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku
Bila hakikat atau prinsip dari hubungan-hubungan sosial yang mengikat para aktor dalam jaringan sosial yang bersangkutan diketahui maka dapat dibuat prediksinya tentang struktur sosial yang terciptakan, jenis kontrol dan jenis-jenis pertukarannya.
Selain itu, dari perpotongan-perpotongan berbagai jaringan sosial yang terbentuk dalam organisasi, dengan masing-masing struktur sosial (hukum kuasi) yang diciptakannya dapat menjelaskan sejumlah konflik sosial, perubahan dan pengendalian di dalam organisasi (negara dan masyarakat).

Penulis adalah pengajar luar biasa dan associate researcher Pusat Kajian Antropologi – FISIP UI. Direktur Operasional Pusat Analisa Jaringan Sosial. Bukunya "Jaringan Sosial dalam Organisasi" diluncurkan Rabu ini (4/6)
di UI.

3 JUNI 2008

Copyright © Sinar Harapan 2008