Sabtu, 05 September 2009

JARINGAN TERORIS

Jumat, 04 September 2009 13:41
SINAR HARAPAN
Jaringan Sosial Teroris
OLEH: RUDDY AGUSYANTO

Aksi teror bom semakin menggelisahkan banyak orang, tak hanya di Indonesia tetapi juga dunia.


Aksi teror mereka hampir bisa dibilang selalu berhasil – dalam arti mengeksekusi target-target peledakan bom yang mereka inginkan. Sepertinya kapan saja mereka inginkan dan mana saja yang akan dijadikan target selalu berhasil mereka eksekusi. Mengapa mereka sedemikian hebat dan mengapa pula satuan antiteror banyak negara sulit mendeteksi atau melacak gerakan mereka agar bisa men-cegah aksi-aksi peledakan bom mereka.
Dalam kasus teror bom di Indonesia, teror adalah sebuah taktik yang efektif bagi pihak yang lebih lemah untuk menghadapi lawan yang lebih kuat dalam sebuah konflik – baik dari segi finansial, peralatan, jumlah anggota dan seterusnya – meski dalam kasus lain bisa tidak demikian. Oleh karena itu, peperangan tidak terjadi secara terang-terangan dalam arti berhadap-hadapan, melainkan secara “gerilya”. Oleh karena itu pula seorang teroris akan berperilaku dan beratribut normal selayaknya warga pada umumnya. Dia akan ketahuan sebagai teroris ketika melaksanakan (eksekusi) misinya.
Jadi, tidaklah mengherankan jikalau teman, sahabat, keluarga seorang teroris akan terkejut karena tidak ditemui tanda-tanda yang mencurigakan sebelumnya. Dalam hal ini, atribut tidak bisa dijadikan patokan untuk mendeteksi pelaku teror – karena mereka tampak normal (cenderung menghindari “munculnya perbedaan”). Oleh karena itu pula mereka hampir selalu berhasil mengeksekusi target terornya (pengeboman). Mereka akan bisa dilacak setelah mengeksekusi misinya – karena baru bisa diketahui atributnya.
Produk dari aksinya adalah teror seperti ketakutan, perusakan dan intimidasi secara massal. Targetnya bisa random atau selektif. Target random untuk target yang mempunyai peluang yang mudah dieksekusi. Sedangkan target selektif, biasanya yang merupakan representasi simbolik dari pihak lawan atau representasi dari “tuntutan” yang jadi tujuan perjuangan terorisme. Maka, target bom bunuh diri tidak selalu mencerminkan target utama dari perjuangan terorisme. Pesan yang ingin disampaikan, baik melalui target random ataupun selektif, adalah yang mampu menghasilkan publisitas besar. Di sini pula, tanpa disadari media massa ikut ambil bagian. Selain bertujuan menyampaikan pesan untuk “lawan” (agar memenuhi “tuntutan”-nya), bagi jaringan teroris sendiri adalah untuk memelihara semangat “perjuangan” dan solidaritas sosial di antara mereka.

Lingkungan Sosial Seideologi
Dalam menjalankan semua misinya dan demi keselamatan perjuangan mereka, perspektif jaringan sosiallah yang tepat untuk menjalankan semua operasinya – mulai dari finansial, persiapan peralatan hingga perekrutan para eksekutor (peledak bom bunuh diri). Rahasia utama dari prinsip jaringan adalah manusia biasanya hanya peduli dan tahu pasti kepada siapa dia berhubungan langsung (alter), tetapi tidak peduli dengan siapa saja para alternya membina hubungan sosial. Oleh karena itu, dalam sebuah jaringan sosial, meskipun mereka saling berhubungan satu sama lain (hubungan tak langsung melalui para alternya) sering kali tidak mengenal satu sama lain dan belum tentu mereka merasa (secara sadar) sebagai anggota dari jaringan sosial yang sama. Ini pula sistem yang digunakan untuk merekrut para eksekutor peledakan bom bunuh diri dan para perantara.
Orang-orang yang direkrut sebagai eksekutor dan perantara tidak termasuk atau bukan anggota jaringan sosial teroris. Oleh karena itu, merekalah yang paling mudah dideteksi atau dilacak. Mereka tidak mengenal para anggota jaringan teroris sesungguhnya. Prinsip jaringan inilah yang menyelamatkan mereka dari pelacakan “lawan” (satuan antiteror), baik dari sisi keanggotaannya maupun rencana-rencana aksi teror mereka.
Jaringan sosial juga berguna untuk menyebarkan “ideologi perjuangan” mereka. Semakin lama semakin banyak warga (aktor) yang tanpa sadar telah mengadopsi “ideologi perjuangan” mereka sehingga semakin berhasil pula mereka membentuk lingkungan sosial yang se-”ideologi”. Jaringan telah mengubah aktor-aktor (dalam artian mengadopsi kebiasaan atau mengembangkan sebuah sikap) - seperti formasi sikap sosial, pengaruh sosial, serta peluang - homogenitas dalam sikap, keyakinan dan praktik-praktiknya. Hal ini memudahkan aktivitas perjuangan, selain juga sebagai “tempat” persembunyian yang aman – karena lingkungan sosial yang seideologi tentu akan menjaga dan memelihara mereka. Oleh karena itu, mereka sangat sulit ditemukan.
Berikutnya adalah akses, yaitu akses informasi untuk menentukan target-target dari aksi teror bom bunuh diri (melalui perantara-perantara yang diciptakannya), seperti informasi tentang aktivitas apa yang akan dilakukan oleh para pejabat dari pihak musuh, siapa saja yang terlibat dalam aktivitas tersebut, di mana dan kapan aktivitas tersebut dilaksanakan. Mereka sudah menyebarkan “aktor-aktor perantara” ke dalam berbagai lingkungan sosial (melalui penularan ideologi perjuangan dan pembentukan lingkungan sosial). Setelah mereka dapatkan dan ditentukan targetnya maka selanjutnya tinggal merekrut para eksekutor untuk mengeksekusinya.

Indonesia Tempat yang Aman
Di Indonesia sudah terbentuk lingkungan sosial seideologi karena penularan sosial telah berjalan mulus dalam kurun waktu yang panjang. Oleh karena itu, mereka juga telah memiliki modal struktural dan akses power sebab dalam konsep jaringan, seorang aktor (jaringan teroris) mampu meraih kesuksesan (apa yang diinginkan) karena ia dapat mengakses sumber daya yang dikontrol/dikuasai oleh para alternya, termasuk informasi, uang, kekuasaan, dan bantuan materi.
Dalam mengoperasikan konsep jaringan, mereka memanfaatkan kelemahan-kelemahan Indonesia sebagai sebuah negara multikultural di mana masih banyak terjadi ketidakadilan (rawan disintegrasi), selain karena kemudahan membuat identitas ganda (kartu tanda pengenal seperti KTP, SIM, paspor dan sejenisnya) — apa pun bisa dilaksanakan karena lemahnya koordinasi antardepartemen peme-rintahan—bukan karena masalah ada atau tidaknya hu-kum/undang-undang bagi teroris (yang sanksinya “berat”) sebab para eksekutor teror bom bunuh diri tidak takut mati. Terorisme dan jaringan teroris menjadi betah atau memilih Indonesia sebagai wilayah operasi perjuangan karena Indonesia merupakan tempat yang aman bagi operasi perjuangan mereka.
Selama kelemahan-kelemahan tersebut tidak segera diatasi maka selama itu pula kita selalu dihantui aksi teror, karena paling tidak akan menghambat gerak atau mempersempit “peluang-peluang” bagi bekerjanya prinsip jaringan yang diterapkan. Kita harus segera mengkaji untuk mengidentifikasi “pesan-pesan” yang disampaikan melalui aksi-aksi teror mereka guna mengidentifikasi content yang mengalir dalam jaringan sosial mereka sesungguhnya. Dengan demikian, bisa diidentifikasi people (para anggota jaringan teroris) sebab ikatan-ikatan sosial dalam sebuah jaringan sosial dapat dilihat, secara eksplisit, seperti pipa saluran [conduits] melalui mana informasi dan sumber daya itu mengalir – “we use content to find people, we use people to find content”, kata Peter Morville.

Penulis adalah Direktur Operasional Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS), Direktur Eksekutif Institut Antropologi Indonesia (IAI). Pengajar Antropologi di FISIP UI dan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.