Sabtu, 24 Juli 2010

FENOMENA DUNIA MENGECIL: Rahasia Jaringan Sosial




PENGANTAR


Tindakan-sikap-perilaku menyimpang tidak pernah disosialisasikan dan memang tidak terdapat dalam standar kehidupan yang berlaku umum (struktur sosial dan kebudayaan), tetapi mengapa justru dominan dalam kehidupan manusia. Hampir semua orang tua dan lingkungan sekolah serta pemuka agama mensosialisasikan bahwa tindakan menyimpang tersebut itu tidak patut dilakukan atau harus dihindari, tetapi pada kenyataannya apa yang disosialisasikan itu tidak menjamin terwujudnya tindakan, sikap dan perilaku seperti apa yang disosialisasikan (diajarkan) tersebut. Pencurian, mabuk-mabukan, penipuan, juga tindak korupsi dominan dalam kehidupan nyata. Bahkan, penyimpangan atau pelanggaran juga terjadi secara kolektif.

Bagaimana ide menyebar dan menjadi trend budaya, sementara di banyak penyebaran ide/norma yang terencana justru seringkali sulit terinstitusionalisasi? Semua ini, konfigurasi hubungan sosial (jaringan sosial) adalah kuncinya. Berbeda dengan analisa-analisa yang menggunakan asumsi bahwa sosialisasi - norma, nilai, aturan - menentukan behavior, analisa jaringan sosial melihat pada struktur dan komposisi hubungan-hubungan sosial atau ikatan-ikatan sosial yang justru mempengaruhi atau menentukan norma-nilai-aturan mana yang ‘boleh’ atau ‘tidak boleh’ di sosialisasikan. Orang-orang yang mempunyai posisi-posisi tertentu dalam jaringan hubungan sosial, yang sering disebut sebagai “agen perubahan” dalam berbagai kejadian justru menjadi penghambat terjadinya perubahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak orang tua yang kaget atau tidak percaya saat dipanggil oleh Polisi bahwa anaknya tertangkap sedang pesta narkoba padahal mereka dididik dengan baik, di sekolahkan di sekolah ‘pilihan’ dan diberi bekal pengetahuan ‘agama’ yang baik oleh orang tua (dan sekolah) mereka.

Manusia ternyata tidak takut kepada Tuhannya atau aturan-norma-nilai yang baku apa pun (seperti negara atau pun agama). Manusia takut kepada orang lain, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan sosial dengan dirinya. Oleh karena itu, pelanggaran seperti perselingkuhan misalnya, pelaku (suami atau istri) selalu menghindar atau bersembunyi dari orang-orang yang punya hubungan dengan dirinya atau dengan pasangan resminya. Oleh karena itu pula, mereka yang selingkuh seringkali janjian bertemu dengan pasangan selingkuhannya di lokasi yang relatif jauh - Singapura misalnya – yang sangat kecil kemungkinannya orang-orang yang punya hubungan sosial dengan dirinya dan pasangan resminya tersebut ‘beredar’. Bukan berarti di Singapura itu tidak ada manusia. Dengan tidak adanya orang-orang yang punya hubungan sosial dengan dirinya dan pasangan resminya, pelaku merasa aman. Demikian halnya dengan tindakan-sikap-perilaku menyimpang lainnya.

Masyarakat merupakan satu kesatuan sosial yang dibangun atas pasangan-pasangan hubungan sosial (diadik) yang intim – tak sekedar saling kenal. Keluarga sebagai unit sosial terkecil dibangun atas hubungan sosial suami-istri (laki-laki dan perempuan). Oleh karena itu, dalam sebuah masyarakat menunjukkan kemiripan tindakan, sikap dan perilaku para warganya. Melalui pasangan-pasangan hubungan sosial inilah terjadi saling sosialisasi atau reproduksi dan rekonstruksi aturan/hukum, norma, nilai, pengetahuan, keyakinan – sebagai pedoman untuk dan bagi tindakan, sikap dan perilaku.

Oleh karena itu pula, dalam proses pemenuhan kebutuhan, manusia selalu membutuhkan bantuan dan kehadiran manusia lainnya – dengan membina hubungan sosial. Hubungan sosial, pada akhirnya bisa dilihat sebagai semacam “pipa” yang bisa dialiri oleh berbagai “muatan” – seperti informasi, materi, sumberdaya, pengaruh, ide dan lain-lain. Atas dasar ini, manusia dalam mencapai tujuannya atau memenuhi kebutuhan dan keinginannya selalu memanfaatkan hubungan-hubungan sosial yang dimilikinya - diikuti dengan konfigurasi saling keterhubungan (jaringan hubungan sosial) tertentu. Pencapaian tujuan yang berbeda akan menunjukkan konfigurasi jaringan hubungan sosial yang berbeda pula.

Namun, dalam kesempatan ini, saya merasa perlu meluruskan bahwa jaringan sosial berbeda dengan kelompok sosial. Hal ini perlu saya sampaikan sebab seringkali jaringan sosial disamakan dengan kelompok sosial. Dalam jaringan sosial, para anggotanya belum tentu menyadari keanggotaannya (identitas kolektif). Seseorang hanya peduli dengan siapa dirinya berhubungan sosial, tetapi tidak menyadari dan tidak tahu bahkan cenderung tidak peduli dengan siapa teman-temannya itu berteman. Oleh karena itu, kita sering menjumpai kejadian atau peristiwa di mana – setelah berkenalan dan relatif lama berbincang-bincang dengan seseorang, ternyata mereka mempunyai teman (bahkan teman dekat) yang sama…inilah rahasia jaringan sosial.

Sejalan dengan perkembangan (revolusi lebih tepatnya) teknologi informasi, interaksi antar manusia menjadi semakin intens sehingga makin meyempurnakan hubungan sosial – dalam arti mampu mempercepat dan memperluas serta meningkatkan kualitas hubungan sosial. Jarak fisik (geografis) dan waktu seolah-olah sudah tak jadi kendala lagi. Semua manusia di bumi ini bisa dengan bebas berinteraksi dan membina hubungan sosial satu sama lain sehingga kita seolah-olah hidup di sebuah “desa global” (small world). Namun, hal ini bukan berarti bahwa ruang fisik/geografis dan ruang sosial menjadi tidak penting. Jaringan sosial justru seringkali dibentuk berdasarkan ruang geografis dan sosial. Dalam banyak hal, kita lebih dimungkinkan berkenalan dan membina hubungan dengan seseorang yang tinggal di sekitar kehidupan kita, atau lebih mungkin mengenal seseorang dari lingkungan sosial kita. Sebagai contoh, meski dalam daftar teman kita di dunia virtual, misalnya facebook – meski terdapat ribuan nama - kita hanya berinteraksi atau berhubungan secara intens dengan beberapa orang saja (secara berulang atau teman-teman yang itu-itu saja). Hal ini dikarenakan bahwa sekedar kenal saja (tanpa kualitas atau belum menjadi hubungan sosial) tidak cukup untuk mengikat kita menjadi satu kesatuan sosial (jaringan sosial). Singkatnya, fenomena dunia mengecil adalah fenomena jaringan, revolusi informasi hanya mempercepat dan menyempurnakannya. Sehubungan dengan hal ini, Manuel Castells, seorang ahli teori/filsuf Spanyol – menegaskan bahwa revolusi informasi ini mendefinisikan transformasi bagi eksistensi manusia – ia menyebut dunia global kontemporer saat ini sesungguhnya adalah dunia jaringan. Jaringan sosial memantapkan sekaligus mengabsahkannya.

Dunia telah berubah, masyarakat dunia di masa depan adalah masyarakat jaringan seperti yang ditegaskan oleh Castells. Dengan demikian, hal yang paling mendasar dalam kehidupan ini adalah memahami pentingnya jaringan sosial di mana informasi/ide, pengaruh, dan sumber daya mengalir. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan ini. Kita selalu menjadi bagian dari jaringan sosial – di manapun kita hidup dan tinggal. Memang, terkadang jaringan sosial menguntungkan kita, dan mungkin merugikan kita di saat yang lain. Setiap tindakan-sikap-perilaku kita dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan-sikap-perilaku orang lain. Oleh karena itu, di era teknologi-informasi (dan komunikasi) ini, di mana semua ‘entitas’ saling terhubung satu sama lain sehingga berpikir dengan menggunakan pola pikir jaringan sudah selayaknya menjadi suatu keharusan bagi kita, tak terkecuali bagi siapa pun.

Atas dasar itu pula, buku yang mengungkap Rahasia Jaringan Sosial ini sengaja disajikan dalam format semi akademik (semi popular) agar bisa menjangkau semua kalangan – tak hanya kalangan akademisi. Selain itu, untuk menghindari kesalahan interpretasi, seperti power (jika diterjemahkan menjadi kekuasaan sepertinya kurang tepat) sehingga dalam buku ini berusaha untuk tetap mempertahankan konsep-konsep atau istilah-istilah tertentu.


Jakarta, April 2010
Penulis