Jumat, 26 Februari 2010

Oposisi dalam Selimut Koalisi

Oleh: Ruddy Agusyanto
Sinar Harapan, 24 Feb 2010


Setelah menang mutlak dalam pemilihan presiden (pilpres), se¬harusnya SBY-Boe¬diono percaya diri bahwa suara atau dukungan yang diperolehnya dari rakyat adalah legitimate.

Dengan de¬mikian, tidak seharusnya pula SBY-Boediono mencoba me¬rangkul partai-partai politik yang tidak masuk menjadi anggota koalisinya (oposisi) hanya demi (lebih) menguatkan koalisi yang sudah ada agar menjadi “sempurna”.
Apa yang terjadi? Sejak pelantikan kabinet hingga 100 hari hingga hari ini, pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II di bawah pimpinan SBY-Boediono sepertinya tiada hari tanpa guncangan politik–mulai dari kasus KPK vs Kepolisian dan Kejaksaan, Bank Century, hingga isu impeachment.
Padahal, jika dilihat dari koalisi politik yang dibangun SBY-Boediono, hampir tidak menyisakan ruang bagi oposisi. Lalu, selama sejarah sejak berdirinya negara Indonesia, koalisi yang dibangun oleh pemerintah, koalisi Kabinet Indonesia Bersatu II ini adalah yang terlengkap mendapat dukungan dari berbagai parpol yang ada. Akan tetapi, mengapa pula koalisi yang tanpa cela ini justru merupakan pemerintahan yang paling “labil” selama ini?
Hal ini mengingatkan saya pada konsep masyarakat majemuk yang dicetuskan oleh Furnival (1944). Dia menggambarkan masyarakat Indonesia saat itu terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa dengan kebudayaan yang berbeda-beda–saling bertemu di pasar. Di luar arena pasar, masing-masing hidup dalam komunitasnya masing-masing.
Pertemuan/interaksi di pasar adalah murni berdasar¬kan kepentingan yang relatif konkret seperti mendapatkan barang (jual-beli). Setelah kepentingan masing-masing diperoleh, interaksi atau hu-bungan sosial yang ada juga selesai sampai di situ. Artinya, jaringan hubungan sosial yang terbentuk ini adalah berdasar¬kan atau diatur oleh kepenti¬ngan para pihak yang terlibat di dalamnya. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia saat itu hanya ada di “pasar”. Masing-masing kelompok suku bangsa tidak terintegrasi dalam “ma¬syarakat Indonesia”.
Dalam paradigma jaringan sosial, interaksi dan hubungan sosial yang terjadi “di pasar” tersebut dinamakan “jaringan kepentingan”. Jaringan tipe ini terbentuk atas dasar hubu¬ngan-hubungan sosial yang ber¬makna pada “tujuan-tu¬juan” tertentu yang ingin dicapai para pelaku yang terlibat di dalamnya. Bila tujuan-tujuan tersebut sifatnya spesifik dan konkret—seperti memperoleh barang, pelayanan, pekerjaan dan sejenisnya—setelah tu¬juan-tujuan tersebut tercapai biasanya hubungan-hubungan tersebut tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu, struktur sosial yang terbentuk relatif labil dan sarat dengan ruang kosong untuk saling memanipulasi antara para pihak yang terlibat di dalam jaringan yang bersangkutan. Kita melihat banyak kemungkinan si pelaku di dalam jaringan tersebut me¬manipulasi hubungan-hubu-ngan sosial yang dimilikinya atau saling memanipulasi guna mencapai tujuan-tujuannya.

Belum Ideologis
Demikian halnya dengan koalisi yang dibangun pemerintahan SBY-Boediono saat ini. Hal ini (struktur sosial) diper¬kuat oleh kenyataan bahwa parpol yang ada di Indonesia belum merupakan parpol yang bersifat ideologis. Oleh karena itu pula, seorang anggota parpol tertentu bisa mengatakan bahwa “Lho, yang berkoalisi kan parpol kami dengan SBY-Boediono, bukan dengan Partai Demokrat di mana SBY sebagai anggota dan pelindung Partai Demokrat?”
Masing-masing parpol ang¬gota koalisi tidak terintegrasi satu sama lain dalam koalisi yang dibentuk, SBY-Boediono dan Partai Demokratnya tak mampu mengintegrasikannya. Mereka berjalan dengan agenda parpolnya masing-masing. Kenyataannya, anggota parpol koalisi tidak bisa diatur se¬penuhnya oleh koordinator koalisi, yaitu Partai Demokrat.
Parpol anggota koalisi bah¬kan berani secara terang-terangan merasa tak ada kaitannya antara sikap kritisnya dengan koalisi di kabinet. Hal ini menunjukkan bahwa Partai Demokrat sebagai parpol pemimpin koalisi tidak bisa mengendalikan parpol-parpol anggota koalisinya, yang juga menunjukkan bahwa koalisi yang dibentuk tidak terintegrasi, seperti konsep ma¬sya¬rakat majemuknya Furnival.
Selain itu, dirangkulnya par¬pol-parpol oposisi dan lawan-lawan politiknya bertujuan untuk masuk dalam koalisi “susulan” demi menyempurnakan kekuatan atau kesolidan pemerintahan yang dipimpinnya–dengan asumsi bahwa akan bisa meminimalkan “gang¬¬¬guan” jalannya proses ke-pemimpinannya selama lima tahun.
Dengan masuknya lawan politik dan parpol oposisi ke dalam koalisi pemerintahan, tentu saja hal ini membuat sia¬pa oposisi atau koalisi—lawan atau kawan—menjadi “kabur” batas-batasnya. Ibarat me¬ngundang “musuh” masuk ke dalam “rumah”, yang akhirnya menjadikan tuan rumah mempunyai ”musuh dalam se¬limut”.
Akibatnya, sulit bagi SBY-Boediono dan Partai Demokrat untuk mengidentifikasi apakah tindakan atau langkah-lang¬kah yang diambil oleh seluruh anggota koalisi yang dibentuknya, mendukung pemerintahannya atau tidak. Ini membutuhkan energi yang relatif besar, karena sulit membeda¬kan mana yang dukungan dan mana yang oposisi seperti yang diungkapkan oleh Sekjen Par¬tai Demokrat, “…sebagai ba¬gian dari koalisi seharusnya partai-partai memiliki etika dalam berkoalisi. Apabila ada serangan politik, hal itu se¬harusnya hanya datang dari partai oposisi.”
Tidak hanya itu, bahkan tindakan dan sikap oposisi ini bisa memengaruhi sikap ang¬gota-anggota koalisi yang lain, karena dalam sebuah jaringan sosial terjadi saling sosialisasi di antara para anggota ja¬ringan. Sebaliknya, tindakan “tuan rumah” juga akan mudah terbaca oleh “oposisi” yang sudah berada dalam koalisi. Artinya, koalisi ini menjadi semakin rapuh.

Kualitas Hubungan
Semua sikap dan tindakan para anggota koalisi selalu punya jawaban bahwa sikap dan tindakan yang mereka am¬bil adalah untuk mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Misalnya, dalam kasus Bank Century, dengan statement bahwa, “Kami justru mendukung kebijakan pemerintah SBY-Boediono yang menca¬nangkan pemerintahan bersih atau antikorupsi”. Meski di dalamnya terkandung tujuan-tujuan tertentu di mana mereka sebenarnya bertindak sebagai oposisi—terlindungi dengan bungkus “mendukung pemerintahan antikorupsi.” Tindakan sebagai oposisi bisa terlindungi karena para oposan ini sudah berada dalam selimut koalisi.
Koalisi tidak cukup hanya mengandalkan ikatan pertu¬karan kepentingan semata. Semakin spesifik dan konkret pertukaran kepentingan yang dibangun, struktur sosial (ikatan koalisi) terbentuk juga semakin labil. Koalisi perlu membangun hubungan-hubu¬ngan dengan muatan power dan sentiment (emosi) untuk mengintegrasikan anggota-ang¬gota koalisinya. Sebab, ke-teraturan dalam kehidupan sosial manusia—tindakan, si¬kap dan perilaku, baik di dalam situasi yang terstruktur mau¬pun yang tidak—sebenarnya tergantung pada kualitas hu¬bungan-hubungan sosial yang mengikat para pihak terkait.
Hubungan-hubungan so¬sial yang dibangun seharusnya adalah hubungan yang dekat dan menyatu sehingga lahir saling kontrol yang relatif kuat antaranggota dalam koalisi. Ini akan memudahkan lahirnya nilai-nilai dan norma-norma yang mengembangkan kontinuitas pola-pola jaringan hu-bungan yang relatif stabil, se¬hingga menghasilkan rasa solidaritas. Koalisi memerlukan kualitas hubungan sosial untuk memelihara ikatan-ikatan so¬sial yang dibangunnya.

Penulis dari Pusat Analisis Jaringan Sosial dan Institut Antropologi Indonesia, Pengajar PTIK dan Pengajar Luar Biasa Antropologi FISIP UI.