Minggu, 14 Agustus 2011

KETIDAKADILAN DALAM MASYARAKAT MULTIKULTUR: Kasus Papua

KETIDAKADILAN DALAM MASYARAKAT MULTIKULTUR:

Kasus Papua

Oleh: Ruddy Agusyanto

Pusat Analisa Jaringan Sosial

Institut Antropologi Indonesia





NKRI sebagai negara-bangsa dengan masyarakat majemuknya tercermin dalam pengelompokan- pengelompokan sosial (berdasarkan orientasi sukubangsa, agama, afiliasi politik, kebudayaan dan lain-lain) yang berbeda satu sama lain – yang terikat dan terstruktur ke dalam satu jaringan (sistem nasional) dan terstratifikasi secara sosial-ekonomi dan sosial-politik. Artinya, ‘kesatuan-kesatuan atau golongan-golongan sosial’ yang menjadi bagian Indonesia itu tidak hanya terdiri dari kesatuan-kesatuan sosial yang berbeda ras, sukubangsa, bahasa, kebudayaan dan agama secara horisontal, melainkan juga dapat dibedakan secara vertikal berdasarkan daya saing dan daya adaptasinya (daya saing dibedakan dari daya adaptasi adalah untuk membedakan respons atas lingkungan yang dihadapi. Konotasi konsep adaptasi adalah sebagai respons pasif; sedangkan daya saing lebih kepada respons aktif). Masyarakat yang mempunyai daya saing dan daya adaptasi rendah, pemerintah atau negara sering menyebutnya atau menggolongkannya ke dalam ‘masyarakat terasing’ atau ‘masyarakat hutan’ dan sejenisnya) terhadap perkembangan- pekembangan aktual yang terjadi dalam kehidupan mereka masing-masing sehingga ada kesatuan-kesatuan sosial yang tampak lebih dominan dari kesatuan-kesatuan sosial yang lain.



Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia tidak cukup hanya dipahami dari sudut pandang kemajemukan secara horisontal semata. Justru, yang terpenting, adalah dimensi vertikal karena perbedaan daya saing dan daya adaptasi dari masing-masing kesatuan sosial yang satu dapat menjadikan atau mengakibatkan kesatuan-kesatuan sosial yang lain termarginalkan.



Kesatuan sosial yang memiliki kemampuan daya saing dan daya adaptasi yang lebih ‘baik/tinggi’ bisa mendominasi atau memarjinalkan keberadaan kesatuan-kesatuan sosial masyarakat yang memilki kemampuan daya saing dan daya adaptasi yang ‘kurang atau lebih rendah’ (secara teknologi, sosial, ekonomi, maupun politik) sebab perbedaan dayasaing dan daya adaptasi tersebut akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam kemampuan mengakses berbagai kesempatan yang menjanjikan tingkat kehidupan yang lebih layak di masa depan. Perbedaan daya adaptasi dan daya saing ini dapat mengakibatkan suatu kesatuan sosial atau golongan sosial tertentu tidak mungkin bersaing dengan satu kesatuan sosial yang memiliki daya saing dan daya adaptasi yang lebih tinggi. Dengan demikian, dari sudut pandang ini, sebenarnya, kita tidak perlu terlalu takut pada masalah perbedaan sukubangsa, agama, ras, dan antar golongan (SARA) seperti rezim orba, yang lebih mengacu pada keberadaan kemajemukan secara horisontal sebab perbedaan bukanlah sumber konflik[1]. Selain itu, perbedaan sukubangsa, agama dan ras merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari sebab merupakan sesuatu yang diperoleh secara askriptif (warisan). Dan, perbedaan ini tidak menyebabkan manusia konflik dengan manusia lainnya seperti yang telah diuraikan di atas.



Dalam pemikiran multikulturalisme, selain diharapkan akan memberi peluang untuk saling berinteraksi satu sama lain agar bisa tumbuh saling mengenal dan menghargai (toleransi) satu sama lain, juga diharapkan hubungan antar kesatuan-kesatuan sosial yang terwujud berada dalam posisi setara – tidak ada perlakuan ‘khusus’ atau tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Masing-masing kesatuan sosial diharapkan bisa berinteraksi dan bekerjasama dalam berbagai sisi kehidupan sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Sementara itu, ada dimensi lain dalam konsep hubungan setara yang terlupakan atau tidak dikaitkan dengan derajat kekuatan karena pada saat itu perhatian hanya terpusat pada hubungan antar kesatuan atau golongan sosial secara horisontal (kebersamaan dalam harmoni – demi stabilitas sosial politik) sehingga hubungan vertikal selama ini hanya dimaknai sebagai hubungan antara negara dan sukubangsa di mana semua kesatuan/golongan sosial yang ada berada pada posisi setara dalam hubungannya dengan negara – tanpa pernah mempersoalkan hubungan vertikal ‘antar’ kesatuan atau golongan sosial yang ada. Padahal dalam kehidupan manusia, tidak hanya interaksi dan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Bila, salah satu dari kebutuhan tersebut merupakan sesuatu yang “langka” atau “terbatas” sehingga tidak mampu mengcover kebutuhan semua kesatuan atau golongan sosial yang ada, maka persaingan pun tak terelakan. Demikian halnya dengan persamaan nilai terhadap ‘sesuatu” yang dianggap sebagai “sumberdaya”, apabila sesuatu tersebut sama-sama dinilai oleh lebih dari satu kesatuan sosial sebagai sumberdaya (bernilai) maka persaingan atau kompetisipun akan terjadi. Lain halnya dengan sesuatu yang hanya dianggap bernilai oleh salah kesatuan sosial saja, sementara yang lain tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang bernilai (sumberdaya) – tidak akan terjadi persaingan/kompetisi. Aspek “persaingan” inilah yang terlupakan atau tak terpikirkan di era Orba – hal ini terulang kembali pada era reformasi seperti kejadian di Papua.



Persaingan/kompetisi adalah proses perjuangan untuk memperoleh sesuatu yang berharga dan terbatas jumlahnya serta hanya dapat dilakukan oleh para pesaing yang seimbang derajat kekuatannya. Kalau persaingan yang terjadi tidak seimbang, yang terjadi bukan persaingan, melainkan dominasi, ibarat sebuah pertandingan tinju antara petinju kelas berat melawan petinju kelas terbang. Agar tidak terjadi dominasi, diperlukan upaya untuk mengurangi ‘kesenjangan’ derajat kekuatan (daya saing dan daya adaptasi) berbagai golongan atau kelompok sosial (sukubangsa, agama dan kebudayaan) yang ada di Indonesia. Hal ini harus menjadi prioritas pemerintah atau negara. Selain itu, sebelum perioritas tersebut dilaksanakan dan sebelum berhasil mencapai ‘keseimbangan atau kesetaraan’ derajat kekuatan, diperlukan adanya peraturan/aturan atau hukum yang mempertimbangkan ‘batas-batas’ atau ‘kondisi-kondisi’ tertentu dalam persaingan – untuk mencegah terjadinya persaingan antar pelaku yang tak seimbang ‘derajat kekuatan’nya – yang disepakati bersama dan harus ditaati oleh mereka yang bersaing sebagai “perlindungan” kepada yang “lemah”. Dengan kata lain diperlukan kebijakan yang beragam untuk melindungi kesatuan-kesatuan atau golongan-golongan sosial yang daya saing dan daya adaptasinya masih lemah dari persaingan dengan kesatuan-kesatuan atau golongan-golongan sosial yang memiliki daya saing dan daya adaptasi lebih tinggi atau diperlukan “regulasi affirmasi” atau “regulasi preservasi” untuk masalah ini. Melepas begitu saja ‘kelompok-kelompok atau golongan-golongan’ masyarakat yang berbeda-beda daya saing dan daya adapatasinya (yang dalam kenyataan, kesenjangan kemampuan/ daya saing dan daya adaptasi yang ada masih ‘sangat besar’ atau ‘timpang’) ini ke dalam ‘persaingan bebas’ sama saja dengan menabur benih konflik.



Persaingan memperebutkan atau mempertahankan sumberdaya, harga diri dan kehormatan akan dirasakan dalam berbagai situasi di mana hukum dan peraturan-peraturan berikut sanksi-sanksi yang menegakkan keadilan akan dirasakan secara subyektif oleh pihak yang ‘lemah’ – dirasakan tidak berjalan secara baik dan efektif. Rasa “ketidak-adilan” subyektif ini akan memicu konflik (potensi konflik) –“perlawanan” atau “resistensi” – dan tidak mustahil mengarah pada gerakan separatisme.



Dalam persaingan, seringkali terjadi salah satu pihak atau masing-masing pihak saling mengaktifkan “identitas kolektif” untuk mendapatkan dukungan kesatuan sosialnya (memobilisasi massa yang se-identitas) untuk mampu memenangkan persaingan atau perlawanan. Hal ini adalah suatu yang wajar, seperti meminta dukungan asosiasi-asosiasi, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi primordial dengan memanipulasi atau mengaktifkan “perbedaan dan persamaan” yang melekat pada dirinya dan pesaingnya guna mendapatkan dukungan kolektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Permasalahannya adalah sentimen kesukubangsaan (etnisitas) dan agama sangat ampuh dan mudah diaktifkan karena melibatkan ‘emosi dan perasaan’ (eksistensi) sehingga orang rela mengorbankan jiwa dan raga[2]. Oleh karena itu pula konflik antara dua individu yang berbeda sukubangsa atau keyakinan agama sangat mudah menjadi konflik regional atau nasional dan mengancam disintegrasi bangsa.



Sebagai contoh, simbol “Bintang Kejora” dalam kasus di Papua bisa dimaknai sebagai “simbol perlawanan” dari warga Papua untuk ketidak-adilan yang dirasakan dan dialaminya. Dengan mengaktifkan simbol-simbol kebudayaan (juga ekspresi budaya lainnya) dalam konteks ini, selain sebagai simbol perlawanan atau resistensi, tetapi juga untuk menggalang solidaritas sosial sesama warga Papua. Tentunya hal ini justru kontra-produktif terhadap upaya nation and national character building (membuat warga Papua merasa menjadi orang Indonesia)



Aturan-aturan persaingan tersebut juga harus mencakup ketentuan bahwa setiap persaingan, tujuan utamanya adalah memenangkan persaingan sesuai dengan aturan yang berlaku (persaingan sehat). Selain itu, juga diperlukan adanya wasit dan juri (yang dipercaya oleh semua pihak) – agar proses persaingan (terjamin) berjalan sesuai aturan-aturan yang berlaku. Proses kerjasama dan persaingan ini dapat berubah dan berwujud sebagai masalah sosial jika ada salah satu peserta persaingan merasa diperlakukan ‘tidak adil’ atau dirugikan karena salah satu pihak yang bersaing melanggar aturan atau ‘curang’ (dalam persaingan kepentingan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta moral yang berlaku dalam masyarakat) sehingga memicu terjadinya konflik. Disinilah pentingnya peran wasit dan juri. Disini pula peran pemerintah atau negara beserta aparatnya sebagai wasit dan juri sangat diharapkan dalam NKRI sebagai negara-bangsa yang multikultural.

NKRI sebagai negara-bangsa yang multikultur: Manajemen Potensi Konflik dalam rangka menjamin keadilan semua warga dan integrasi di Papua



Kerjasama dan persaingan dalam kehidupan sosial manusia, dalam rangka proses pemenuhan dan keinginan tentu saja tidak selalu berlangsung damai-damai saja. Kadang kala diwarnai dengan perselisihan sebagai dinamika proses mencapai “kesepakatan-kesepakatan bersama” karena pada dasarnya manusia meskipun saling membutuhkan tetapi juga saling manipulative satu sama lain demi tercapainya pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Selain itu, manusia juga pada dasarnya adalah mahkluk yang tidak selalu patuh karena manusia mampu menilai dirinya dan orang lain sehingga juga mampu mempengaruhi atau merubah ‘aturan’ yang sudah ada, termasuk melakukan pembenaran-pembenaran demi kepentingan atau tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Singkatnya, manusia adalah makhluk yang aktif dan reflektif. Oleh karena itu, dalam kerjasama dan persaingan pun diperlukan peraturan / aturan yang disetujui bersama sebagai ‘rambu-rambu’ dan harus ditaati oleh mereka yang bersaing.



Oleh karena itu pula Negara harus memperhatikan dan memahami proses dinamika dalam konteks kerjasama dan persaingan dalam kehidupan sosial di Tanah Papua sebagai pijakan dalam membuat regulasi, peraturan atau undang-undang. Dinamika seperti apa dalam proses kerjasama dan persaingan yang bisa memicu perselisihan dan menjurus pada konflik – dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial) antar golongan khususnya dalam rangka pemecahan masalah kasus “ketidak-adilan” yang terjadi di Papua.



NKRI sebagai negara-bangsa harus mampu menjamin keadilan bagi seluruh warganya, agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada warganya yang merasa terlanggar hak-haknya dalam menjalani kehidupannya – termasuk mampu melindungi warganya yang “lemah”. Dalam perspektif ini, kemampuan Negara mengelola segala potensi konflik yang ada dalam kehidupan sosial/bersama antar golongan (sukubangsa, keyakinan agama, sosial, ekonomi, politik atau kebudayaan) di tanah Papua adalah sama dengan Negara menjamin keadilan bagi warga Papua, selain untuk tujuan pencegahan konflik juga untuk melindungi pihak-pihak yang “lemah” dan untuk nation and bational character building.



Kondisi-kondisi kerjasama dan persaingan yang rawan konflik atau berpotensi konflik yang harus dikelola adalah:



1. Ketimpangan Derajat Kekuatan dalam persaingan/kompetisi (daya saing dan daya adaptasi) yang sangat menyolok. Dalam hal ini, warga Papua perlu ditingkatkan derajat daya adaptasi dan daya saingnya sebab persaingan/kompetisi yang tak seimbang derajat kekuatan/kemampuan antara para pelaku persaingan/kompetisi sehingga yang terjadi adalah dominasi - bukan persaingan atau kompetisi. Hal ini pula yang menyebabkan warga Papua termarjinalkan oleh para pendatang – terlanggar hak-haknya atas tanah adat mereka melalui kesepakatan-kesepakatan yang tidak mereka pahami.



1. Selain itu, juga diperlukan “aturan-aturan” atau “kesepakatan” yang melindungi hak-hak mereka akibat “daya adaptasi dan daya saing” yang masih relative lemah. Otonomi khusus dirasakan tidak mampu menjamin tidak terlanggarnya hak-hak mereka – baik karena otsus itu sendiri masih dirasakan belum mampu mengakomodasi kepentingan dan “hak-hak” mereka atau pun karena “penyimpangan” dalam implementasinya. Hal ini perlu ditinjau ulang aturan-aturan dalam otsus dan evaluasi pelaksanaannya – terkait dengan masalah budaya birokrasi pemerintahan yang masih buruk.



1. Distribusi sumberdaya dan penguasaan sumberdaya (termasuk distribusi jabatan-jabatan strategis) yang dirasakan tidak adil oleh warga Papua.



1. Terdapat keinginan untuk balas dendam atau membalas kekalahan (BERULANG). Ini terjadi sejak Papua menjadi bagian dari NKRI. Akar permasalahan tidak/belum terselesaikan. Mereka merasakan ketidak-adilan ini karena tanah di mana mereka tinggal dan hidup yang sudah mereka tempati dan kelola bergenerasi-generasi jauh sebelum berdirinya NKRI. Mengapa setelah berdirinya NKRI, lebih tepatnya setelah warga Papua menjadi bagian dari NKRI justru “hak dan harta-bendanya” direbut/dilanggar, baik oleh NKRI, ata pun para pendatang dan warga negara asing juga perusahaan.



Selama ini, pemerintah/negara seringkali melakukan tindakan represif guna menghentikan konflik yang terjadi agar tidak meluas dan memakan “korban” yang lebih besar. Fungsi dari tindakan represif adalah untuk menghentikan konflik (sementara) agar ada waktu untuk menyelesaikan atau mencari solusi atas konflik yang terjadi. Namun, dengan “dihentikannya konflik” dianggap bahwa permasalahan akan selesai dengan sendirinya atau dianggap sudah selesai, padahal akar permasalahan atau akar penyebab konflik belum diselesaikan.



1. Selanjutnya, kondisi di atas akan mengundang hadirnya pemimpin/provokator, yaitu orang yang mampu memberi dan menghidupkan SEMANGAT sehingga konflik menjadi terus berlangsung dan semakin meruncing.



1. Konflik bisa terwujud sebagai konflik SIMBOLIK, dengan kondisi relative lemahnya “power” yang dimiliki oleh warga Papua, yang jelas tidak mungkin melawan secara fisik terhadap “pendatang” atau NKRI akibat “ketidak-adilan” yang dirasakan dan yang dialaminya maka yang terjadi adalah konflik “simbolik”. FUNGSI konflik simbolik adalah untuk mempertahankan berlangsungnya konflik yang pernah terjadi, supaya selalu diingat/diperbaharui/disegarkan kembali (dari generasi ke generasi). Warga Papua akhirnya mengembangkan STEREOTIPE – seperti berkembangnya stereotip terhadap pendatang, khusunya orang “Jawa” dan NKRI, termasuk atas hubungan pemerintahan Pusat-Lokal.



1. Oleh karena itu, dalam konteks ini, ekspresi kebudayaan (dalam bentuk apapun) bisa dipahami sebagai upaya dalam rangka pemenuhan kebutuhan personal dan kolektif manusia (kebutuhan bukan hanya ekonomi…tapi termasuk masalah hara diri dan eksistensi) – yang juga bisa “dimanfaatkan” untuk tujuan memperoleh dukungan sosial dari mereka sesama sukubangsa atau kebudayaan – dalam rangka kerjasama, persaingan dan konflik ataupun sebagai bentuk resistensi.



Konflik simbolik ini pada akhirnya mereka menciptakan “batas-batas sosial yang diskriminatif” terhadap pendatang dan NKRI. Dalam konteks “perlawanan atau resistensi” terhadap keberadaan NKRI (negara) melalui simbol “Bintang Kejora”.



1. Pemerintah atau negara sebagai wasit dan juri tidak bisa menjaga/memelihara dan menegakkan aturan yang berlaku – otonomiu khusus.



1. Pemerintah atau negara sebagai wasit dan juri yang masih dirasakan memihak (tidak bersikap netral). Bahkan tanpa disadari negara/pemerintah melakukan “peran” ganda, yaitu selain sebagai “wasit dan juri” tetapi juga bertindak sebagai pelaku (atas nama kepentingan bangsa) sehingga pemerintah/negara sendiri yang melanggar regulasi yang telah ditetapkan (regulasi affirmasi atau preservasi – seperti otsus).



Kondisi kerjasama dan persaingan yang mengandung unsur-unsur tersebut di atas adalah rawan konflik, jika tidak segera diatasi atau dikelola dengan baik akan menimbulkan konflik dengan segala konsekuensinya. Kegiatan manajemen potensi konflik ini diharapkan juga mampu mencari dan menemukan solusinya (cara-cara penyelesaiannya) agar potensi-potensi konflik yang ada selain bisa diredam, juga diharapkan bisa dirubah menjadi sebuah “persaingan atau kompetisi yang sehat” – yaitu sebagai proses saling belajar sehingga mampu meningkatkan kemampuan atau daya saing dan daya adaptasi mereka masing-masing.



Dengan demikian, kasus ketidak-adilan Papua ini jika dilihat dari perspektif tersebut maka masalah minoritas di tanah asalnya sendiri sebenarnya bukanlah masalah, seperti yang gencar diserukan oleh banyak pihak – termasuk media bahwa “warga Papua menjadi minoritas di tanahnya sendiri”. Bagaimana jika warga Papua itu minoritas tapi dominan…tentu saja kehidupan orang Papua di Papua tidak ada masalah. tapi masalahnya adalah “merasa” diperlakukan tidak adil – atau dilanggar hak-haknya – tanpa bisa “melawan” (powerless)



Oleh karena itu pula, ekspresi kebudayaan seperti pengaktifan simbol “bintang kejora” adalah konflik simbolik yang digunakan sebagai perlawanan atau resistensi atas ketidak-adilan yang dialaminya bukan kekerasan atau tindakan “maker” terhadap NKRI. Bisa saja simbol tersebut menjadi atau dijadikan bagian dari salah satu elemen/simbol NKRI jika pemerintah/negara mampu mengembangkan interpretasi-interpretasi (pemaknaan) baru atas simbol tersebut atau menempatkan simbol tersebut dalam kerangka simbol-simbol yang lebih luas dan umum sehingga “bintang kejora” tidak lagi menjadi sebuah “simbol perlawanan” tetapi simbol dinamika masyarakat atau komunitas-komunitas lokal di Papua yang dapat disalurkan menuju pada kegiatan dan upaya peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik. Namun sebaliknya, jika pemerintah atau negara tidak segera menyelesaikan masalah “ketidak-adilan” yang dirasakan dan dialami oleh warga Papua saat ini maka dengan berjalannya waktu bukannya tidak mungkin warga Papua akan merasa “tidak ada manfaatnya” menjadi “orang Indonesia” – dengan kata lain keinginan untuk “memisahkan diri” dari Indonesia semakin “masuk akal” bagi mereka.



Ketidak-Adilan Yang Dirasakan Dan Dialami Oleh Warga Papua



Masalah yang dirasakan oleh Warga Papua selama ini:



* Ketidak adilan atas hak yang berkaitan dengan “tanah” mereka – seperti terlanggarnya batas-batas adat, hak atas tanah, tata guna lahan, aturan-aturan adat dan lain-lain (akses ke tanah dan penghormatan terhadap hak-hak adat atas tanah). Mereka merasakan ketidak-adilan ini karena tanah di mana mereka tinggal dan hidup yang sudah mereka tempati dan kelola bergenerasi-generasi jauh sebelum berdirinya NKRI. Mengapa setelah berdirinya NKRI, lebih tepatnya setelah warga Papua menjadi bagian dari NKRI justru “hak dan harta-bendanya” direbut/dilanggar.



* Merasa tertipu oleh masyarakat non Papua baik atas nama negara atau non-negara – seperti perusahaan, warga Indonesia non-Papua/pendatang juga warga negara asing – melalui kesepakatan-kesepakatan yang tidak dipahaminya.



* Otonomi khusus juga dirasakan tidak menyelesaikan masalah atau menjamin tidak terlanggarnya hak-hak mereka – baik karena otsus itu sendiri masih dirasakan belum mampu mengakomodasi kepentingan dan “hak-hak” mereka atau pun karena “penyimpangan” dalam implementasinya. Selain itu, juga masih terdapat ‘tumpang-tindaih” dengan UU atau Peraturan-peraturan lainnya.



* Hanya warga Papua tertentu (elite papua) yang bekerjasama dengan pemerintah atau negara atau asing yang diuntungkan, dan seringkali pula mereka (oknum warga Papua tersebut) justru ikut andil dalam perlakuan ketidak-adilan tersebut.



Semua ketidak-adilan yang dirasakan ini sudah mengganggu proses kehidupan dan keberadaan (eksistensi) diri mereka sehingga timbul keinginan untuk “melawan” atau bertahan, bahkan sebagian warga Papua ingin memisahkan diri dari NKRI – yang ditandai dengan gerakan separatisme OPM – yang bermula dari masalah “kebutuhan pokok” yang terganggu/terancam sehingga OPM dipelesetkan dengan kepanjangan dari Operasi Perut Merdeka.



Hal ini harus dipahami oleh negara atau pemerintah sebab sudah terbukti bahwa paradigma pembangunan yang Top-Down, yang telah diterapkan selama Orde Baru (orba) terbukti gagal. Pemerintah atau negara harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan lokal atau berbasis pada kearifan lokal atau kebudayaan masyarakat lokal. Dengan kata lain, pembangunan masyarakat Papua harus berdasarkan kebudayaan Papua, yang terbagi ke dalam tujuh (7) wilayah adat – yang berbeda satu sama lain. Hal ini juga berarti bahwa pembangunan masyarakat Papua harus memfokuskan diri pada pembangunan “manusia”nya – yaitu “manusia papua”.





MINDSET: “Harta Tak Bertuan” Di Bumi Papua



Bumi yang sangat kaya seharusnya membuat warganya hidup sejahtera, namun dalam kenyataannya justru membuat mereka hidup “menderita” karena selalu terlanggar hak-hak dasar untuk melangsungkan kehidupannya. Kondisi inilah yang dialami oleh warga Papua kebanyakan. Kondisi ini dialami oleh warga Papua karena:

* Posisi tawar atau “daya saing” warga Papua “lemah” (powerless) dibandingkan dengan golongan sosial lainnya yang ada di bumi Papua
* Dengan “lemah”nya daya saing tersebut maka kekayaan bumi Papua dianggap sebagai “harta tak bertuan”. Lemahnya daya saing tersebut juga tercermin dalam “mindset” warga Indonesia lainnya. Dalam konteks nasional:
o warga Papua selalu dianggap sebagai “saudara termuda”. Jelas hal ini bukanlah “termuda” dalam arti paling akhir bergabung menjadi bagian dari NKRI (bisa mengacu padaTimor Timur – sebelum menjadi Timor Leste).
o Dalam konteks nasional, warga Papua selalu ditampilkan dengan “telanjang” (eksotik – masyarakat bersahaja)

pada akhirnya hal ini melegitimated “ketakberdayaan” warga Papua – yang berarti juga mereka boleh dianggap “tidak ada” (dalam konteks “penguasaan” sumberdaya yang ada). Oleh karena itu pula, isu slow motion genocide sempat muncul ke permukaan.



Akibatnya, Kekayaan bumi Papua membuat semua pihak melihat bumi Papua sebagai “harta tak bertuan” (harta karun), di mana semua orang berhak untuk mendapatkannya. Akibatnya, warga Papua sebagai masyarakat yang sudah bergenerasi-generasi hidup dan tinggal di sana “terlupakan” (seolah-olah tidak terlihat atau dianggap tidak ada). Dalam hal ini, mind set semua pihak perlu dirubah, termasuk mind set pemerintah/negara dalam merumuskan paradigma pembangunan Papua dan para pelaksananya.



Kekayaan bumi Papua membuat semua pihak (stakeholders), tak terkecuali negara/pemerintah NKRI – juga para elite Papua sendiri lupa bahwa di sana ada warga Papua yang kehidupannya jauh dari kehidupan yang layak – yang harus terus berjuang hanya demi bertahan hidup.



Para stakeholders memandang Papua masih sebagai sebuah “permainan”. “Membangun manusia Papua” belum menjadi “kerangka pikir” (mindset) para stakeholders. Sejak tahun 1998 papua minta merdeka hingga sekarang , sebagian warga Papua menganggap tidak ada keseriusan dari pemerintah pusat karena tidak adanya “tindakan” dari pemerintah pusat terhadap pelanggaran/penyimpangan yang terjadi. Otonomi yang ada hanya memperkaya elit birokrat (baik dari pemerintah pusat maupun local), UU tidak konsisten – ada duplikasi aturan (tumpang tindih dengan UU/Peraturan yang lain. Singkatnya, kerjasama (kongsi atau kolusi) yang sedemikian rupa tersebut di atas mengakibatkan lahirnya kesan “pembiaran” dengan sengaja terhadap semua pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi.



Pada akhirnya, perkembangan terbaru di Papua, lembaga masyarakat adat Papua juga menjadi jaringan bisnis orang-jaringan pihak-pihak di luar papua. Konteks pemberdayaan adat tidak dilakukan. Lembaga masyarakat adat lalu diubah menjadi dewan adat papua, yang terdiri dari seluruh kepala suku di Papua. Mereka bersatu membentuk presiden dewan adat Papua, dan isunya akan dikembalikan menjadi lembaga masyarakat papua, yang dikhawatiran oleh beberapa pihak (warga Papua) akan terjadi gesekan di Papua (dicurigai untuk memecah belah masyarakat Papua).



Singkatnya, berbagai pihak (stakeholders) tersebut hanya concern terhadap masalah Papua dalam konteks eksploitasi kekayaan bumi Papua. Oleh karena itu, yang terjadi di sana adalah “kerjasama dan persaingan” dalam rangka perebutan/penguasaan “harta tak bertuan” bumi Papua. Mindset seperti ini semakin diperkuat dengan kondisi warga Papua yang pada umumnya masih “powerless” (daya adaptasi dan daya saing) dibandingkan dengan pihak-pihak lainnya yang hidup bersama di bumi Papua. Dengan kata lain, ketidakberdayaan (powerless) warga Papua tanpa disadari melegitimasi mindset dalam memandang Papua sebagai “harta tak bertuan” dan “tak terlihatnya warga Papua sebagai “manusia” sehingga program-program pembangunan tidak berpihak atau tidak berfokus pada pembangunan “warga” – manusianya – Papua. Oleh karena itu dinamika kehidupan sosial di bumi Papua sangat kental diwarnai oleh:

* Perebutan “harta karun”
* Kerjasama berbagai pihak dalam rangka perebutan atau penguasaan “harta karun”
* Lemahnya “daya saing” warga Papua menyebabkan semakin kuatnya “mindset” eksploitasi harta karun tersebut. Akibatnya, banyak terjadi pelanggaran hak-hak dasar warga Papua yang “lemah” tersebut. Sementara itu, para elite Papua sendiri pada akhirnya ikut serta dalam eksploitasi harta karun tersebut (melupakan warganya). Hal ini juga dikarenakan Orang papua sendiri juga tidak merasa sebagai satu budaya (belum terintegrasi secara budaya – masih terkotak-kotak) sehingga para elit papua pun memanfaatkan kondisi ini yang pada akhirnya tampak tidak memikirkan warganya.
* Budaya “bigman”, dimanfaatkan (dimanipulasi) oleh berbagai pihak untuk pengamanan (untuk sekedar meredam gejolak sosial) dalam rangka eksploitasi harta karun tersebut. Mereka cukup hanya melakukan tindakan “charity” yang tidak membutuhkan dana besar (dibandingkan dengan harta karun yang dieksploitasinya)
* Budaya birokrasi Indonesia, cenderung dimanipulasi dalam rangka eksploitasi harta karun bumi Papua – selain karena budaya birokrasi memang masih belum baik



Dengan demikian, NKRI sebagai negara-bangsa tidak mampu menjalankan atau melupakan kewajiban-kewajibannya untuk melindungi segenap warganya dari perlakuan tidak adil. Negara tidak bisa mencegah terlanggarnya hak-hak warga Papua (sebagai pihak yang lemah) dalam kehidupan bersama – kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



Hal ini juga menandakan bahwa “nation” masih merupakan persoalan bagi NKRI. Artinya, kepentingan bangsa belum menjadi rasionalitas dalam menjalankan pemerintahannya. Dengan kata lain, negara belum menjadikan “kepentingan bangsa” sebagai rasionalitas utama (di atas semua kepentingan) dalam mengelola negara. Konsekuensinya, birokrasi negara juga “bermasalah” dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya (birokrasi Indonesia masih rawan “penyimpangan”). Hal ini, tanpa disadari telah mengakibatkan “kontra-produktif” dalam nation building pada warga Papua – mereka semakin tidak merasa menjadi “bagian” dari NKRI. Akibatnya integrasi sosial-budaya warga Papua sebagai bagian dari Bangsa Indonesia menjadi semakin sulit terwujud.



Berdasarkan kenyataan ini, NKRI sebagai negara-bangsa harus segera:

1. Jangka panjang.

* Merubah “kerangka pikir” (mindset) dalam mengelola kepentingan bangsa. Nation building harus dievaluasi dan dirumuskan “ulang” dengan cermat agar “kepentingan bangsa” menjadi rasionalitas utama atau “kerangka pikir” dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dan dalam menjalankan negara/pemerintahannya – termasuk para elite Papua (Elit Papua membelokkan “kepentingan Papua” – mis. alokasi anggaran 60% untuk aparatur dan 40% untuk publik/warga – yang seharusnya terbalik, atau bahkan bisa 80% anggaran dialokasikan untuk kepentingan publik; agar pula dalam melihat otsus bukan hanya sekedar masalah “anggaran” semata, yang akibatnya tidak membawa hasil pada perubahan kualitas warga Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia).



1. Jangka pendek.

Untuk mendukung nation building tersebut maka pemerintah/negara harus segera mengatasi “ketidakadilan” yang dialami warga Papua (keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan) karena warga Papua sudah sampai pada taraf “kehilangan kepercayaan”. Hal ini, jika tidak segera dilakukan maka akan sulit mewujudkan rasa kebangsaan warga Papua (merasa sebagai orang Papua, tetapi juga merasa sebagai bangsa Indonesia). Negara/Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

* Pemahaman kebudayaan Papua sebagai dasar dari pembangunan warga Papua.
o Tujuh wilayah adat. Hal ini penting sebab tidak semua warga Papua bisa diterima di wilayah adat yang berbeda asalnya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan keberhasilan program-program pembangunan di sana.
o Hukum adat yang berlaku. Misalnya masalah hukum “ganti rugi”. Ketika terjadi secara sengaja atau pun tidak sengaja seseorang melukai atau menyebabkan terbuhnya warga Papua maka sanksi yang berlaku adalah “ganti rugi”. Jika terluka maka ganti ruginya adalah dengan membayar beberapa ekor babi. Jika terbunuh, mis seorang anak kecil maka si pelaku harus menggantinya dengan anak kecil juga untuk diserahkan kepada orang tua atau keluarga korban. Jadi, “nyawa tukar nyawa” tidak berarti bahwa anak si pelaku harus dibunuh, tetapi si anak pelaku akan diserahkan sebagai pengganti dari anak dari orangtua korban. Kasus-kasus seperti ini masih sangat dipatuhi dan tidak akan meluas menjadi konflik sosial. Hal-hal semacam ini tidak bisa diselesaikan dengan hukum pisitif dari negara, misalnya dengan penjara kurungan (penjara). Nanti setelah keluar atau bebas, si pelaku tetap dituntut oleh orang tua/keluarga korban untuk membayar ganti rugi.
o Hak-hak dasar warga Papua menurut wilayah adat masing-masing – yang bila terlanggar maka eksistensi warga Papua terganggu. Misalnya pohon sagu di mana masih merupakan kebutuhan pangan yang pokok dan sebagainya. Hal ini perlu diidentifikasi agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka.
o Pemberdayaan warga Papua

Mengatasi ketimpangan “power” (daya saing) warga Papua yang relatif lemah dibanding warga lainnya yang hidup bersama di bumi Papua. Hal ini menyebabkan terlanggarnya hak-hak dasar (termarjinalkannya) warga Papua. Permberdayaan warga Papua harus segera dilakukan – bukan sekedar meningkatkan “kapasitas”, tetapi meningkatkan “bargaining position” mereka.

* Sebagai contoh, banyak program pemberdayaan kepada warga Papua hanya untuk “peningkatan kapasitas”, tetapi tidak memperhatikan “market” sehingga mereka tetap “powerless”.
* Juga pentingnya program “magang” bagi para warga Papua setelah menyelesaikan pendidikannya di kantor-kantor pemerintahan di pulau Jawa mis.nya; atau dilakukan program “pertukaran” pelajar/mahasiswa juga pengajar (guru dan dosen) – selain untuk tujuan pemberdayaan (pembelajaran) tetapi juga untuk pendidikan “multikulturt” dalam rangka “nation building”.
* Oleh karena itu, sebaiknya program-program pembangunan tidak boleh menggunakan kerangka pikir/model “charity”. Misalnya, masalah dana otsus harus diserahkan ke orang Papua, sebaiknya tidak dengan cara diberikan secara cuma-cuma akan tetapi dibuat dalam suatu program (program pemberdayaan). Kalau mereka kesulitan untuk membuat program, maka Uncen siap untuk membantu. Dalam hal ini, paling tidak harus ada link dengan dunia akademisi/universitas. Selama ini, link antara birokrasi dan akademisi masih terputus.
* Harus dilakukan pemetaan – lebih tepatnya evaluasi terhadap program-program pembangunan yang sudah dijalankan
o Keberhasilan
o Kegagalan
o Hambatan
o Siapa saja yang masih belum “terkena” program-program pembangunan yang sudah berjalan tersebut
o Selama program pemberdayaan sedang berjalan, negara/pemerintah harus memberikan “jaminan perlindungan” agar tidak terjadi “dominasi” oleh pihak-pihak lain sebelum diri mereka benar-benar siap bersaing (powerful), al:
+ UU perlindungan terhadap hak-hak dasar warga Papua
+ UU Otonomi khusus harus dievaluasi, baik dari segi isi UU (apakah sudah menjamin atau melindungi kepentingan dasar warga Papua; apakah masih ada “tumpang tindih” dengan UU atau peraturan-peraturan lainnya) mau pun dalam implementasinya atau pelaksanaannya.
# Dievaluasi isi atau substansinya
# Dievaluasi apakah masih ada “ketumpang tindihan” dengan UU atau Peraturan lainnya. Seharusnya dengan adanya otsus maka UU atau peraturan-peraturan lainnya menjadi tidak berlaku lagi sehingga ada “pegangan hukum” yang pasti.
# Dievaluasi implementasi atau pelaksanaannya
# Anggaran harus dipisahkan dari anggaran lainnya agar mudah dikontrol
# Alokasi anggaran otsus seharusnya lebih difokuskan kepada pembelanjaan kepentingan publik (termasuk untuk penciptaan lapangan pekerjaan bagi kaum terdidik muda, para lulusan SMA, PT maupun yang putus sekolah)
# Dalam implementasinya, sistem control-monitoring-coordination (KMK) harus memadai – rewards dan sanction harus diberlakukan. Bila perlu, dibentuk “Tim independen” untuk melakukannya – mengingat budaya birokrasi masih bermasalah. Selain itu, system KMK yang memadai juga diharapkan bisa menghapus kesan tindakan “pembiaran dengan sengaja” dari mindset warga Papua.
# Identifikasi “sumberdaya” yang signifikan bagi semua pihak – yang diperebutkan karena dianggap berharga oleh banyak pihak; juga terhadap “sumberdaya” yang merupakan “kebutuhan dasar” warga Papua (jika sumberdaya tersebut tidak mampu dipenuhi oleh warga Papua maka eksistensi warga Papua terancam – sesuai dengan kebudayaan atau adat masing-masing sukubangsa lokal)
# Pengaturan ulang distribusi dan penguasaan sumberdaya:
* Sumberdaya – hak dasar warga Papua
* Sumberdaya (harta karun)
* Jabatan atau posisi strategis



* Dengan mempertimbangkan atau berdasarkan “keadilan subyektif” dari berbagai pihak yang hidup bersama di bumi Papua. Dengan catatan bahwa warga Papua yang relatif “lemah” harus tetap menjadi dasar dari kerangka pikir dalam pengaturan dan penguasaan sumberdaya tersebut – termasuk harus mempertimbangkan konfigurasi warga Papua menurut peta budayanya agar tidak terjadi “friksi/gesekan” internal warga Papua (252 dialek bahasa dan terbagi dalam 7 daerah adat).
o Dalam hal ini, Majelis Rakyat Papua (MRP) harus menjadi perhatian pemerintah sebab posisinya yang sangat strategis dan merupakan kunci pembangunan Papua sebab Otoritas utama MRP adalah:
+ Memberikan mandat pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRD. Kewenangan yang dimaksud hanya terbatas pada pertimbangan/konsultasi yang terkait dengan masalah “keaslian” bakal calon gubernur sebagai orang Papua dan “moral” dari pribadi yang bersangkutan.
+ Memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama dengan gubernur. Perdasus diadakan dalam rangka pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Otsus. Pasal-pasal yang dimaksud seperti Pasal 76 tentang “Pemekaran Provinsi menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi serta perkembangan di masa datang”. Dengan demikian pemekaran wilayah haruslah memperhitungkan faktor adat dan sosial budaya dari orang asli Papua. Hak-hak itu antara lain, hak ulayat, hak dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan potensi sosial budaya sehingga pemekaran tidak menyalahi kesatuan-kesatuan wilayah sosial-budaya dan adat, seperti yang kita temui dalam UU No 45 Tahun 1999 yang asal membedah Papua seperti membagi ‘kue tar”.
+ Memberi saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku di Tanah Papua khususnya yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Hak-hak itu adalah hak ulayat, hak persekutuan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, seperti hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, air serta isinya.
+ Menyalurkan aspirasi, memperhatikan pengaduan masyarakat adat, umat beragama, dan kaum perempuan dan memfasilitasi tindak-lanjut penyelesaiannya. Kewenangan ini dimaksudkan untuk menciptakan Papua yang damai sebagai perwujudan dari komitmen semua komponen masyarakat di provinsi ini.
+ Memberi pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota mengenai hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.
+ Otsus untuk siapa?. Pertanyaan ini muncul karena sebagian besar yang menikmati anggaran otsus bukan kebanyakan warga Papua yang lemah (hanya sebagian elite Papua dan non-Papua). Selain itu, otsus harus dilihat sebagai “perlindungan, pemberdayaan dan keberpihakan” bukan masalah anggaran semata.
+ Negara harus mampu menjadi wasit atau juri – sekaligus “hakim” yang “adil”. Artinya, negara harus mampu menjamin “kerjasama dan persaingan” dalam kehidupan sosial di papua mematuhi “aturan-aturan” atau UU (kesepakatan) yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini juga diperlukan adanya kesadaran para elit, baik dari warga Papua mau pun non-Papua yang bisa sebagai role model.



[1] Dari data yang ada mengenai berbagai hubungan antar sukubangsa di Indonesia, warga dan suku-sukubangsa yang berbeda itu tidak bermusuhan atau bertentangan ataupun tidak bersahabat satu sama lainnya karena perbedaan asal keturunan dan asal daerahnya.

[2] Seorang anak bukan hanya dilahirkan dalam keluarga sukubangsa tetapi juga sejak bayi dibesarkan menjadi manusia dan mahkluk sosial serta berbudaya oleh keluarga atau orang tuanya yang dilakukannya dengan mengacu pada kebudayaan sukubangsanya. Karena itu kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa yang dipunyai oleh seseorang adalah suatu yang utama dan yang pertama atau yang primordial dalam kehidupannya. Karena itu sentimen kesukubangsaan dengan mudah digalang untuk solidaritas guna memenangkan sesuatu persaingan atau konflik.

Demokrasi Versi Partai Politik

Posted on Agustus 3, 2011 by pajs indonesia

oleh: Ruddy Agusyanto

Kekuasaan Presiden sedemikian besar di era Orde Baru, dan sebaliknya DPR/MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat sangat lemah. Hal ini dianggap sebagai biang keladi dari rusaknya pemerintahan/negara Indonesia, yang menghambat terwujudnya good governance, demokrasi dan penegakkan HAM, yang akhirnya mengakibatkan penderitaan rakyat. Oleh karena itu, cita-cita Reformasi adalah mengembalikan kekuasaan kepada kedaulatan rakyat

Berangkat dari cita-cita Reformasi, UUD 1945 sebagai acuan dasar dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai dengan harapan rakyat. Reformasi konstitusionalpun (constitutional reform) dilakukan agar terwujud negara/pemerintahan yang good governance, demokratis dan tegaknya HAM.

Selama perjalanan reformasi, telah dilakukan empat kali amandemen UUD 1945. Sejak amandemen ke empat tahun 2002 telah terjadi perubahan mendasar pada UUD 1945 (mengubah prinsip dasar), yang semula penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh MPR sekarang dilaksanakan menurut UUD 1945 sehingga semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenang masing-masing (pembagian kekuasaan) serta saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances) sehingga terwujud negara hukum yang demokratis.

Berdasarkan perubahan mendasar ini maka UUD 1945 yang kita kenal selama ini, sejak tahun 2002 meskipun namanya tetap UUD 1945, tapi dari segi isinya UUD 1945 dapat dikatakan sebagai konstitusi baru dengan nama resmi UUD 1945. Perubahan mendasar ini mempengaruhi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang kita rasakan saat ini, mendorong munculnya pertanyaan reflektif, yaitu “apakah kondisi saat ini sudah menjawab cita-cita reformasi?”, “Apakah DPR dan DPD (MPR) sudah merepresentasikan Kedaulatan Rakyat?”

Ternyata, cita-cita reformasi tak kunjung terwujud padahal reformasi telah berjalan lebih satu dasawarsa. Bahkan, akhir-akhir ini berkembang pendapat di berbagai kalangan (terutama rakyat) bahwa era orba ternyata jauh lebih baik ketimbang era reformasi sekarang. Dulu tidak banyak “kerusuhan/konflik sosial”, harga kebutuhan hidup relatif stabil, jarang terjadi PHK dan seterusnya. Apa yang salah dari perjalanan reformasi? Mengapa di era reformasi ini rakyat justru lebih menderita? Padahal cita-cita reformasi adalah mengembalikan kekuasaan pada kedaulatan rakyat. Tanpa kita sadari telah terjadi “penyimpangan” dalam menterjemahkan “demokrasi” dan “kedaulatan rakyat”.


Kedaulatan Rakyat menjadi Kedaulatan Partai Politik

Semenjak era reformasi, amandemen UU Pemilu dan Parpol telah merubah Kedaulatan Rakyat menjadi Kedaulatan Partai Politik (parpol). Pasal 6 A ayat 2 dan pasal 22 E ayat 3 Batang Tubuh UUD 1945 dinyatakan bahwa untuk menjadi Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembuat peraturan dan pengawasan harus berasal dari Partai Politik. Demokrasi di Indonesia tidak dikenal adanya tirani minoritas maupun diktator mayoritas seperti ini. Demokrasi melalui pemilu memang sudah seharusnya tapi bukan berarti “calon pengurus negara” harus (dan satu-satunya) melalui parpol. Mengapa pengurus/pengelola negara menjadi hak monopoli parpol? Bukan hanya sampai di sini, para menteri dan jabatan/posisi eksekutif penting lainnya pun seolah-olah adalah hak tunggal parpol. Telah terjadi monopoli “hak politik” warga negara sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara hanya menjadi hak parpol. Padahal komponen bangsa tidak hanya parpol. Sebagai contoh, “calon independen” sebagai bagian dari perwujudan “kedaulatan rakyat” seharusnya mendapat peluang yang sama dengan parpol sehingga seharusnya tak perlu menunggu keputusan Makamah Konstitusi untuk menyetujuinya. DPD sebagai perwakilan daerah pun pada akhirnya seperti “macan ompong” karena tak punya wewenang dalam pengambilan keputusan sehingga tidak mungkin memperjuangkan kepentingan daerah yang diwakilinya. Bahkan dalam perkembangannya, anggota DPD pun diisi oleh orang-orang dari parpol.

Kenyataan yang lain, parpol adalah institusi non-profit oriented sehingga tidak mampu menghidupi dirinya sendiri dan cenderung tidak mempunyai aset materi. Dengan jangka waktu berkuasa yang relatif singkat (5 tahun), parpol pun cenderung “mengejar setoran” dari para anggotanya yang menjadi pengurus negara demi kelangsungan hidup parpolnya. Oleh karena itu pula parpol akan terus memanfaatkan pengaruhnya untuk mendorong agar para anggotanya menduduki posisi-posisi strategis di legislatif, eksekutif dan bila perlu juga di yudikatif.

Konsekuensinya, persaingan antar parpol pun semakin meruncing, saling menjatuhkan setiap ada kesempatan. Semangat Check and balance antar lembaga tinggi negara juga berubah menjadi saling menjatuhkan. Singkatnya, amandemen ini membuat parpol hanya concern dalam perebutan dan mempertahankan kekuasaan politik – tidak lebih. Akibat, pemecahan masalah-masalah berbangsa dan bernegara hampir selalu diselesaikan secara politis. Oleh karena itu, semua masalah yang ada tidak pernah terselesaikan karena memang tidak pernah disentuh apalagi diselesaikan. Penyelesaian secara politik tidak identik dengan pemecahan masalah. Ini hanya kompromi politik, atau lebih tepatnya adalah kompromi antar parpol.

Sistem Otonomi Daerah dan Otoritas Negara

Negara sebagai sebuah organisasi, konfigurasi saling keterhubungan (baik hubungan horizontal mau pun vertikal) antar unit-unit sosial dan para pelakunya (anggota) adalah artifisial, yang distrukturkan oleh power. Oleh karenanya negara harus mempunyai pusat-pusat power, yang secara terus-menerus mengkaji-ulang kinerja (performance) unit-unit sosialnya dan mempolakan kembali strukturnya demi tercapainya tujuan negara. Dalam hal ini, negara tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para anggotanya untuk memenuhi kewajibannya secara sukarela. Negara memerlukan otoritas untuk menjalankan sistem kontrol-monitoring-koordinasi (KMK) yang memadai.

Dengan amandemen UUD 1945 pasal 18 tentang Pemerintah Daerah – Otonomi Daerah, negara telah kehilangan otoritas yang ditandai dengan kehilangan sistem kontrol-monitoring-koordinasi (KMK) terhadap unit-unit sosialnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Negara telah kehilangan hubungan power dengan pemerintah daerah, yang telah dibatasi atau diatur oleh UU otda. Presiden, Gubernur dan Walikota atau Bupati, tidak ada hubungan power – tidak ada hubungan KMK – satu sama lain. Negara menjadi powerless dengan adanya amandemen tentang pengelola negara harus dari parpol dan otda. Negara sebagai sebuah organisasi, secara total telah kehilangan otoritas untuk menjalankan sistem KMK.

Sementara itu, alat negara yang masih mempunyai sistem KMK relatif memadai – terutama secara vertikal – hanyalah bidang “pertahanan dan keamanan” yaitu: TNI dan Polri. Sayangnya TNI dan Polri juga belum sehat, dengan lemahnya sistem KMK negara dan “tirani parpol” membuat kedua institusi ini berpeluang untuk menyimpang dan cenderung lebih loyal kepada parpol yang berpengaruh. Akibatnya, kedua institusi ini (sebagai unit-unit negara) menjadi kontra produktif terhadap tujuan negara.



Evaluasi Amandemen UUD 1945

Melihat kenyataan ini, parpollah sebenarnya yang lebih layak disebut “negara” dengan “negara-negara” kecilnya di daerah. Dengan demikian, kecil kemungkinannya terjadi stabilitas politik di negeri ini kalau kedaulatan rakyat diterjemahkan sebagai kedaulatan parpol dan demokrasi diterjemahkan sebagai otonomi daerah (seperti pemahaman otda saat ini). Sistem otda bisa diterapkan jika negara mempunyai sistem KMK yang kuat. Jadi, siapapun pemimpinnya jika sistem politik negeri ini masih tirani parpol yang meniadakan sistem KMK negara maka tidak akan terjadi stabilitas politik, apalagi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, tidaklah berlebihan bila UUD 45 yang telah di Amandemen perlu dikaji ulang atau dievaluasi.

Penulis dari Pusat Analisa Jaringan Sosial dan Institut Antropologi Indonesia

Senin, 11 April 2011

DUKUNGAN POLITIK DAN JARINGAN KOMUNIKASI SOSIAL Kasus Pemilihan Kepala Daerah Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Ruddy Agusyanto
Journal COMMUNICATION SPECTRUM
Capturing New Perspectives in Communication
Vol.1 No.1 Februari-Juli 2011
ISSN 2087 8850

Pusat Analisa Jaringan Sosial, Institut Antropologi Indonesia
Jl. Depok Indah I Blok E/2, Margonda Raya, Depok – 16432, Jawa Barat
Telp: 021-7775403, 021-26262102, Faks: 021-77210885,
E-mail: pajs_ui@yahoo.com



Abstrak
Masyarakat adalah jaringan sosial yang kompleks, terdiri dari sosial hubungan diadik dan triadik di mana satu sama lain saling terkait. Keberadaan dari hubungan sosial diciptakan oleh adanya kebutuhan atau tujuan yang ingin dicapai. Para pemeran di dalam jaringan sosial terikat satu sama lain oleh seperangkat/serangkaian harapan yang relatif stabil yang pada akhirnya menciptakan sejenis aturan-hukum-norma di antara mereka. Jaringan sosial juga menampilkan perilaku yang mirip di antara para pemerannya. Tiap konteks sosial memiliki atau menciptakan sebuah jaringan sosial yang berbeda dengan jaringan lainnya. Berdasarkan paradigma jaringan komunikasi sosial ini, dengan memahami prinsip hubungan yang mengikat sejumlah aktor sehingga membentuk sebuah jaringan sosial, maka kita akan dapat memahami logika situasional, tipe pengendalian sosial, dan pertukaran sosial antar aktor dalam sebuah jaringan sosial; untuk menjelaskan konflik sosial, perubahan sosial, dan kendali sosial di antara mereka – dalam organisasi, negara, atau masyarakat.

Kata kunci: hubungan sosial, konteks sosial, klik, jaringan komunikasi sosial, logika situasional


Abstract
Society is a complex social network, composed of social relations—dyadic and triadic—which is closely related to one another. The existence of social relations is established by common needs or goals they want to achieve. The actors in a social network, one to another tied by a set of their relatively stable hopes that finally create a certain kind of rule-law-norm (situational logical) among them. Accordingly a social network presents a similar behavior among actors. Each social context has or makes one social network which different from other networks. Based on this social network paradigm, by understanding the principles of social relationship which tie a number of actors who form a social network, we would be able to understand situational logical, types of social control, and social exchange among actors in social network; to explain social conflict, social change and social control among them—in organization, state or society. Research in a number of academic fields has shown that social communication networks operate on many levels, from families up to the level of nations, and play a critical role in determining the way how problems would be solved, how organizations would be run, and the degree to which actors succeed in achieving their goals.

Keywords: social relationship, social context, clique, social communication networks,
situational logical



Pendahuluan

Di berbagai pilkada, diusung parpol besarpun bukan merupakan jaminan bagi calon kepala daerah untuk memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau yang sekarang diistilahkan dengan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Berlakunya system pemilihan langsung membuat partai politik (parpol) – parpol “besar” sekalipun - tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kemenangan. Jumlah pemilih (warga masyarakat) yang tidak menjadi anggota parpol jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah mereka yang menjadi anggota parpol. Belum lagi sekarang ini berbagai parpol dilanda konflik internal yang pastinya memecah jumlah suara pendukung mereka. Kalaupun dukungan parpol pengusung seorang calon benar-benar solid, maksimal akan memperoleh dukungan sejumlah keanggotaan parpol yang bersangkutan. Ini pun masih tetap lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan jumlah massa mengambang.

Permasalahannya, meskipun demikian kenyataannya, para kandidat kepala daerah masih tetap sangat mengandalkan atau berkonsentrasi pada parpol ketimbang mencurahkan tenaga dan pikirannya ke masyarakat pemilihnya dalam upaya pemenangan pilkada. Kandidat lebih memfokuskan pada “pencitraan diri” yang tidak berdasarkan pada pemahaman persoalan kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu pula, masyarakat seringkali dihadapkan pada situasi “tidak ada pilihan kandidat” yang dianggapnya tepat untuk menjadi pemimpinnya.

Asumsi bahwa parpol adalah segalanya dalam proses pilkada mengakibatkan kandidat beserta tim suksesnya seringkali mengabaikan pentingnya hubungan sosial dengan masyarakat pemilih dan hubungan-hubungan sosial yang terwujud dalam masyarakat pemilih. Mereka berasumsi bahwa dengan membangun kesepakatan dengan para pimpinan “formal” berbagai organisasi sosial atau organisasi massa seperti parpol, keagamaan, kepemudaan dan sejenisnya sudah menganggap dirinya pasti memperoleh dukungan dari para anggota masing-masing organisasi “formal” tersebut. Maka dari itu, masalah “jumlah anggota” selalu menjadi tolok ukur utama untuk memutuskan organisasi mana yang harus didekati dan pertimbangan lainnya seperti tidak ada artinya. Akhirnya, seringkali kandidat kecewa pada organisasi atau pemimpin organisasi yang dianggapnya “punya massa” tadi, yang dalam kenyataannya tidaklah demikian. Pola pikir attributed dan kesatuan sosial itu selalu homogen (aggregated) seperti ini seringkali mengecewakan atau bahkan “menyesatkan” kita dalam memahami realita yang sebenarnya. Banyak pemimpin formal yang tidak mampu menggerakkan bawahannya bahkan perintahperintahnya seringkali diabaikan oleh anak buahnya. Pemimpin sesungguhnya (powerfull) di dalam banyak organisasi justru seringkali berasal dari pusat banyak hubungan (seperangkat hubungan) dibandingkan job title (formal) yang disandangnya.

Fokus penelitian dalam tulisan ini adalah tentang hakekat atau prinsip-prinsip hubunganhubungan sosial yang mengikat para aktor (yang membentuk jaringan komunikasi sosial dalam masyarakat pemilih) dalam konteks pilkada di Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Pemahaman tentang prinsip-prinsip hubungan sosial dalam jaringan sosial masyarakat pemilih sangat mempengaruhi bahkan menentukan kesusksesan seorang kandidat kepala daerah dalam memenangkan sebuah pilkada sebab dengan memahami hakekat dari hubungan-hubungan sosial tersebut dapat dibuat prediksinya tentang logika situasional (aturan-hukum-norma) yang diciptakannya, jenis kontrol dan jenis-jenis pertukarannya yang berguna untuk: (1) merumuskan program-program dan strategi pemenangan pilkada yang tepat; (2) merumuskan materi kampanye yang signifikan; (3) memanfaatkan aktor-aktor yang mempunyai posisi-posisi penting (broker/jembatan, star/patron atau cut points): (a) sebagai chanelchanel komunikasi yang berguna untuk pembentukan image atau pencitraan seorang kandidat; (b) serta berguna untuk membangun kesepakatan-kesepakatan demi perolehan suara yang maksimal.



Tinjauan Pustaka

Masyarakat adalah Jaringan Komunikasi Sosial
Tanpa kita sadari bahwa dalam melakukan aktivitas sehari-hari, hampir dipastikan bahwa sebagian besar orang yang berinteraksi dengan diri kita adalah orang-orang yang sama (baik secara tatap muka maupun tidak) – meskipun kadang-kadang kita juga harus berinteraksi dengan orang-orang baru. Dengan kata lain, dalam aktivitas sehari-hari, manusia berinteraksi dan berkomunikasi secara intens hanya dengan orang-orang tertentu dan mengabaikan yang lain – sesuai dengan pengalaman dan kebutuhannya.

Proses berinteraksi dan berhubungan sosial dengan orang-orang tertentu ini, tanpa kita sadari pula bahwa setiap kita berhubungan dengan seseorang sebenarnya kita sedang “membangun atau mengkonstruksi kesepakatan-kesepakatan” semacam “aturan” atau “hukum”, nilai dan norma bersama, yang berbeda dengan jika kita berinteraksi dan berhubungan dengan orang yang lain – yang pada akhirnya mengikat satu sama lain. Kesepakatan-kesepakatan tersebut, secara tak langsung juga mencerminkan kualitas hubungan sosial yang terbangun - derajat kedekatan atau keakraban kita dengan masing-masing orang tersebut - yang selanjutnya akan menentukan derajat solidaritas dalam saling keterhubungan tersebut. Di sisi yang lain, aturan, hukum, norma dan nilai yang terwujud tersebut pada akhirnya menjadi pedoman bertindak,bersikap dan berperilaku jika kita berinteraksi dengan mereka dan begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, aturan, hukum, norma dan nilai yang terwujud tersebut juga “membatasi” ruang gerak tindakan, sikap dan perilaku satu sama lain.

Konfigurasi hubungan sosial dari pola-pola pilihan-pilihan hubungan interpersonal (pasangan hubungan diadik) - pertemanan dan atau hubungan-hubungan sosial lainnya dari orang-orang yang terlibat di dalamnya – berbasis pada persepsi-persepsi dan pengalamanpengalaman pribadi masing-masing– baik dalam skala kecil mau pun skala besar seperti “aggregat-agregat sosial” semacam kehidupan ekonomi, politik atau negara/pemerintah dan lain-lain – akan terus berkesinambungan dan bereproduksi sepanjang waktu. Dengan kata lain, pengelompokan-pengelompokan sosial yang ada di masyarakat sebenarnya terbangun atau terdiri dari pilihan-pilihan hubungan personal yang sederhana – yang terdiri dari pasangan-pasangan diadic (pasangan hubungan antara dua orang) dan triadic (pasangan hubungan antara tiga orang), berkembang menjadi seperangkat rangkaian hubungan sosial seperti clique, block, cluster atau jaringan sosial dan terus menjadi lebih besar - hingga menjadi sebuah jaringan sosial yang sangat besar dan sangat kompleks, yaitu masyarakat.

Georg Simmel, memelopori penelitian dengan menganalisis hubungan-hubungan diadik dan triadik (pasangan hubungan yang terdiri dari tiga orang) sebagai bangunan dari kehidupan sosial yang besar dan kompleks, yang sering disebut sebagai konfigurasi-konfigurasi hubungan sosial yang mengikat organisasiorganisasi sosial yang ada di masyarakat – di mana organisasi-organisasi sosial itu sendiri juga merupakan sebuah jaringan hubungan yang dibangun melalui interaksi dan hubungan sosial manusia yang satu dengan yang lain. Konfigurasi sosial yang membentuk sebuah masyarakat (sederhana atau bersahaja mau pun yang kompleks; pedesaan atau pun perkotaan) terdiri dari berbagai “satuan-satuan sosial” yang lebih kecil – seperti keluarga, asosiasi-asosiasi atau organisasi-organisasi sosial – yang di dalamnya juga ditemukan pula pengelompokanpengelompokan sosial yang anggotaanggotanya intim satu sama lain.

Kemudian beberapa ilmuwan sosial melakukan kajian teoritikal yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh Simmel tetapi dengan titik berangkat yang berbeda. Kalau Simmel menelusuri dari “bawah”, yaitu dari hubungan-hubungan diadik atau triadik hingga menjadi sebuah masyarakat. Kali ini justru berangkat dari sebuah masyarakat yang kompleks dan mencoba menelusuri “bagian-bagian” atau unsur-unsur yang membentuknya dengan cara decomposing
jaringan-jaringan sosial ke dalam sub-sub jaringan sosial yang menjadi konstituennya. Mereka menemukan kenyataan bahwa sebuah masyarakat sebenarnya terdiri dari pengelompokan-pengelompokan sosial yang lebih kecil dan kohesif (hubungan yang dekat atau akrab satu sama lain), yaitu hubungan atau ikatan triadic dan diadik sebagai unsur-unsur relasi terkecilnya.

Berbicara soal pilihan hubungan sosial, masing-masing individu mempunyai kebebasan sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman masing-masing. Oleh karena itu, siapa memilih siapa atau siapa dipilih siapa merupakan hal yang penting. Demikian juga dengan muatan sosial yang mengalir, dalam hal apa seseorang memilih membina hubungan sosial dengan seseorang dan tidak kepada yang lain. Dengan demikian, satu konteks sosial akan membentuk jaringan hubungan sosial yang berbeda, misalnya dalam hal pinjam-meminjam uang, A menghubungi B tetapi dalam hal pinjam buku mungkin A tidak menghubungi B melainkan C, dan seterusnya. Selain Itu, dalam setiap hubungan sosial yang terbina belum tentu atau tidak selalu bersifat “timbal balik” (resiprokal). Dalam hal pinjammeminjam uang belum tentu B juga akan menghubungi A demikian juga dengan hal pinjammeminjam buku – belum tentu C juga akan meminjam ke A, dan seterusnya. Oleh karena itu, “arah” dalam sosiogram jaringan sosial menjadi penting – berbeda arah tentu saja berbeda makna dari hubungan sosial yang terbina dan tentu saja berpengaruh pada “hak dan kewajiban“ atau ”aturan-hukum-norma-nilai” yang berlaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa satu konteks sosial akan membentuk satu jaringan sosial atau satu kesatuan sosial dengan segala “aturan-hukum-norma”nya masing-masing. Oleh karena itu, manusia tidak selalu menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya atau konteks sosialnya sehingga dalam rangka pencapaian tujuan, biasanya selalu diikuti dengan konfigurasi jaringan hubungan sosial tertentu.
Jaringan Sosial dan Konsekuensinya

Paradigma jaringan sosial melihat hubungan sosial sebagai suatu proses reproduksi dan rekonstruksi sosial yang terus-menerus dalam kehidupan manusia sehingga memandang ketrampilan, kemampuan, pengetahuan, symbol dan nilai dominan, pranata sosial, struktur sosial dan kebudayaan adalah sebagai sebuah hasil dari interaksi dan hubungan sosial antarmanusia. Jadi, premis dasar tentang hubungan sosial adalah modal sosial, secara sederhananya adalah investasi dalam hubungan, bahkan bisa mendatangkan “keuntungan-keuntungan” tertentu – yang seringkali belum terbayangkan pada saat interaksi dan hubungan sosial itu terjadi.

Studi tentang hubungan sosial sebagai modal sosial menekankan pada adanya kemungkinankemungkinan atas tindakan akibat dari ikatan-ikatan sosial yang ada pada individu yang bersangkutan; sementara yang lain secara implisit menjelaskan bagaimana jaringan mengubah aktor-aktor - dalam artian mengadopsi sebuah kebiasaan atau mengembangkan sebuah sikap - seperti formasi sikap sosial dan pengaruh sosial, serta peluang. Aktor dalam hal ini dilihat sebagai agen yang sangat aktif, yang mengeksploitasi posisi jaringan yang ia temukan sendiri di dalamnya (atau yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri). Oleh karena itu, beberapa pakar jaringan berasumsi bahwa aktor adalah rasional - para aktor dengan sengaja memilih ikatan-ikatan sosialnya (misalnya memanipulasi struktur jaringan) secara spesifik agar dapat memaksimalkan keuntungan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modal sosial dalam pengertian jaringan, menurut model structuralist mencoba menjelaskan variasi kesuksesan (performa atau ganjaran/rewards) sebagai sebuah fungsi dari ikatan-ikatan sosial – termasuk fungsi brokerage; sedangkan model connectionist melihatnya dalam kerangka difusi dan pengaruh sosial yang mencoba menjelaskan masalah homogenitas dalam sikap aktor, keyakinan, dan praktek-prakteknya. Fokusnya adalah pada sumberdaya-sumberdaya yang mengalir melalui ikatan-ikatan sosial. Ikatanikatan sosial ini sering dilihat, secara eksplisit, seperti pipa saluran (conduits) melalui mana informasi dan bantuan itu mengalir. Dalam konsepsi ini, seorang aktor mampu meraih kesuksesan karena ia dapat mengambil atau memanfaatkan sumberdaya yang dikontrol oleh para alternya, termasuk informasi, uang, kekuasaan, dan bantuan materi.

Hubungan sosial sebagai Modal Struktural. Pada level aktor, modal sosial memusatkan perhatiannya pada manfaat bagi aktor baik dalam hal menduduki posisi sentral dalam jaringan ataupun memiliki sebuah ego-network dengan sebuah struktur tertentu. Aktor secara khas dilihat sebagai agen yang aktif, rasional, yang mengeksploitasi kedudukannya dalam jaringan agar dapat memaksimalkan keuntungan.

Selain itu, Hubungan sosial juga sebagai Akses Sumberdaya. Kesuksesan seorang aktor adalah sebuah fungsi dari kualitas dan kuantitas sumberdaya yang dikontrol oleh alter-alter si aktor. Ikatan-ikatan yang dimiliki ego dengan para alternya adalah berupa pipa penyalur (conduits) melalui mana ego dapat mengakses sumberdaya itu. Jenis-jenis ikatan yang berbeda memiliki kapasitas-kapasitas yang berbeda untuk mengekstrak atau menyuling sumberdaya-sumberdaya. Sebagaimana halnya dengan modal struktural, para aktor secara khas, dilihat
secara implisit sebagai agen yang aktif, rasional dan yang berpengaruh, membentuk, dan mengeksploitasi ikatan-ikatan sosial untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Sedangkan dari sisi “Connectionist”, Hubungan sosial sebagai Contagion (Penularan), menjelaskan sikap, budaya, dan praktek bersama (common practices) melalui interaksi. Penyebaran dari sebuah gagasan, praktek, atau objek material ditiru sebagai sebuah fungsi dari transmisi interpersonal sepanjang ikatan-ikatan pertemanan atau arus pengaruh (influence flow). Ikatan-ikatan dibayangkan sebagai pipa-pipa penyalur (conduits) atau jalan-jalan (roads) sepanjang mana informasi atau pengaruh mengalir. Dilihat dari sudut pandang “pengelompokan sosial” sebagai satu kesatuan sosial, para aktor saling mempengaruhi dan menginformasikan satu sama lain dalam sebuah proses yang menciptakan bertambahnya homogenitas dalam “sub-jaringan struktural”.

Selanjutnya, Hubungan sosial juga sebagai Pembentuk Lingkungan Sosial. Penyebaran dari sebuah gagasan, praktek, atau objek material ditiru sebagai sebuah fungsi dari transmisi interpersonal di sepanjang ikatan-ikatan pertemanan atau arus pengaruh (influence flow) dalam sebuah jaringan sosial, yang melalui ikatan-ikatan yang multi-people atau multinetwork
akan menghasilkan jaringan-jaringan sosial yang serupa. Dalam hal ini, pemikiran jaringan mencoba untuk menjelaskan sikapsikap dan praktek-praktek umum yang berkenaan dengan lingkungan jaringan-jaringan sosial yang serupa – yang tak lain adalah hasil dari proses “penularan”.


Jaringan Sosial dan Pemenangan Pemilukada

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, melalui penelusuran atau identifikasi hubunganhubungan sosial yang ada atau yang terwujud di dalam masyarakat calon pemilih maka “kebutuhan/persoalan” yang dihadapi warga pemilih dan “aturan-hukum-norma” yang berlaku, bisa diperoleh secara lebih tepat. Selanjutnya, dengan teridentifisikannya kebutuhan dan persoalan yang dihadapi warga pemilih serta “aturan-hukum-norma”nya, sang calon Kepala Daerah dapat mengelolanya (memformulasikan) menjadi “bahan/materi” kampanye sehingga menjadi relatif lebih mudah diterima dan mendapat dukungan warga pemilih.

Selain itu, kita juga mendapatkan sosiogram (diagram hubungan sosial) jaringan-jaringan sosial yang terwujud dalam warga pemilih, yang bisa kita gunakan sebagai chanel-chanel (saluran) komunikasi untuk mensosialisasikan (mempengaruhi, menanamkan, merubah mindset) program-program yang ditawarkan. Melalui sosiogram ini pula, kontrol, monitoring dan koordinasi bisa dilakukan, termasuk tentang “fluktuasi” sosial yang terjadi dalam masyarakat pemilih, serta bisa digunakan untuk mermonitor apa yang telah dan akan dilakukan oleh kandidat lainnya (competitor).


Metode

Populasi penelitian adalah seluruh anggota jaringan sosial. Sampel, dalam pengertian metode survey pada umumnya tidak berlaku. Proses sampling pada metode survey tidak relevan karena akan memotong/memutus hubungan-hubungan sosial yang nyata (sesungguhnya) atau yang terwujud sehingga aktor-aktor yang digambarkan menduduki posisi-posisi “penting” seperti star, “penghubung” atau cut points dan sejenisnya yang diperoleh nantinya tidak merepresentasikan kenyataan yang ada. Oleh karena itu, metode analisa jaringan sosial tidak membicarakan besar-kecilnya sampel sebab analisa jaringan sosial berpijak pada populasi keseluruhan jaringan yang terwujud.

In the typical social science study, such as survey, a great number of individuals are selected as respondents, and numerous variables characterizing each individual are measured. One (or more) of these dimensions are identified as dependent variables (meaning that they are the behavior of primary interest for researcher to explain), and the other (independent) variables are correlated with them in cross-sectional dataanalysis, usually utilizing a computer to handle the relatively large number of variables and units of analysis. Little or no attention is usually given (1) to obtaining data about the respondents’- relationship with other individuals, or (2) to over-time processual nature of the behavior being investigated (Rogers dan Kincaid, 1981 : 80-81).

Dalam pengumpulan data digunakan metode pengamatan terlibat dan wawancara dengan pedoman, serta kuesioner roster. Metode pengamatan digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat yang diteliti. Dengan metode pengamatan, seorang peneliti dapat dengan lengkap memperoleh gambaran tentang gejala-gejala (tindakan, benda, peristiwa dan sebagainya) serta kaitan antara satu gejala dengan gejala-gejala lainnya yang bermakna bagi masyarakat yang sedang diteliti. Dengan demikian, metode pengamatan terlibat merupakan suatu teknik pengumpulan data yang mengharuskan si peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya untuk dapat melihat, mendengar, dan memahami gejala-gejala yang ada, sesuai dengan makna yang diberikan atau yang dipahami oleh masyarakat yang diteliti. Dalam metode ini, sudah termasuk pula wawancara – yang semuanya adalah untuk memahami “konteks-konteks sosial” yang signifikan bagi para aktor.

Sedangkan wawancara dengan pedoman adalah suatu teknik pengumpulan data atau informasi dengan teknik bertanya yang bebas tetapi berdasarkan atas suatu pedoman (sesuai dengan ruang lingkup penelitian) guna mendapatkan informasi khusus, bukan respons.

Sedangkan untuk identifikasi para anggota (aktor) dan sosiogram jaringan-jaringan sosial yang terwujud digunakan kuesioner roster. Kuesioner roster berisi daftar nama-nama para aktor dengan pertanyaan yang berkisar pada pilihan aktor berdasarkan konteks-konteks sosial yang telah diperoleh melalui pengamatan terlibat dan wawancara. Selanjutnya adalah identifikasi posisiposisi masing-masing aktor dalam jaringan-jaringan sosial, digunakan metode cyclic block. Metode clique atau block ini merupakan suatu cara untuk mencari atau menemukan pengelompokanpengelompokan yang lebih kecil di dalam sebuah jaringan sosial yang lebih luas serta aktor-aktor yang mempunyai posisi-posisi penting di dalam clique dan jaringan sosial secara keseluruhan.

Langkah-langkah yang dilakukan:
- Pertama, melakukan pengamatan dan wawancara untuk mengindentifikasi konteks-konteks sosial (muatan sosial) yang signifikan.
- kemudian, melalui konteks-konteks sosial tersebut di atas, seorang aktor akan menghubungi siapa atau dihubungi siapa. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan namanama/ identifikasi aktor yang membentuk suatu jaringan sosial atau merupakan anggota suatu jaringan sosial.
- Selanjutnya, masing-masing aktor yang membentuk jaringan sosial tersebut diberi “sekumpulan pertanyaan” yang dikemas sedemikian rupa guna memperoleh prinsipprinsip hubungan sosial yang mengikatnya pada tiap konteks sosial atau muatan sosial.



Hasil dan Pembahasan

Banjarbaru (BJB) merupakan sebuah kota yang usianya masih relatif muda. Sebelumnya, BJB adalah bagian dari kabupaten Banjar sebagai kota administratif. BJB berdiri sebagai sebuah kota otonom berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1999 20 April 1999 dan pada tahun 2011 direncanakan akan menjadi Kota Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan.

Sebagai kota baru, apalagi pada tahun 2011 direncanakan akan menjadi kota pemerintahan Kalimantan Selatan, mau tak mau harus berbenah diri atau menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan sebagai sebuah kota yang mandiri (otonom). Berbagai sector kehidupan harus disesuaikan, baik dalam hal yang bersifat fisik mau pun non-fisik – termasuk kualitas sumberdaya manusia (sdm) yang diperlukan.

Sebagai akibat dari perubahan status BJB ini, perubahan yang relatif menonjol yang perlu dicatat adalah jaringan sosial dalam kontekskonteks tertentu menjadi signifikan dalam struktur power di BJB:

1. Peruntukan Lahan. BJB semakin terbuka baik untuk kawasan pemukiman maupun peruntukan yang lain, seperti perkantoran, niaga dan sebagainya. Konsekuensinya adalah kenaikan harga tanah. Tanah di BJB menjadi “barang berharga”. Oleh karena itu peruntukan tanah harus direncanakan dengan baik sesuai dengan keperluan untuk mendukung BJB sebagai kota yang otonom. Aparatur pemda bagian Tata Kota dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi salah satu kunci penting bagi keberhasilan BJB. Para pengembang (terutama di sektor property) untuk keperluan pemukiman/perumahan, perkantoran, juga untuk membangun prasarana-prasarana fisik lainnya – termasuk fasilitas umum, sangat diperlukan. Adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, pada akhirnya terjalin hubungan sosial yang relatif erat antara pejabat Tata Kota, BPN, pengembang dan tuantuan tanah di BJB.
2. Selain itu, untuk keperluan SDM, sector pendidikan menjadi penting perannya untuk meningkatkan sdm yang ada demi kebutuhan BJB sebagai kota baru yang otonom. Oleh karena itu, dalam waktu singkat BJB dipenuhi oleh lembaga-lembaga pendidikan, dari setingkat kursus hingga lembaga pendidikan D1, D2, D3 hingga setingkat perguruan tinggi. Tak hanya itu, BJB juga menjadi pusat diklat (sering dijadikan tempat untuk menyelenggarakan diklatdiklat instansi pemerintah untuk wilayah Kalimantan Selatan). Akhirnya, BJB berkembang menjadi “kota pendidikan” bagi Kalimantan Selatan. Akibatnya, tokoh-tokoh pendidikan mempunyai posisi cukup penting di BJB.
3. Jumlah penduduk di Kota BJB berkembang pesat akibat daya tarik sebagai kota otonom, yaitu migrasi – perpindahan penduduk dari luar Kota BJB, baik dari Kalimantan sendiri maupun dari luar Kalimantan. Komposisi penduduk, pada tahun 2000, BJB sudah heterogen jika dilihat dari komposisi golongan sosial sukubangsa yang ada, seperti yang terlihat pada table

Tabel 1. Komposisi Golongan Sukubangsa di Kota Banjarbaru
Sukubangsa Jiwa %
Banjar 75.537 0,609
Jawa 37.975 0,306
Bugis 947 0,008
Madura 1.180 0,010
Buket 1.728 0,014
Mandar 6 0,00005
Bakumpai 85 0,001
Sunda 2.319 0,019
Lain-lain 4.196 0,034
Jumlah 123.973 100
Sumber:BPS BJB


Meskipun heterogen dari komposisi sukubangsa, saat masih menjadi bagian dari kabupaten Banjar, di sana terdapat dominasi budaya – sukubangsa dan keyakinan agama (Banjar dan Islam) seperti dominasi budaya yang terjadi di Bandung dan Yogyakarta di mana budaya Sunda menjadi budaya dominan dalam kehidupan sosial di Bandung; dan budaya Jawa menjadi budaya dominan dalam kehidupan di Yogyakarta (Bruner, 1974, hlm 251-288). Namun, sejak berdiri menjadi kota otonom dengan walikotanya sendiri, BJB berubah, ke-Banjar-an dan ke-Islam-an – terutama ke-Islaman-an tak lagi menjadi budaya dominan dalam kehidupan sosial di BJB.

Dalam perjalanan waktu, pada tahun 2009 saat penelitian ini dilakukan, komposisi penduduk mengalami perubahan yang cukup signifikan. Meskipun tidak ada data resmi saat itu, dari beberapa sumber berbagai LSM yang pernah melakukan pendataan karena keperluan program-program kerjanya, mereka mengatakan bahwa sukubangsa Jawa sudah menjadi mayoritas di BJB (sekitar 70-80%). Selain itu, hubungan antar sukubangsa antara Banjar dan Jawa sudah berlangsung relative lama sehingga hubungan antar sukubangsa tersebut bisa dikatakan relatif stabil. Oleh karena itu pula, di antara mereka sudah banyak terjadi kawin campur. Jadi, di dalam kategori orang Banjar dan Jawa, di dalamnya sudah termasuk orang-orang hasil kawin campur, yang mereka sebut dengan “Jaka” (Jawa Kalimantan).

Identitas sebagai orang Banjar atau Jawa bagi para Jaka merupakan “pengakuan diri sendiri dan orang lain” dalam interaksi dan hubungan sosial yang terjadi – bukan dari kategori biologi. Akibatnya sentiment kesukubangsaan menjadi cukup penting bagi mereka dalam kehidupan di BJB. Oleh karena itu, di BJB tumbuh subur pengaktifan kesukubangsaan, yang terlihat dari banyaknya organisasi-organisasi sosial atau kemasyarakatan berdasarkan sentiment (atas
nama) daerah asal dan sukubangsa.

Pada akhirnya, sentiment ke-Islam-an, sentiment kebangsawan (Gusti) dan putera asli daerah (PAD) tidak lagi dominan. Muncul tokoh-tokoh baru dari golongan sosial pendidikan/akademisi, pengusaha (terutama yang berkaitan dengan “peruntukan tanah”) serta profesi karena masyarakat akhirnya lebih menghargai status “achievement”. Dengan kata lain, tokoh keagamaan dan bangsawan atau PAD tidak lagi menjadi satu-satunya yang powerfull dalam kehidupan sosial-politik di BJB. Berdasarkan kondisi ini, para bakal calon (balon) atau calon kepala daerah sudah seharusnya berpikir ke arah sana. Namun, masih banyak dijumpai para balon beserta tim suksesnya yang masih berpikir berdasarkan PAD dan keagamaan secara attributed dan aggregated – dengan membangun hubungan atau kesepakatan dengan para tokoh organisasi-organisasi keagamaan atau parpol basis keagamaan untuk menggalang dukungan suara.

Dari lapangan, penulusuran hubungan sosial dalam konteks pemilu legislatif dan pilkada, jaringan sosial “total” teridentifikasi atas 51 aktor yang membentuk jaringan sosial seperti sosiogram di bawah ini:



Interaksi dan hubungan sosial terjadi karena berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh para pelaku sebagai makhluk sosial untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka (Agusyanto, 2010 : 31-46; Suparlan, 2004 : v-x).

Berdasarkan jaringan sosial yang terwujud dalam konteks pemilu legislatif (DPRD) dan pilkada (Walikota dan wakilnya), dengan melakukan composing (membentuk jaringan sosial) dan decomposing (diadik dan triadik yang membentuknya) diperoleh bahwa jaringan tersebut terbentuk dari sejumlah clique sebagai
berikut:

CLIQUES
————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————
Minimum Set Size: 3
Input dataset: QPAM\PAJS\KALSEL\BJB\Fieldnote\jaringan Total
21 cliques found.
1: DWP SRY OGF RDR ERS 2: DWP SRY DJY OGF ERS 3: DWP OGF ASA
4: DWP OGF RMT 5: SRY YSR DJY OGF 6: OGF UCK IMK
7: OGF RDR IPDN 8: HDS DWP SRY RDR 9: RDF HDS DWP
10: HDS PMN TM9 11: RDF HDS AWC 12: HDS AWC RDR
13: PMN RMT FRM 14: PMN TM9 FRM 15: UCK IMK FRK
16: DWP SRY ARS RDR 17: SRY ARS RDR RZN 18: SRY ARS FRM
19: DWP SRY DJY FAB 20: DWP SRY FDY 21: RMT ISM MTR



Ide Klik di dalam definisi teoritik graph adalah sebuah jaringan subgroup yang kohesif, yaitu subgraph menyeluruh atau maksimal dan komplit. Tepatnya, sebuah klik adalah sekelompok aktor yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk cyclic block - dengan jarak path antar pasangan aktor dalam klik adalah “1” dengan kepadatan (density) klik yang juga sama dengan “1”. Akan tetapi, kepadatan maksimal ini sangat jarang terjadi di dalam struktur sosial secara empirik maka alasan ini digunakan untuk menggunakan konsep “cyclic block”. Konsekuensinya, konsep klik menjadi lebih “longgar” dalam analisa subgroup. Jadi, yang sekelompok aktor bisa dikategorikan ke dalam sebuah cyclic block tidak harus saling berhubungan atas dasar hubungan langsung, dengan kata lain kepadatan suatu cyclic block bisa kurang dari “1” atau mendekati “1” (tetapi di antara para aktor yang bisa dikelompokkan menjadi satu cyclic block tetap harus ada saling keterhubungan yang membentuk “lingkaran
tertutup/semi tertutup”/’cyclic’ (Agusyanto, 2007 : 64-65).

Selain itu, juga teridentifikasi bahwa beberapa aktor berperan sebagai cut points, seperti sosiogram di bawah ini.



Melalui para aktor cut point tersebut, semua pengelompokan-pengelompokan sosial terhubung satu sama lain membentuk sebuah jaringan sosial. Artinya, jika tidak ada mereka maka jaringan sosial tersebut akan terceraiberai. Yang menarik dari temuan ini adalah hanya 12,5% (2 aktor dari 16 aktor cut point) yang merupakan kader parpol meskipun jaringan sosial ini konteksnya adalah pemilu legislatif dan pilkada. Sedangkan, balon kepala daerah yang teridentifikasi dalam jaringan sosial tersebut ada 13 aktor yang terdiri dari 5 aktor birokrat, 3 aktor politisi, 4 aktor akademisi dan 1 aktor dari orsos/ormas.

Di dalam kehidupan perkotaan, bidangbidang kehidupan yang dijalani oleh orangorang sekerabat sangat bervariasi - dan jarang sekali saling bersinggungan satu sama lain. Selain itu, tidak seluruh kebutuhan si individu bisa didukung atau dibantu oleh si kerabat (selain jumlah kerabat di kota yang sama tentu tidak banyak dan kondisi persaingan yang ketat). Selanjutnya, si individu akan memperluas hubungan yang kurang-lebih mirip dengan hubungan kekerabatan tetapi mempunyai daya jangkau yang lebih luas (yang mempunyai kemungkinan untuk mencakup orang-orang yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan namun bisa dimanfaatkan guna mendapatkan dukungan/bantuan), seperti hubungan sukubangsa dan sedaerah asal. (Agusyanto, 2007 : 53-56).

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa:
- Keyakinan agama dan kesukubangsaan hanya diaktifkan atau dimanfaatkan untuk memperoleh dukungan atau perolehan suara pada pilkada yang akan diselenggarakan pada tahun 2010 nanti (penelitian dilakukan Februari 2009, selama satu bulan penuh).
- PAD masih signifikan untuk calon kepala daerah, tetapi sentiment ke-PAD-an tidak signifikan bahkan bisa menjadi kontraproduktif jika digunakan untuk memperoleh dukungan perolehan suara sebab seorang kepala daerah harus bisa diterima oleh semua golongan sosial yang ada di BJB sehingga bentuk “eksklusifitas” apapun akan menjadi kontra-produktif untuk memperoleh dukungan perolehan suara.
- Seorang kepala daerah diharapkan juga mampu memenuhi kebutuhan semua golongan sosial yang ada, oleh karena itu kandidat diharapkan adalah orang yang “pintar” dan “terbuka” (bisa menerima perubahan). Kriteria prestasi akademisi dan jiwa “muda” (sebab generasi senior, umumnya sulit menerima perubahan) akhirnya menjadi penting bagi seorang calon kepala daerah. Selain itu, criteria “pengalaman” (terbukti) dalam konteks mengelola kepentingan masyarakat yang heterogen dan pemerintahan juga menjadi syarat penting sehingga salah satu dari pasangan calon walikota dan wakilnya adalah birokrat.
- Good governance menjadi syarat yang penting juga sehingga kriteria golongan sosial akademisi atau perguruan tinggi menjadi semakin penting. Perguruan tinggi atau dunia akademisi di benak masyarakat BJB adalah dunia yang masih dianggap relatif paling “bersih” dari tindak korupsi atau penyimpangan lainnya.
- Parpol menjadi kurang signifikan untuk memperoleh dukungan suara dari masyarakat. Bahkan dari beberapa pengalaman justru kontra-produktif, apalagi untuk memperoleh dukungan anggotaanggota masyarakat yang merasa pernah dikecewakan oleh parpol. Sentimen keparpol-an tidak signifikan bagi masyarakat BJB yang karakternya “terbuka” untuk semua golongan sosial. Akhirnya, parpol bagi masyarakat BJB dan bagi calon kepala daerah tak lebih dari hanya sekedar “tiket” untuk bisa terdaftar (maju) sebagai calon resmi (terdaftar di KPUD) sebagai kandidat pilkada. Sebagai contoh: (1) Pada pemilu legislatif tahun 2004, kader dari parpol pemenang maju sebagai kandidat pilkada tetapi menggunakan tiket dari parpol lain dan berhasil menang, dan (2) Dalam pemilu legislatif, seorang non-muslim maju sebagai calon legislatife (caleg – DPRD) dengan “kendaraan” atau “tiket” dari parpol yang berbasis Islam. Selain itu, dijumpai bahwa sebagian besar caleg yang teridentifikasi tidak berasal dari parpol atau kader parpol.

Oleh karena itu pula, parpol tetap berupaya menjaga agar perannya tetap penting dalam proses pilkada, antara lain dengan pengetatan syarat-syarat bagi kandidat independen. Syarat dukungan minimal sebesar 3 sampai 5% dari total pemilih tentu sulit dilalui. Parpol saja tidak muda untuk hal ini. Dari hasil pemilu 2004, hanya Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang memperoleh suara di atas 3% sehingga paling tidak parpol tetap merupakan “tiket” sebagai calon pemimpin daerah untuk bisa berkompetisi secara resmi dalam pilkada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pilkada, masyarakat pemilih sebenarnya lebih menentukan siapa calon kepala daerah yang menang atau siapa yang menjadi kepala daerahnya dibandingkan parpol.

Dengan demikian, kandidat kepala daerah dan tim suksesnya harus memahami kontekskonteks
sosial yang signifikan dan jaringan sosial yang terwujud serta harus mampu membina hubungan atau bekerjasama dengan para aktor yang menduduki posisi-posisi penting seperti broker, star atau cut points dalam rangka pencitraan diri dan penggalangan dukungan suara. Kandidat yang mampu melakukannya akan berpeluang lebih besar untuk memenangkan pilkada.


Simpulan

Analisa Jaringan Sosial (AJS) memungkinkan hubungan antar-orang dapat dipetakan untuk menentukan aliran pengetahuan: siapa yang mencari informasi dan pengetahuan dan kepada siapa? Siapa yang membagi informasi dan pengetahuannya dan dengan siapa? Tidak sama dengan peta organisasi yang menggambarkan hubungan formal (struktur organisasi) siapa bekerja dimana dan siapa melapor kepada siapa, maka AJS adalah peta yang menggambarkan hubungan yang actual yang terjadi siapa mengetahui siapa, dan siapa yang membagi informasi dan pengetahuan kepada siapa. Dengan AJS maka seseorang dapat memvisualisasi dan memahami bahwa beberapa hubungan dapat memfasilitasi atau bahkan merintangi proses
penciptaan pengetahuan baru dan saling berbagi pengetahuan. Sebab secara normal hubungan ini tidak tampak.

Di era informasi saat ini, pengelompokan sosial terdiri dari individu-individu atau sekumpulan individu yang justru berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda (heterogen) terjadi proses “homopili”. Dalam satu jaringan sosial, para anggotanya terdiri dari individu-individu dengan latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan melakukan studi jaringan sosial maka dengan sendirinya akan menggambarkan keragaman latar belakang dari populasi (atribut – seperti status pekerjaan, sukubangsa, keyakinan, budaya, tingkat pendidikan dan sebagainya).

Dengan demikian, kita dapat mengkaji pengelompokan-pengelompokan sosial (jaringan sosial) yang justru susunannya “heterogen” (latar belakang/”atribut” yang beragam) terikat menjadi “satu kesatuan sosial” untuk memahami logika situasional (hukum kuasi) yang terwujud. Bila kita masih menggunakan pola pikir attributed-aggregated, kita tidak akan mampu melihat “gejolak” (fluktuasi) kehidupan manusia yang empiric terjadi setiap harinya sebab manusia saling tergantung tetapi juga saling memanipulasi satu sama lain. Ini adalah proses internal dan inheren dalam hubungan sosial antar-manusia.

Dengan demikian, implikasi teoritis dari penelitian ini, dengan memusatkan perhatian kepada hakekat hubungan-hubungan sosial yang mengikat para individu dalam jaringanjaringan sosial dapat dibuat prediksinya tentang “logika situasional” yang diciptakan, jenis kontrol dan jenis-jenis pertukaran yang ada sehingga bisa memberi sumbangan terhadap perkembangan teori-teori tentang konflik, perubahan dan pengendalian sosial di dalam kehidupan manusia. Selain itu, AJS juga mampu menjelaskan penyebaran atau penolakan ide-ide dan praktek-praktek baru sebab agen perubahan dan Opinion Leader sering memainkan peran utama dalam adopsi (penerimaan dan penolakan) sebuah inovasi yang pada akhirnya mampu memberi sumbangan terhadap perkembangan teori-teori difusi dan inovasi.

Sedangkan implikasi praktis dari penelitian ini, dengan AJS kita bisa mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh masing-masing jaringan sosial sehingga bisa diprediksi solusisolusinya serta pemimpin seperti apa yang mampu menyelesaikan kebutuhan dan
persoalan kolektif mereka.


Daftar Pustaka
Agusyanto, Ruddy (1991). Jaringan Sosial dan Kebudayaan: Kasus Arek-arek Suroboyo di Monas, Jakarta. Media Ika. Jakarta: Ikatan Kekerabatan Antropologi – Universitas Indonesia, hlm. 12 - 37.
_____________ (1994). Pengelompokan Sosial dan Perebutan Sumberdaya: Kasus Arekarek Suroboyo di Jakarta. Analisis. Jakarta: CSIS, hlm. 204 - 212.
_____________ (2004). Struktur Sosial Dunia Kerja di Perusahaan: Kasus Perusahaan TH di Gerbang Barat. Laporan hasil penelitian dalam Konvensi Wanita di Indonesia. Dalam Sulityowati dan Archie Sudiarti, ed. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm, 75 – 88.
_____________ (2007). Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
_____________ (2007). Korupsi ‘Harus Berjemaah’. 20 September 2008. Opini di Harian Sore Sinar Harapan.
_____________ (2009). Jaringan Sosial Teroris. 4 September 2009. Opini di Harian Sore Sinar Harapan.
_____________ (2009). Parpol Hanya Sebuah Tiket Pendaftaran. 11 Mei 2009. Opini di Harian Sore Sinar Harapan.
_____________ (2009). Paradigma Jaringan Sosial dan Dinamika Kolektif. 18 April 2009. Opini di Harian Sore Sinar Harapan.
_____________ (2009). Pilpres: Koalisi Kontekstual. 28 Maret 2009. Opini di Harian Sore Sinar Harapan.
____________ (2009). Golput Calon Pemenang Pemilu 2009. Obyektif , Edisi Januari 2009.
_____________ (2010). Fenomena Dunia Mengecil: Rahasia Jaringan Sosial. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia.

Borgatti, S.P and Pacey C.F. (2003). The Network Paradigm in Organizational Research: A Review and Typology. Journal of management, 2003 29(6), hlm. 991-1013. Elsevier Inc.

Burt, Ronald S. (2000). The Network Structure of Social Capital. Dalam R. I. Sutton and B. M. Staw (eds.). Research in Organizational Behavior, 22: 345–423.
Greenwich, CT: JAI Press. Everett, M. (1982). A Graph-theoritic Blocking Procedure Social Networks. Social Networks, 4, hlm. 147 - 167.

Knoke, D. and JH Kuklinski (1982). Network Analysis. USA: Sage Publications.

Rogers, EM and DL Lawrence Kincaid (1981). Communication Networks: Toward a New Paradigma for Research. New York: The Free Press.

Suparlan, Parsudi (2004). Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Senin, 15 November 2010

KEKELIRUAN “PARADIGMATIK” PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA

Paradigma pembangunan selama ini menyebabkan “episentrum” pada kota Jakarta dan Pulau Jawa. Akibatnya, 80% industri berlokasi di Jawa, ledakan jumlah penduduk dan gedung sehingga penggunaan air tanah meningkat. Salah satu dampaknya adalah penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut sehingga banjir menjadi salah satu “ciri khas” Jakarta. Pada akhirnya, Jakarta tidak mampu lagi mengendalikan tata ruang, pelestarian lingkungan, kebutuhan permukiman, kebutuhan transportasi umum, serta tidak mampu mengatasi kemacetan dan seterusnya. Untuk mengatasi kondisi ini, berbagai program digalakkan. Program transmigrasi, percepatan pembangunan daerah tertinggal dan pengembangan pendidikan di luar Jawa, dan seterusnya. Namun, semua upaya tersebut gagal melawan kuatnya episentrum kota Jakarta dan pulau Jawa. Semua ini tidak lain adalah akibat tidak adanya kebijakan visioner selama tiga dasa warsa terakhir. Hal ini, tercermin dari rendahnya kualitas kebijakan dan implementasi kebijakan strategis dalam pengelolaan pembangunan nasional. Singkatnya, semua ini adalah akibat dari kesalahan paradigma pembangunan yang diterapkan oleh negara untuk mengelola kepentingan bangsa.
Kondisi inilah yang mendorong Tim Visi Indonesia 2033 (penggagas) menggulirkan wacana pemindahan ibukota negara. Asumsinya, pertama adalah dengan memindahkan ibukota negara akan melahirkan episentrum baru. Oleh karena itu, episentrum baru yang dianggap paling tepat adalah lokasi yang secara geografis memang merupakan “titik sentral” dari “lokasi” sebagian besar kawasan tertinggal dan kawasan pinggiran. Keberadaan ibukota negara di “titik sentral” nusantara dianggap akan memudahkan pemerintah menata kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa. Untuk mendukung upaya tersebut, penggagas juga menyiapkan beberapa rencana tindakan strategis di bidang ekonomi, pembangunan kawasan, pemerintahan, politik, hukum dan kebudayaan yang kesemuanya bergerak saling mendukung. Asumsi kedua, dengan “memindahan ibukota negara akan mampu membalik paradigma pembangunan”. Singkatnya, dengan memindahkan ibukota negara dianggap dapat menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara yang kompleks di atas.
Asumsi dasar dalam wacana yang ditawarkan, tanpa disadari penggagas telah melakukan kesalahan mendasar secara “paradigmatik” dalam memahami esensi dari “realita” persoalan. Paradigma adalah “kerangka pikir” (point of view) yang digunakan untuk merumuskan “kepentingan bangsa” melalui “kebijakan-kebijakan pembangunan” yang dihasilkannya. Artinya, “episentrum” kota Jakarta dan pulau Jawa adalah akibat dari “kerangka pikir” yang digunakan untuk merumuskan paradigma pembangunan. Oleh karena itu, asumsi pemindahan titik episentrum negara akan menyelesaikan semua permasalahan bangsa adalah keliru. Kesalahan “paradigma pembangunan”lah yang menyebabkan kota Jakarta tidak mampu menahan “beban” yang diakibatkannya dan tidak mampu menjalankan perannya sebagai ibukota negara. Ibukota adalah “pusat kebijakan pembangunan” bukan sebagai “pusat kegiatan pembangunan”.
Selanjutnya, jika paradigma pembangunan dianggap “keliru” maka secara logis bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan yang dihasilkannya juga keliru. Demikian halnya dengan beberapa masalah bangsa yang telah disinggungnya, seperti persoalan nation building, kemiskinan, ketidakadilan, pemerataan pembangunan dan seterusnya seharusnya dilihat pula sebagai akibat dari kesalahan paradigma pembangunan, bukan akibat dari letak ibukota negara berada di titik sentral nusantara atau tidak.
Sementara itu, solusi yang ditawarkan adalah pemindahan ibukota negara. Mengapa bukan sebuah “paradigma pembangunan” yang baru? Sungguh ironis, solusi yang ditawarkan masih tetap menggunakan kerangka pikir episentrum. Artinya, penggagas masih menggunakan paradigma pembangunan yang sama. Lalu, apakah dengan memindahkan ibukota negara akan menyelesaikan persoalan bangsa jika masih menggunakan paradigma pembangunan yang sama? Oleh karena itu pula, penggagas tidak mempersoalkan implementasi kebijakan. Meskipun tertulis dalam dalam usulannya, tapi tidak ada dalam analisisnya. Dengan kata lain, penggagas beranggapan bahwa dalam implementasi kebijakan pembangunan sudah tidak ada persoalan. Apakah memang tidak terjadi penyimpangan dalam implementasinya? Jika demikian, lalu bagaimana dengan budaya birokrasi yang ada saat ini sehingga banyak kasus yang ditangani oleh KPK?
Permasalahan mendasar bangsa ini adalah rasionalitas kepentingan bangsa belum menjadi rasionalitas paradigma pembangunan. Justru sebaliknya, yang terjadi seringkali rasionalitas kepentingan bangsa hanya diterapkan sebatas tindakan politis (politisasi kepentingan bangsa) demi tujuan-tujuan tertentu. Hal ini semakin menambah kompleksnya persoalan bangsa. NKRI sebagai negara-bangsa sudah seharusnya menempatkan rasionalitas kepentingan bangsa berada di atas semua kepentingan lainnya.
Singkatnya, penggagas sebenarnya tidak menawarkan solusi , yaitu “paradigma pembangunan yang baru” sebagai gantinya paradigma pembangunan yang lama, yang dianggapnya keliru dan menjadi penyebab semua persoalan yang melanda bangsa ini. Penggagas hanya menawarkan pemindahan “episentrum” kota Jakarta ke Kalimantan dengan kerangka pikir “spasial-geografis” (titik sentral nusantara). Perlu disadari bahwa dengan memindahkan ibukota negara bukan berarti paradigma pembangunan akan “berubah” atau “berganti” dengan sendirinya. Justru sebaliknya, penggagas hanya memindahkan masalah kota Jakarta ke calon ibukota negara yang baru. Dalam kurun waktu tertentu, ibukota negara yang baru dapat diprediksikan akan mengalami hal serupa dengan kota Jakarta karena akar permasalahannya tidak pernah diselesaikan. Lalu “apakah kita akan pindah ibukota negara lagi? Ini namanya pemerataan masalah, bukan pemerataan kesejahteraan. Penggagas terjebak dalam paradoks paradigma pembangunan yang sama. Selain itu, wacana ini secara tidak langsung justru mensosialisasikan budaya “lari dari masalah”.

Ruddy Agusyanto
Pengajar Antropologi FISIP UI dan Pengajar PTIK
Institut Antropologi Indonesia (IAI) dan Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS)