Sabtu, 11 Juli 2009

survei dan orientasi Politik Kontekstual

Jumat, 10 Juli 2009 13:22
Survei dan Orientasi Politik Kontekstual (1)
OLEH: RUDDY AGUSYANTO



Sejak negara kita menganut sistem pemilihan umum (pemilu) secara langsung, pe-nelitian jenis survei atau polling seolah-olah mendapat lahan baru. Hal ini mendorong berdirinya lembaga-lembaga survei dan semaraknya penelitian survei, terutama yang berkaitan dengan masalah kehidupan berpolitik di negeri ini seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Persentase elektabilitas partai politik (parpol) atau calon kepala daerah dengan berbagai argumennya - mengapa meningkat atau menurun – telah menghiasi berbagai media, cetak maupun elektronik.
Hasil survei, “perhitungan cepat” dan prediksi-prediksinya mengundang decak kagum dan akhirnya menyita perhatian parpol dan calon-calon kepala daerah – tak terkecuali calon presiden dalam pemilihan presiden (pilpres) kali ini – untuk menggunakan jasa lembaga-lembaga survei tersebut. Namun, belakangan ini, menjelang Pilpres 2009, banyak pihak mulai mempermasalahkan keberadaan lembaga survei dan hasil-hasil survei yang dilakukannya. Bukankah selama ini banyak parpol dan calon-calon kepala daerah yang telah menggunakan jasa mereka?
Kiprah lembaga-lembaga survei dan hasil-hasil surveinya tidak pernah dipertanyakan dan selama itu pula tidak ada pihak yang “keberatan” karena merasa khawatir - baik secara metodologis maupun ke-independen-an lembaga survei yang bersangkutan - sehingga ada pihak-pihak tertentu merasa dirugikan. Sebelum membahas masalah penelitian survei, hasil dan dampaknya, kita perlu memahami kehidupan berpolitik masyarakat kita lebih dahulu agar bisa diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.
Dewasa ini, di tengah gelombang globalisasi, masyarakat Indonesia yang heterogen menjadi semakin kompleks. Hal ini mendorong kesadaran individu akan pentingnya bantuan dan kehadiran individu lain dan pentingnya kehidupan bersama. Masing-masing individu akan mempertimbangkan satu sama lain – saling mengurangi “perbedaan” yang ada untuk mencapai “kesepakatan-kesepakatan” bersama dalam konteks-konteks kehidupan yang dijalaninya. Kesepakatan-kesepakatan bersama dalam berbagai konteks kehidupan ini, dibangun dan berlangsung secara terus-menerus sesuai dengan dinamika kebutuhan dan dinamika lingkungan eksternal yang ada, serta selalu dievaluasi oleh masing-masing pihak.

Lebih Loyal kepada Individu
Saling keterhubungan antar-individu tersebut pada akhirnya “mengikat” mereka satu sama lain menjadi satu kesatuan sosial. Kesepakatan-kesepakatan inilah yang pada akhirnya menjadi pedoman tindakan, sikap dan perilaku mereka. Ada serangkaian hak dan kewajiban yang berlaku dalam setiap konteks kehidupan bagi masing-masing individu yang harus dijalankan. Dengan kata lain, setiap konteks kehidupan terwujud serangkaian hubungan sosial (satu kesatuan sosial) yang mempunyai aturan, norma atau hukumnya sendiri – yang berbeda dengan yang berlaku dalam konteks kehidupan yang lain.
Demikian halnya dengan konteks kehidupan politik di Indonesia. Selama ini, orientasi dan pilihan politik tidak signifikan bagi kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia – siapa pun atau parpol apa pun yang menang, tidak mengubah kualitas hidup mereka. Oleh karena itu, ideologi politik bukan merupakan pertimbangan utama bagi seseorang untuk mencontreng parpol, calon bupati/wali kota, calon gubernur atau calon presiden tertentu – tetapi lebih ditentukan oleh masalah keterikatan dengan teman, kerabat, atau tokoh/elite parpol yang merupakan jaringan sosialnya sebab dengan terganggunya hubungan sosial dengan individu-individu yang ada dalam jaringan sosialnya akan berdampak pada terganggunya pe-me-nuhan kebutuhan hidup individu yang bersangkutan.
Oleh karena itu pula seorang kader parpol akan lebih loyal kepada individu-individu yang ada dalam jaringan sosialnya ketimbang kepada parpol atau ideologi politik sebuah parpol. Jadi, tidaklah mengherankan jika “masa mengambang” di negeri ini sangat besar jumlahnya. Akibatnya, siapa pun akan sulit memprediksi tingkat elektabilitas sebuah parpol atau seorang calon kepala daerah termasuk capres, kecuali hanya berdasarkan jumlah kartu anggota dari parpol pendukungnya – yang juga belum tentu setia pada keputusan politik parpolnya. Bahkan, para tokoh/elite politik sebuah parpol bisa dengan mudah pindah ke parpol lain – tak terkecuali seorang pendiri parpol.

Esok Harinya Berbeda
Kembali kepada masalah penelitian survei, tentunya karakter kehidupan politik di Indonesia ini akan berpengaruh pada tipe penelitian apa yang sesuai – apakah penelitian survei atau tipe penelitian yang lain. Jika penelitian survei memang harus dilakukan maka penelitian survei yang seperti apa yang sesuai dan untuk tujuan apa.
Penelitian jenis survei adalah jenis penelitian positivistik-kuantitatif, yang memfokuskan diri pada “atribut” individu yang menjadi populasi penelitian - seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, pilihan politik dan seterusnya yang biasanya disebut sebagai variabel.
Selanjutnya, variabel-variabel tersebut dianalisis secara statistika (analisis variabel) - dengan membandingkan atau mengorelasikannya. Dalam hal ini, individu yang dipilih sebagai responden dicabut dari lingkungan sosialnya (atomistik) sehingga data relasi responden dengan teman, kerabat atau tokoh/elite politik yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk menentukan pilihan politiknya tidak ter-cover atau terabaikan karena mereka belum tentu terpilih sebagai responden.
Selain itu, dalam penelitian survei, kuesioner merupakan instrumen utama. Siapa saja yang menyebarkan kuesioner atau siapa saja yang menjadi pewawancara tidak akan mempengaruhi hasil/jawaban responden. Dalam banyak kasus, ternyata siapa yang mewawancarai atau menyebarkan kuesioner mempengaruhi jawaban responden. Jawaban responden saat diwawancarai pegawai kelurahan berbeda dengan jawaban saat diwawancarai oleh anak SMA atau mahasiswa. Bahkan, ada sejumlah pengalaman bahwa wawancara hari ini dan esok harinya diperoleh jawaban yang berbeda, sungguh kontekstual.
Dengan kondisi kehidupan berpolitik di Indonesia yang belum bersifat ideologis atau sangat kontekstual seperti ini maka ketepatan hasil survei yang dilakukan berbagai lembaga survei di Indonesia patut mendapat acungan “dua jempol”. Hanya dengan sampel 2.000 responden dari populasi 220 juta penduduk (0,000009% sampel) lembaga survei sudah mampu memprediksi tingkat elektabilitas atau quick count perolehan suara. Padahal, meski secara metodologis sudah benar dilakukan, penelitian jenis survei tetap masih belum tentu mampu merepresentasikan kenyataan karena karakter populasi yang sifatnya unpredictible.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.