Senin, 20 April 2009

Paradigma Jaringan Sosial dan Dinamika Kolektif

Oleh
Ruddy Agusyanto

Sejak acara pencentangan pemilihan umum (pemilu) legislatif berlangsung, hampir semua media televisi (TV) sepanjang waktu menyiarkan dinamika hasil perolehan suara partai politik (parpol), lengkap dengan berbagai analisis politiknya. Bahkan, beberapa pengamat dan tokoh sosial-politik sebagai narasumber sampai berpindah-pindah dari satu stasiun TV ke stasiun TV yang lain.
Demokrat sebagai sebuah parpol “kecil” yang baru berdiri, secara mencengangkan mampu mengungguli (berdasarkan quick count) dua parpol “besar” yaitu Golkar dan PDI Perjuangan yang sudah dikenal punya segudang pengalaman pemilu. Bahkan, wilayah-wilayah administratif tertentu yang diketahui dan dipahami sebagai basis kedua parpol tersebut bisa direbut dukungan suaranya oleh Demokrat. Fenomena ini menjadi topik yang menarik untuk diulas.
Di era informasi ini, perkembangan teknologi komunikasi sedemikian pesat, membuat jarak fisik atau geografis tidak lagi menjadi kendala untuk berinteraksi dengan siapa pun di dunia ini. Jarak geografis serasa semakin “dekat”. Akibatnya, hampir tidak ada lagi masyarakat atau negara yang terisolasi. “Batas-batas” antarnegara dan budaya pun menjadi “cair”. Warga negara atau anggota yang berlainan negara dan kebudayaan mampu berinteraksi satu sama lain menembus batas; demikian halnya dengan para pendukung/simpatisan dan kader parpol di suatu wilayah administratif.
Dalam perkembangannya, batas-batas ini menjadi sekadar batas “administratif” karena para warganya sama sekali “tak terhalang” oleh batas-batas tersebut dalam kehidupan interaksinya. Dunia telah menjadi satu jaringan sosial yang sangat besar dan kompleks tanpa batas.
Dampaknya, tidak hanya “memperpendek” atau “meniadakan” jarak geografis/fisik, tetapi juga “jarak sosial”. Akibat selanjutnya, masyarakat mana pun menjadi tak ada yang benar-benar homogen karena terjadi saling mempengaruhi dan saling sosialisasi “lintas batas”. Di satu pihak masyarakat dalam suatu wilayah terjadi “heterogenisasi”, di lain pihak masyarakat terjadi “homogenisasi” berdasarkan “konteks” interaksi dan hubungan sosial yang terwujud.

Tetap dengan Cara Konvensional
Jarak sosial dalam ilmu sosial sering kali dijelaskan melalui perbedaan derajat pendidikan, penghasilan, kekayaan, pekerjaan dan sejenisnya sehingga bagi mereka yang memiliki derajat sosial yang berbeda mempunyai jarak sosial sebesar perbedaan derajat sosial itu pula. Oleh karena itu, sering kali kita lihat bahwa dalam sebuah permukiman, orang kaya dengan tingkat pendidikan tinggi meskipun tinggal bersebelahan dengan keluarga miskin yang tukang pijat dengan tingkat pendidikan rendah, belum tentu mereka “berteman” karena jarak sosial di antara mereka yang begitu “jauh”. Namun, pada kesempatan lain, ternyata orang miskin tukang pijat tersebut mempunyai pelanggan tetap seorang pejabat.
Secara kebetulan, tetangga kayanya sedang perlu “berhubungan” dengan pejabat tersebut untuk kepentingan tertentu. Dari salah satu upayanya, si tetangga kaya menghubungi “teman”-nya supaya bisa dipertemukan dengan sang pejabat. Ternyata teman yang dimintai pertolongan tersebut merefensi tetangganya yang tukang pijat itu. Singkat cerita, pertemuan yang diinginkan oleh si tetangga kaya dengan sang pejabat terealisasi berkat si tetangga yang tukang pijat. Di kemudian hari, si kaya yang berpendidikan dan si miskin yang tak berpendidikan akhirnya “berteman”. Jarak sosial tak menjadi masalah lagi.
Saat ini, masyarakat begitu dinamis dan tak ada yang bisa menghalangi interaksi dan saling sosialisasi antarmasyarakat yang berbeda-beda. Siapa pun dia, selalu menjadi bagian dari jaringan sosial di mana pun dia hidup dan tinggal. Tindakan-sikap-perilaku seseorang dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan-sikap-perilaku orang lain. Artinya, hubungan sosial itu dinamis. Konsekuensinya adalah struktur sosial juga menjadi dinamis. Tetapi, sementara itu, para tokoh atau elite politik parpol masih melihat batas-batas administratif atau wilayah sebagai suatu yang relatif absolut sehingga dalam berbagai analisisnya selalu menggunakan unit analisis per wilayah sehingga model-model atau program-program kerjanya (termasuk pemenangan pemilu) tetap menggunakan cara-cara yang konvensional.

Tidak Sensitif terhadap Gejala Perubahan
Kendati mereka dalam kehidupan sehari-hari telah menjalaninya, misalnya berkomunikasi dengan SMS, email atau Facebook – yang meniadakan batas-batas administratif atau wilayah geografis - mereka tetap saja memperlakukan masyarakat di suatu wilayah seolah-olah mempunyai “batas-batas” yang relatif tegas (terkotak-kotak). Dampaknya, mereka akan melihat masyarakat di suatu wilayah geografis juga “homogen” dengan asumsi struktur sosialnya pun relatif “stabil”.
Atas dasar asumsi ini pula, secara sadar atau tidak, membuat perlakuan para parpol atas wilayah yang dianggap basisnya menjadi terlalu percaya diri sehingga mesin politiknya tidak bekerja secara optimal. Tidak sensitif terhadap gejala-gejala perubahan. Keyakinan bahwa pendukungnya tidak mungkin “berubah” (stabil) inilah yang justru menghasilkan kekecewaan setelah mendapatkan kenyataan bahwa dukungan suara terhadap parpolnya mengalami penurunan atau tidak sebanyak jumlah yang seharusnya karena berpindah ke parpol lain.
Dengan demikian, disadari atau tidak, Demokrat sebenarnya telah menggunakan pola pikir jaringan, memetakan dan memanfaatkan jaringan sosial yang terwujud di masyarakat (termasuk di daerah basis parpol lain); dan bersamaan dengan itu secara tak langsung diperoleh atau teridentifikasi pula masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang bersangkutan sehingga bisa digunakan sebagai dasar untuk merumuskan rencana kerjanya. Selain memetakan dan memanfaatkan jaringan sosial yang ada di masyarakat, secara bersamaan (otomatis) tercipta pula “jaringan sosial baru” yang bisa digunakan untuk mendifusikan dan mensosialisasikan ide-ide baru dalam rangka “menjaring” dukungan suara melalui orang-orang yang menjadi “simpul-simpul” jaringan sosial.
Di era informasi saat ini, semua “entitas” saling terhubung, berpikir dengan menggunakan pola pikir jaringan sudah selayaknya menjadi suatu keharusan bagi kita, tak terkecuali bagi parpol dan politikusnya. Jaringan sosial mampu menembus serta meniadakan “batas geografis” dan “batas sosial”. Oleh karena itu, mengapa dua orang bertikai bisa menjadi konflik regional bahkan nasional, tapi bisa juga berhenti di mereka berdua saja – semua itu jaringan sosial adalah kuncinya.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–
FISIP UI.

18 April 2009

Copyright © Sinar Harapan 2008