Sabtu, 15 Mei 2010

Santri jawa campur minahasa

•TEMPO, 24 Agustus 1991

Anak-cucu Kyai Modjo -- panglima Perang Diponegoro -- bertahan sebagai orang Jawa dan santri di tengah mayoritas orang Minahasa yang Kristen. Tak ada konflik sosial karena beda suku. KAMPUNG JAWA TONDANO: RELIGION AND CULTURAL IDENTITY Penulis: Tim G. Babcock Penerbit: Gadjah Mada University Press, 1989, 328 halaman NEGARA yang tak punya masalah suku bangsa atau etnis mungkin bisa dihitung dengan jari. Namun, berbagai penelitian antropologis membuktikan bahwa "perbedaan" identitas suku bangsa sendiri sama sekali bukan pencetus konflik. Ini antara lain dibuktikan Tim G. Babcock dalam bukunya Kampung Jawa Tondano, Religion and Cultural Identity (KJT). Penelitian tentang KJT di Minahasa itu sendiri dilakukan pada 1974 sampai 1975, dan dirumuskan dalam sebuah disertasi pada 1981 di Universitas Cornell, Wisconsin, Amerika Serikat. Orang KJT, dalam penelitian itu, merupakan minoritas yang unik di Indonesia. Sebagai orang Jawa, ia minoritas di daerah itu. Tapi secara nasional ia mayoritas. Orang KJT tinggal di sebuah kampung kecil dekat Kota Tondano, Sulawesi Utara, yang didominasi orang Minahasa yang beragama Kristen. Warga KJT menjalankan syariat Islam dan tak melepaskan adat Jawa yang mereka peroleh dari nenek moyang, Kyai Modjo -- salah satu panglima Pangeran Diponegoro -- dan para pengikutnya. Sejarah mereka memang menarik. Babcock secara tepat mengaitkan sejarah kehidupan orang KJT dengan kegiatan keagamaan mereka. Babcock, seperti juga Clifford Geertz, menunjukkan pentingnya aspek kehidupan itu. Orang KJT punya status ekonomi yang cukup tinggi, sebagai pihak yang dibutuhkan jasa dan karyanya. Gaya hidup mereka sangat dinamis, selalu ada kegiatan yang cukup besar dan berani. Berbeda dengan para "santri" Jawa, orang KJT sangat tradisionalis. Praktek keagamaan mereka, seperti upacara peralihan, upacara tahunan, dan upacara penyembuhan/perlindungan, mengandung unsur-unsur heterodoks dan bersifat sinkretis. Lalu, mengapa orang KJT tak mengambil sikap reformis yang secara logis lebih cocok dengan gaya hidup mereka? Jawaban pertanyaan inilah yang ditemukan Babcock dalam sejarah hidup mereka. Selama lebih dari satu abad, sejak masa pembuangan Kyai Modjo pada 1830 sampai 1974/75, penduduk KJT bergaul baik dengan para tetangga dan melakukan asimilasi. Bentuk rumah bergaya Minahasa. Bahkan mereka beramalgamasi (bercampur), yang mulanya tak aneh karena para pengikut Kyai Modjo semuanya pria. Namun, ada satu hal yang tak berubah, yakni agamanya. Dalam lingkungan orang Kristen, mereka tetap Islam dan menjadi Islam tradisional yang "santri". Babcock membuktikan hal ini dengan menggunakan model " santri-abangan-priayi". Beda dengan penelitian Clifford Geertz di Jawa, yang menilai ketiga varian agama itu sebagai sistem sosial yang utuh, Babcock tak menemukannya di lingkungan KJT. Tak ada yang namanya "abangan" dan "priayi" di kalangan pengikut Kyai Modjo di sana. la menyimpulkan bahwa "santri" punya arti lain di KJT. Varian itu bukan cuma atribut, tapi sudah menjadi identitas suku itu. Namun, perlu dipertanyakan, apakah orang KJT itu orang Islam Jawa atau orang Jawa yang Islam. "Ke-Jawa-an" sering mereka tinggalkan sebagai atribut suku bangsa, terutama dalam hubungan dengan orang Minahasa. Tapi apakah hal itu berarti bahwa "santri" telah menggantikan identitas suku bangsa Jawa secara total? Identitas suku bangsa akan muncul bila terjadi interaksi dengan suku bangsa lain. Sayang, Babcock tak menjelaskan interaksi ini lebih mendalam. Sehingga kita tak puas dengan pernyataannya tentang penggantian identitas suku bangsa dari orang Jawa menjadi orang muslim. Bila identitas suku bangsa orang KJT telah berganti menjadi orang Muslim, maka dalam setiap situasi interaksi antarsuku bangsa seharusnya didefinisikan sebagai hubungan antarumat agama. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Mereka sering mengundang orang-orang dari suku bangsa lain dalam kegiatan agama. Mereka menonjolkan kesamaan agamanya. Namun, suku lain itu toh tak bisa menjadi Jawa atau sama dengan orang KJT. Interaksi antarsuku bangsa terjadi dalam situasi-situasi tertentu. Situasi sosial yang terjadi di pasar, atau kegiatan ekonomi lainnya, sering dipergunakan sebagai wadah interaksi antarsuku bangsa di Indonesia. Dalam situasi-situasi ini dapat "dimanipulasi" secara politik, sehingga hal itu diatur oleh struktur sosial yang lebih besar. Orang KJT, misalnya, dapat mendefinisikan situasi sosial jual-beli sebagai hubungan antara dua umat agama. Untuk itu, mereka memakai struktur sosial negara Indonesia. Secara keseluruhan, penelitian Babcock ini amat menarik. Ia menjelaskan bagaimana sebuah minoritas berusaha mempertahankan perbedaan suku bangsa yang menguntungkan bagi mereka dengan cara memanipulasi identitas dirinya pada situasi-situasi sosial dalam berbagai kesempatan. Sayang, Babcock melangkah terlalu jauh dengan kesimpulannya yang membingungkan itu. Terlepas dari kritik tersebut, peneliti Kanada ini, selain mendalami orang KJT dan pembangunan di Indonesia, juga mempelajari Cina. Ia membuktikan dengan jelas bahwa konflik antarsuku bangsa bukanlah bersumber dari perbedaan identitas. Orang Minahasa pun pernah konflik dengan KJT. Tapi penyebabnya bukanlah ke-lslam-an atau ke-Jawa-an. Ruddy Agusyanto* * Antropolog, pengajar antropologi FISIP-UI