Senin, 22 September 2008

Korupsi ”Harus Berjemaah”

Korupsi ”Harus Berjemaah”
20 September 2008
Oleh
Ruddy Agusyanto

Saat ini sedang hangat-hangatnya pengungkapan kasus-kasus korupsi para pejabat, baik pejabat dari institusi eksekutif, legislatif maupun yudikatif mau pun dari lembaga lembaga non-departemen. Yang menarik adalah tindak pidana korupsi itu dilakukan secara ‘berjemaah’. Banyak pihak berpendapat bahwa para pemimpin bangsa Indonesia ini sudah mengalami ‘degradasi moral’, apalagi pendapat dari kalangan religius. Apakah memang demikian? Atau ‘sistem ‘kontrol-monitoring-koordinasi’ di organisasi lembaga dan jawatan negara memang tidak memadai?
Organisasi dibangun dari suatu keputusan yang disadari oleh individu atau sekumpulan individu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu melalui kerjasama dengan disiplin yang tinggi atas sumberdaya-sumberdaya manusia dan sumberdaya-sumberdaya material. Oleh karena itu, organisasi sekecil atau sesederhana apapun akan membutuhkan kontrol dan monitoring terhadap hubungan-hubungan antara tujuan dengan tata cara dan hasil yang akan dicapai. Setiap kontrol dan monitoring ini mengimplikasikan suatu proses disipliner yang disadari oleh masing-masing pimpinan atau pusat power organisasi dalam mengadaptasi struktur-struktur internal ke dalam persepsi anggotanya tentang kondisi eksternal mereka.
Dengan kata lain, yang namanya organisasi selalu melibatkan suatu kerjasama sejumlah sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik ke dalam suatu mekanisme kontrol, monitoring dan koordinasi (KMK) yang cermat dan rapih demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang dikehendaki. Tanpa adanya KMK - tujuan-tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai. Tidak hanya itu, fungsi kontrol, monitoring dan koordinasi, sumberdaya-sumberdaya manusia dan material juga bisa diperhitungkan dan direncanakan untuk menghadapi fluktuasi kondisi ekternal yang menghadang di perjalanan. Dengan demikian, sistem kontrol, monitoring dan koordinasi dapat dikatakan mempunyai peran yang krusial atau merupakan ‘jantung’ bagi sebuah organisasi dalam mencapai tujuan atau targetnya.

Pengelompokan Sosial dalam Organisasi
Sistem KMK tentunya telah dirancang sedemikian rupa oleh organisasi di lembaga lembaga tinggi negara seperti DPR, Mahkamah Agung, departemen dan badan badan non-departemen, sampai ke pemerintahan daerah. Pada masing-masing unit dan sub-unit di dalamnya terjalin kerjasama dan saling monitoring sebagai kontrol terhadap kinerja dan pencapaian target. Bahkan diciptakan pula KMK interdepartemental, yakni antar organisasi/institusi di lingkungan legislatif, eksekutif, yudikatif. Itu bisa dalam bentuk komisi atau panitia tetap, MOU, SKB, badan koordinasi. Sehingga tindakan penyimpangan apapun sulit untuk ‘lolos’ dari cakupan sistem KMK yang ada.
Namun, manusia dalam upaya memenuhi hajat hidupnya selalu membutuhkan orang lain, memerlukan ‘kerja sama’ atau hubungan sosial satu sama lain baik secara/bersifat horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu, pengelompokan sosial tidak bisa dihindarkan dan akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam organisasi. Sementara di sisi lain, manusia juga saling bersaing dan memanipulasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Maka dalam kehidupan organisasi bisa terdapat individu-individu/kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain, saling bekerja sama demi tujuan bersama (target-target organisasi) tapi juga saling bersaing dan saling memanipulasi untuk kepentingan-kepentingan individu atau kelompok.
Yang terjadi, distribusi kontrol atas sumberdaya-sumberdaya dan perilaku individu atau kelompok serta formasi kelompok-kelompok kepentingan tersebut saling berkompetisi dalam rangka melindungi atau memperoleh kesempatan atas penguasaan sumberdaya-sumberdaya ‘berharga’ yang tersedia dalam organisasi. Aktivitas politikal semacam ini bisa “tersembunyi” sebab hasil kompetisi (kebijakan, ideologi dan aturan-aturan organisasional yang lahir) selalu dikamuflase dengan cara-cara yang canggih sehingga akan selalu tampak harmonis baik bagi para anggota maupun para pimpinan dan pusat power yang ada dalam organisasi - apalagi bagi “orang luar”.
Dari sudut ini, sebuah keputusan tertentu apapun tidak selalu mencerminkan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi, tetapi merupakan kemampuan kelompok-kelompok tertentu dalam menentukan atau mendefinisikan situasi dan solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh kelompok-kelompok lain.

Rasionalitas Individu dan Organisasi
Hickson menegaskan, di dalam organisasi terdapat “dual rasionalitas” - di satu pihak organisasi dilibatkan ke dalam masalah pemecahan persoalan-persoalan sehingga selalu mencari solusi-solusi yang dianggapnya rasional; sementara itu, di lain pihak, terdapat kelompok-kelompok kepentingan yang selalu berusaha mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri sehingga aktivitas dan keputusan-keputusan yang lahir selalu merepresentasikan dua elemen tersebut (Hickson: 1987).
Tidak ada satu aktivitaspun yang diambil oleh sebuah organisasi tanpa suatu ‘klaim’ bahwa hal itu adalah rasional. Kemampuan untuk melahirkan keputusan atau kebijakan adalah masalah power (mendesak kelompok-kelompok lain), bukan dari superioritas rasionalitas ‘klaim’ yang dicetuskan. Oleh karena itu, keputusan atau kebijakan yang lahir dalam sebuah organisasi selalu merepresentasikan dual rasionalitas, yaitu rasionalitas individu atau sekumpulan individu dan rasionalitas orga-nisasi. Dalam konteks ini, power me-mainkan peran yang krusial. Individu dan kelompok atau kelompok kuasi (jaringan sosial) memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan pengambil keputusan dan kebijakan, juga kemampuan atas akses-akses penguasaan sumberdaya-sumberdaya or-ganisasional. Oleh karena itu membina hubungan dengan orang-orang yang menduduki posisi yang menyandang wewenang/power tertentu menjadi sangat penting.
Kondisi sistem KMK yang sede-mikian kompleks dan canggih di institusi/lembaga tinggi negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), tentunya akan sulit dilanggar oleh perseorangan. Untuk bisa melakukan pelanggaran dengan tidak ketahuan–tentunya harus bekerjasama dengan sub-sub sistem yang ada dalam organisasi bersangkutan (sistem KMK) – yaitu dengan orang-orang yang punya wewenang (power) atas tujuan yang diperjuangkan. Dengan kata lain, tindak pidana korupsi sangat sulit atau hampir bisa dikatakan mustahil dilakukan seorang diri.kecuali sistem KMK organisasi yang bersangkutan memang tidak memadai atau longgar seperti sistem KMK di organisasi kecil atau paguyuban.
Dengan demikian, jika dalam kasus tindak pidana korupsi terungkap bahwa “penyelewengan” tersebut dilakukan oleh perseorangan (seorang diri), hal ini justru menimbulkan sebuah pertanyaan besar sebab tindak pidana korupsi di organisasi setingkat lembaga tinggi negara seharusnya hanya mampu dilakukan oleh “kelompok” atau “kelompok kuasi” (jaringan sosial). Atau kelompok dan kelompok kuasi korup ini sedemikian powerfull sehingga KPK belum mampu menembusnya.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.



Copyright © Sinar Harapan 2008

Jumat, 12 September 2008

Pengelompokan Sosial dan Perebutan Sumber Daya : Kasus Arek-arek Suroboyo di Jakarta

ANALISIS CSIS, 1994

Pengelompokan Sosial dan Perebutan Sumber Daya:
Kasus Arek-arek Suroboyo di Jakarta (Ruddy Agusyanto)


Pendahuluan

BATAS-BATAS kelompok sukubangsa sering berubah-ubah atau tidak stabil. Artinya, kelompok sukubangsa dapat meluas atau menyempit, dengan kata lain bisa menjadi lebih atau kurang eksklusif (lihat Horowitz, 1975). Batas-batas kelompok sukubangsa menyempit atau meluas adalah salah satu strategi adaptasi dari sebuah kelompok sukubangsa dalam rangka menjaga dan memelihara eksistensinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. Begitu juga yang terjadi dengan pengelompokan sosial Arek-arek Suroboyo di Jakarta. Mereka berusaha mengaktifkan identitas kesamaan daerah asal yang merupakan modifikasi atau perluasan atau diferensiasi dari sukubangsa Jawa yang ada di Jawa Timur guna mendapatkan dukungan solidaritas dalam rangka perebutan sumber daya di Jakarta.

Salah satu pendorong yang menyebabkan terjadinya perluasan batas-batas sukubangsa yang terjadi pada kelompok Arek-arek Suroboyo adalah lingkungan yang dihadapi, yaitu masyarakat Jakarta itu sendiri. Pluralisme masyarakat Jakarta mendorong setiap sukubangsa mengaktifkan identitas kesukubangsaannya dalam arti membentuk kelompok-kelompok kesukubangsaan yang cenderung eksklusif dalam menghadapi kelangkaan sumber daya yang tersedia di Jakarta. Seperti juga yang dikatakan oleh Barth bahwa sukubangsa mempunyai potensi lebih besar dibanding identitas umur dan jenis kelamin untuk menjadi wadah bagi kekuatan politik (dalam kasus ini adalah perebutan sumber daya) karena di dalam proses penggolongannya (menggunakan kebudayaan sebagai atribut) melibatkan emosi dan perasaan yang berakar dalam kehidupan manusia (Barth: 1969). Identitas sukubangsa ini akan muncul bila, dalam interaksi, menghadapi sukubangsa lain. Jadi, tidak setiap saat identitas sukubangsa yang muncul dalam interaksi sosial bersifat situasional.

Berangkat dari kerangka pemikiran ini, penulis mencoba mengkaji bagaimana proses dan mekanisme kelompok Arek-arek Suroboyo mengaktifkan atau memanipulasi identitas kedaerahan asal untuk mendapatkan solidaritas dalam rangka perebutan sumber daya di tengah-tengah kelompok-kelompok sukubangsa lain di kota Jakarta.


Arek-arek Suroboyo dan Langkanya Sumber Daya Kota Jakarta

Menurut Koentjaraningrat, di dalam hampir semua masyarakat di dunia, baik yang amat sederhana maupun yang amat kompleks sifatnya, dalam pergaulan antar individu ada perbedaan kedudukan dan derajat atau status (Koentjaraningrat, 1981). Adanya perbedaan status dalam pergaulan antar individu, salah satunya menyebabkan timbulnya stratifikasi hirarkis dalam suatu masyarakat, yang mendudukan seseorang pada posisi golongan status sosial entah rendah, kurang terpandang, atau menengah maupun golongan status atas. Setiap golongan status memiliki atau membentuk gaya hidupnya sendiri, juga adat kebiasaan yang khas serta sikap yang berbeda pula sewaktu berhadapan atau berinteraksi dengan individu dari golongan status sosial lain.

Golongan status rendah atau kurang terpandang cenderung bersikap hormat, sopan, bahkan kadang-kadang siap sedia menjadi pesuruh atau bersikap patuh kepada individu-individu dari golongan status sosial yang lebih terpandang. Sebagian individu dari golongan status sosial bawah/rendah tersebut menganggap bahwa sikap merendah seperti itu merupakan suatu “tekanan”. Hal ini menimbulkan keinginan-keinginan untuk dapat menempati posisi status sosial yang lebih terpandang, karena itulah para orang tua seringkali menganjurkan anak-anaknya agar berusaha supaya bisa mengangkat derajat keluarganya dan jangan sampai mengalami nasib yang sama dengan orang tua mereka. Kecenderungan usaha meningkatkan jenjang status sosial itu terjadi pula pada kaum migran dari kota Surabaya yang berstatus sosial rendah di Jakarta .

Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia memiliki daya tarik yang memukau, termasuk kemudahan mencari nafkah dan meraih kesuksesan atau menaikkan taraf hidup, yang tidak terdapat di kota-kota besar lain di Indonesia. Hal inilah yang mengundang penduduk luar Jakarta untuk mengadu nasib dengan harapan dapat hidup lebih layak dari sebelumnya. Tidak sedikit penduduk kota Surabaya dan sekitarnya yang hijrah ke Jakarta, terutama kaum mudanya. Sebagian dari mereka tertarik pergi ke Jakarta karena pengaruh ajakan teman atau kerabat, dan ada juga yang datang karena inisiatif sendiri dengan berbagai alasan. Sebagian besar dari mereka kurang memperdulikan atau berpikir tentang kemampuan atau modal keahlian apakah yang dimilikinya sebagai persiapan untuk memperoleh pekerjaan atau penghasilan di kota yang akan ditujunya tersebut, apalagi modal yang berupa materi (BONEK). Akibatnya, seringkali kekurang-pedulian itu hanya menambah jumlah pengangguran dan meningkatnya angka kriminalitas sebab di kota Jakarta ini mereka tidak berhasil memperoleh pekerjaan yang layak dan terpaksa menghalalkan segala cara. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Suparlan:

“Kesembilan, mereka yang tergolong berpengasilan rendah pada umumnya sadar akan kerendahan dan kelemahan kedudukan sosial dan ekonomi mereka dalam struktur kota Jakarta (di mana yang kaya sangat kaya dan yang miskin sangat miskin). Sebagian dari mereka menerima kenyataan ini dengan pasrah (fatalistik), sedangkan sebagian lainnya memberontak dan terlibat dalam berbagai kegiatan kriminal. Jumlah kedua golongan ini amat kecil dibandingkan dengan jumlah mereka yang berada di antara kedua golongan ini, yaitu mereka yang mempunyai kecenderungan untuk pasrah tetapi yang pada kesempatan-kesempatan di mana mereka dapat menggunakannya untuk memperoleh keuntungan akan mereka gunakan walaupun harus melanggar hukum yang berlaku” (Suparlan: 1980, hlm. 12)

Kaum migran Surabaya ini harus berjuang keras demi pemenuhan kebutuhan hidup mereka agar bisa tetap bertahan hidup (survive) di kota Jakarta. Untuk hal ini, mereka bersikap tidak memilih-milih jenis pekerjaan. Apa saja jenis pekerjaan yang diperoleh tidak jadi masalah; yang penting kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkaitan dengan kelangkaan sumber daya yang tersedia di Jakarta, kegiatan ekonomi yang ada sangat beragam dan tidak harus sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing individu yang bersangkutan. Dalam mencapai tujuan tersebut, tak jarang pula mereka terpaksa menggunakan kekerasan. Dengan demikian, para migran dari kota Surabaya dan sekitarnya ini benar-benar dituntut memiliki daya adaptasi yang tinggi agar mereka tetap survive di kota Jakarta ini.

Sebagaimana halnya para migran dari kota Surabaya dan sekitarnya, para migran dari berbagai daerah dan kota lainnya di Indonesia yang datang dan hidup di Jakarta mengalami hal yang serupa. Dengan kondisi semacam ini, tidak eran bila sumber daya yang ada di Jakarta semakin terasa “langka” bagi mereka yang tidak memiliki keahlian dan jaringan sosial ke arah sumber daya yang tersedia. Akibatnya, berbagai bentuk “cara” muncul dalam rangka memperoleh sumber daya. Salah satu cara adalah dengan mengaktifkan identitas sukubangsa untuk dapat ikut menikmati dan menjaga sumber daya yang langka tersebut, yang telah berhasil diperoleh dan dikuasainya. Maka terwujudlah pengelompokan-pengelompokan berdasarkan kesukubangsaan, dan Arek-arek Suroboyo adalah salah satu bentuk perwujudan dari modifikasi pengelompokan berdasarkan kesukubangsaan tersebut.


“Pluralisme” Arek-arek Suroboyo

Arek-arek Suroboyo bergabung berdasarkan persamaan bidang mata pencaharian dan minat di suatu wilayah (sumber daya tertentu), di Jakarta. Mereka mengelompok terbagi menurut wilayah, seperti Arek-arek Suroboyo Blok M, Terminal Pulo Gadung, Terminal Rawamangun, Stasiun Kereta Api Senen, Stasiun Kereta Api Gambir, Jl. Sabang dan masih banyak lagi lainnya. Sekalipun mungkin mereka tidak berhubungan, tetapi mudah untuk meminta bantuan jika mengalami kesulitan berkaitan dengan sumber daya yang dikuasainya. Kelompok Arek-arek Suroboyo ini menurut pandangan dan penilaian masyarakat adalah kelompok anak-anak nakal, berandalan atau istilah Jakarta-nya yaitu preman atau prokem.

Pengelompokan sosial ini berdasarkan persamaan daerah asal, yaitu Surabaya dan sekitarnya. Mereka menyebut identitasnya sebagai orang Wetan (Timur) yang berarti orang-orang yang berasal dari Jawa Timur, dan orang luar menyebut mereka sebagai “Arek” (karena sebutan “Arek” adalah khas bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya yang tidak ada atau dipergunakan oleh orang Jawa kecuali orang-orang Jawa Surabaya dan sekitarnya. Dalam pengelompokan sosial ini, menggunakan kebudayaan atau sub-kebudayaan sebagai atributnya di mana simbol atau gejala yang tampak, yaitu bentuk kebudayaan atau sub-kebudayaan yang bersifat membedakan yang biasanya digunakan untuk menentukan identitas para anggotanya dan orang lain; dan nilai-nilai dasar, misalnya standar moral yang digunakan anggota untuk menilai perilaku seseorang. Di dalam proses penggolongan dengan menggunakan atribut kebudayaan atau sub-kebudayaan ini melibatkan emosi dan perasaan, yang di dalamnya tercakup atau bersangkut paut dengan eksistensi dan kelangsungan hidupkelompok yang bersangkutan, sebagaimana halnya sukubangsa sehingga sangat mudah untuk membangkitkan rasa solidaritas guna pencapaian tujuan-tujuan para pelaku yang bersangkutan (lihat Barth: 1969).

Selayaknya identitas sukubangsa, “Arek-arek Suroboyo” juga dibentuk oleh komponen rasional dan irrasional (Devos dan Romanucci Ross: 1982). Di satu pihak, pemakaian secara rasional untuk berbagai kepentingan seperti politis, ekonomik seperti yang kita lihat dalam rangka perebutan sumber daya dengan mengaktifkan identitas “Arek-arek Suroboyo”, dan sebagainya. Di lain pihak, terdapat ciri-ciri irrasional tertentu sebagai counter bagi kepentingan eksistensi dan kontinuitas kelompok Arek Suroboyo itu sendiri.

Mereka, Arek-arek Suroboyo ini tidak menutup diri untuk menerima anggota dari sukubangsa lain (selain orang Jawa, khususnya Jawa Timur). Sebenarnya hal ini juga terjadi di Surabaya karena selain adanya domnasi sub-kebudayaan Jawa Timur juga adanya “sejarah perjuangan” yang menyatukan masyarakat Surabaya dan sekitarnya (tanpa memandang kesukubangsaan) ke dalam satu identitas, yaitu “Arek Suroboyo” sebagaimana halnya sukubangsa baru. Hanya, di Jakarta dimodifikasi atau mengalami perluasan batas-batas identitas “Arek Suroboyo” ini. Tadinya, identitas “Arek Suroboyo” ini berlaku bagi orang-orang yang dilahirkan dan atau dibesarkan di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Kini di Jakarta tidak tertutup kemungkinan bagi mereka (berbagai sukubangsa) yang bukan lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur. Fleksibilitas atau meluasnya batas-batas “etnik” (Arek Suroboyo) adalah sangat adaptif dalam menunjang keberadaan kelompok Arek-arek Suroboyo di Jakarta yang masyarakatnya majemuk, dengan pengelompokan-pengelompokan sukubangsanya dalam rangka perebutan sumber daya.

Oleh karena itu, kelompok Arek-arek Suroboyo dapat digolongkan ke dalam dua kategori besar, yaitu:
1. Individu yang lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur;
2. Individu yang lahir dan atau dibesarkan bukan di JawaTimur


1. Individu yang Lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur
Arek-arek Suroboyo yang termasuk dalam kategori ini adalah individu-individu baik dari sukubangsa Jawa-Madura (Jawa Timur) maupun non sukubangsa Jawa-Madura yang lahir dan atau dibesarkan di Surabaya atau lebih luasnya yaitu Jawa Timur. Mereka yang bukan berasal dari sukubangsa Jawa-Madura yang lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur, mereka ini boleh dibilang sudah melebur menjadi satu dengan warga setempat. Mereka dianggap sebagai warga atau masyarakat yang tidak dibedakan dengan warga penduduk asli, mereka telah terintegrasi ke dalam satu identitas “sukubangsa baru” yaitu “Arek Suroboyo”. Hal ini tampak dengan jelas dengan “budaya tawuran” (perkelahian massal) di mana bukan sukubangsa berhadapan dengan sukubangsa melainkan kesatuan wilayah (kampung) melawan kesatuan wilayah lainnya. Mereka tidak menggunakan identitas sukubangsanya dalam interaksi dengan individu-individu lain kecuali bila bertemu dengan orang yang berasal dari sukubangsa yang sama, dan bahkan seringkali mereka mengaku sebagai orang Jawa Timur

Mereka yang termasuk dalam kategori sebagai individu-individu yang lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur inilah yang membawa dan memberlakukan adat kebiasaan atau sistem nilai dan aturan-aturan perilaku sebagai pedoman dalam bertindak dan menilai perilaku seseorang, lebih khususnya sub-budaya prokem kota Surabaya dan sekitarnya. Dan, saat-saat tertentu, biasanya setelah selesai “bekerja” mereka berkumpul untuk “minum-minum” dengan cara bandaran sebagai salah satu proses pemisahan dan penyatuan yang fungsinya sebagai pelestarian batas-batas “Arek Suroboyo” sehingga mereka tetap berbeda dengan kelompok “sukubangsa” lain (lihat Barth: 1969).


2. Individu-individu yang Lahir dan atau Dibesarkan Bukan di Jawa Timur
Individu-individu yang pernah tinggal di Jawa Timur untuk beberapa waktu sehingga dapat berbahasa dan mengerti norma-norma, aturan-aturan atau adat-kebiasaan kelompok prokem Jawa Timur. Begitu mereka pindah ke Jakarta, telah dianggap oleh kelompok Arek-arek Suroboyo sebagai individu-individu yang sama kedudukannya dengan individu-individu yang lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur karena mereka dapat berperilaku sesuai dengan kerangka acuan sub-kebudayaan Jawa Timur.

Bagi mereka yang dari kategori ini, manipulasi sistem referensi untuk bertindak dari sub-kebudayaan Arek Suroboyo adalah untuk mendapatkan perlakuan – baik hak dan kewajiban yang sama dengan individu-individu dari kategori mereka yang dilahirkan dan atau dibesarkan di Jawa Timur.

Begitu juga bagi individu dari sukubangsa Jawa yang berasal bukan dari Jawa Timur. Hanya mereka ini lebih mudah dalam mengadaptasikan diri karena selain bahasanya masih banyak persamaan juga nilai-nilai sebagai orang Jawa tidaklah terlalu berbeda dengan orang-orang Jawa Timur. Dan, seringkali mereka ini dalam berinteraksi menggunakan struktur yang lebih “besar” yaitu struktur sukubangsa Jawa demi tujuan-tujuan individu yang bersangkutan.

Berikutnya adalah mereka yang berasal dari sukubangsa bukan Jawa-Madura, namun karena pergaulan sehari-hari selama di Jakarta dengan orang-orang Surabaya atau Jawa Timur maka dengan mudah mereka bisa belajar dan mengadopsi sistem referensi perilaku Arek-arek Suroboyo. Mereka menggabungkan diri dengan Arek-arek Suroboyo adalah untuk tujuan dapat ikut menikmati sumber daya yang dikuasai oleh Arek-arek Suroboyo, atau untuk mendapatkan dukungan/rasa solidaritas guna menjaga sumber daya yang dikuasainya.

Perbedaan kedua kategori di dalam identitas tersebut biasanya muncul jika terjadi kesalah-pahaman atau konflik antara anggota dari kategori yang berbeda. Sebagai contoh dalam kasus Arek-arek Suroboyo di Monas, Jakarta (penelitian lapangan tahun 1989), di mana individu dari kategori pertama terlibat dalam konflik fisik dengan individu dari kategori kedua. Waktu itu teman-teman mereka, tak seorangpun yang membela salah satu di antara mereka, namun berusaha mendamaikan dengan diingatkan bahwa mereka berdua sebenarnya tidak perlu berkelahi apalagi sampai saling bunuh karena mereka semua (Arek-arek Suroboyo yang hidup di Monas) adalah senasib. Memang pada saat itu mereka berdua setuju untuk saling memaafkan, akan tetapi individu dari kategori pertama merasa tidak puas dengan cara penyelesaian semacam itu. Dia merasa bahwa teman-temannya tidak adil dalam masalah ini, maka secara tiba-tiba dia berkata:

“Mosok Arek Suroboyo kalah ambek arek Semarang, dorong ono ceritane. Awas sampek kedaden mane, tak pateni koen” (Masa Anak Surabaya kalah dengan anak Semarang, belum ada ceritanya. Awas kalau terjadi lagi, saya bunuh kamu).

Jelas, bahwa individu dari kategori pertama berusaha untuk membangkitkan perasaan dan emosi dari teman-temannya bahwa lawannya (individu dari kategori kedua) adalah sebenarnya “berbeda” guna mendapatkan dukungan.

Hal seperti ini juga terjadi bila menyangkut rahasia pribadi (menyangkut pekerjaan), individu akan bercerita pada teman-teman yang dianggap “dekat”, dan umumnya dari kategori yang sama. Begitu pula dalam mencari parter “operasi”.

Namun demikian, kedua kategori ini dapat melebur menjadi satu sehingga tidak tampak perbedaan-perbedaan yang ada. Hal ini terjadi bila ada gangguan terhadap sumber daya yang dikuasainya. Mereka bergabung menjadi satu untuk menghadapi “pihak luar” yang berusaha merebut sumber daya mereka, seperti kata-kata yang diucapkan oleh salah seorang Arek Suroboyo di Monas :

“ Kita disini berada dalam satu atap, dalam arti makan tidak makan bersama, resiko juga ditanggung bersama, maka kita harus solider terhadap teman. Rasa ini harus dimiliki oleh semua anak yang cari makan di sini. Jadi, jika terjadi perselisihan antar teman sebaiknya kita damaikan, kecuali dengan orang luar maka kita semua harus turun tangan”.

Kita melihat bahwa Arek-arek Suroboyo sendiri sebenarnya di daerah asalnya yaitu Surabaya dan sekitarnya, belum tentu berteman dan kebanyakan dari mereka itu berasal dari berbagai kelompok prokem (marginal) yang berbeda bahkan ada yang saling bermusuhan, namun di Jakarta mereka bersatu. Kondisi di Jakarta yang bermasyarakat majemuk – yang terdiri atas bermacam-macam sukubangsa – dalam interaksi sosial saling mempertahankan batas-batas sukubangsa masing-masing dan terwujud sebagai saling membentuk kelompok-kelompok sukubangsa yang eksklusif.

Keterbatasan sumber daya cenderung menciptakan kelompok-kelompok sukubangsa guna bersaing memperebutkan sumber daya yang tersedia, karena rasa kesukubangsaan (komponen irrasional) sangat mudah dibangkitkan untuk memperoleh solidaritas dalam mencapai tujuan-tujuan pelaku yang bersangkutan. Begitu juga yang terjadi dengan pengelompokan sosial Arek-arek Suroboyo adalah untuk menghadapi lawan yang mungkin berkekuatan sama atau lebih untuk mempertahankan sumber daya yang telah dikuasainya agar tetap survive. Namun, Arek-arek Suroboyo memperluas batas-batas sukubangsa yang tradisional, dalam arti menjadi kurang eksklusif atau lebih terbuka terhadap sukubangsa lain yang berlandaskan pada “identitas” masyarakat Jawa Timur yang terbentuk saat perjuangan – yang dikenal dengan Peristiwa 10 November.


Arek Suroboyo Sebagai “Sukubangsa Baru”: Analisa dan Kesimpulan

Sebagaimana halnya suku bangsa, kelompok ”Arek-arek Suroboyo” ditinjau dari segi sosial dapat dipandang sebagai suatu organisasi atau tatanan sosial. Yaitu mampu menentukan ciri khasnya sendiri, yang dapat dilihat oleh kelompok suku bangsa lain. Ciri khasnya bersifat kategoris, yaitu ciri khas yang mendasar dan umum – yang menentukan seseorang termasuk kelompok suku bangsa mana, dan ini dapat diperkirakan dari latar belakang asal-usulnya, yaitu lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur. Sebagai organisasi sosial, identitas “Arek Suroboyo” terbentuk bila seseorang menggunakan identitas tersebut dalam mengkategorisasikan dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi.

Bagaimana hal ini dapat terjadi, bahwa “Arek Suroboyo” tersebut dipandang sebagai suatu suku bangsa? “Arek Suroboyo” adalah salah satu kelompok atau organisasi sosial yang diikat atas dasar budaya. Mereka terdiri dari orang yang memiliki kesadaran diri dan merasa sebagai satu kesatuan atau golongan yang disatukan oleh tradisi-tradisi tipikal (yang mendasar dan umum) yang dimiliki bersama, yang tidak dimiliki oleh kelompok atau golongan lain. Seperangkat tradisi tersebut adalah bahasa, kontinuitas sejarah, keturunan dan tempat asal-usul, termasuk konsep-konsep mengenai kontinuitas generasional dan eksistensi “Arek-arek Suroboyo”, sehingga identitas “Arek Suroboyo” sebagai suku bangsa sulit dihilangkan. Bedanya dengan suku bangsa adalah sifat keanggotaannya tidak hanya melalui kelahiran, tetapi lebih menekankan pada lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur (lihat Srabaya Post, 1989).

Oleh karena itu,”Arek Suroboyo” menggunakan kebudayaan atau sub-kebudayaan sebagai atributnya, yang biasanya digunakan untuk menentukan identitas seseorang, misalnya standar moral yang digunakan untuk menilai perilaku seseorang. Tidaklah menjadi masalah seberapa berbedanyanya perilaku yang tampak ini. Bila mereka menyatakan A sebagai kelompok yang berbeda dari kelompok B, itu berarti mereka ingin diperlakukan dan dinilai perilakunya dengan tata nilai atau sistem nilai dari kelompok A dan bukan dari kelompok B.

Dengan demikian, adanya perbedaan tersebut bukanlah ditentukan oleh tidak terjadinya interaksi atau kontak antara “Arek Suroboyo” dengan kelompok suku bangsa lain, namun lebih ditentukan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan sehingga perbedaan kategori tetap dipertahankan meskipun terjadi pertukaran peran-serta keanggotaan diantara unit-unit “Arek Suroboyo” dalam perjalanan hidupnya. Ini bisa kita lihat bahwa “Arek Suroboyo” tetap mempertahankan identitasnya biarpun ada anggota-anggotanya yang berinteraksi dengan kelompok lain. Ini menandakan adanya suatu kriteria untuk menentukan keanggotaan kelompok “Arek Suroboyo”, dan berfungsi sebagai cara untuk menandakan mana yang anggota dan mana yang bukan. Batas tersebut merupakan pola perilaku dan hubungan sosial yang kompleks.

Kasus pengelompokan sosial Arek-arek Suroboyo ini sanagat menarik seperti yang telah diuraikan sebelumnya bagaimana proses dan mekanisme mereka sebagai kelompok sosial, dalam hal ini kelompok “suku bangsa baru”, dalam mengahadapi lingkungan kota Jakarta yang masyarakatnya majemuk degan sumber dayanya yang terbatas. Di balik semua ini, sebenarnya di dalam diri kelompok Arek-arek Suroboyo sendiri banyak terdapat masalah-masalah hubungan antar suku bangsa karena mereka (Arek Suroboyo) pada dasarnya adalah “masyarakat” plural sebagaimana halnya masyarakat Jakarta, yang terdiri dari berbagai suku bangsa di bawah naungan satu kebudayaan yaitu Jawa Timur. Mungkin karena “pengalaman” hubungan antar suku bangsa di dalam dirinya sendiri inilah sehingga kelompok Arek-arek Suroboyo mampu memelihara dan menjaga eksistensinya di Jakarta yang masyarakatnya juga plural.

Sebenarnya tidak ada konflik akibat perbedaan suku bangsa atau karena diri mereka berbeda. Konflik itu akan terjadi bila terdapat persamaan kepentingan, dalam kasus ini adalah perebutan sumber daya sehingga mereka masing-masing saling mengaktifkan identitas suku bangsa dengan memperjelas batas-batas suku bangsa masing-masing. Dan, di dalam diri kelompok Arek-arek Suroboyo itu sendiri, perbedaan kategori keanggotaan sebenarnya tidak membuat mereka konflik satu sama lain kecuali ada bentrokan kepentingan-kepentingan pula.

Dalam pelestarian batas-batas “Arek Suroboyo” terdapat situasi sosial antara orang-orang dengan kebudayaan yang berbeda: Kelompok “Arek Suroboyo” hanya dikenal sebagai unit bila kelompok tersebut memperlihatkan perilaku yang berbeda, dengan kata lain ada perbedaan kebudayaan. Tetapi bila orang-orang dengan kebudayaan yang berbeda berinteraksi, diharapkan perbedaan-perbedaan ini akan berkurang, sebab interaksi memerlukan dan membentuk kesatuan simbol dan nilai, atau harus ada kebudayaan yang umum. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah interaksi antar individu yang kategori keanggotaannya berbeda dalam diri Arek-arek Suroboyo, dengan kebudayaan yang umum yaitu kebudayaan atau sub-kebudayaan Jawa Timur.

Dan hubungan antar suku bangsa yang stabil tersebut (karena berbagai suku bangsa tersebut secara sadar mengaku dirinya sebagai “Arek Suroboyo”) membutuhkan adanya struktur interaksi, yaitu seperangkat ketentuan yang mengatur cara berhubungan dan memungkinkankan adanya hubungan di beberapa bidang kegiatan, serta seperangkat ketentuan tentang situasi sosial yang melarang adanya interaksi antar suku bangsa. Batas suku bangsa ini dapat dipertahankan pada keadaan tertentu, dan akan hilang dalam keadaan lain. Perubahan hanya terjadi bila kategorisasi yang ada tidak memadai juga tidak memberi dampak apa-apa bagi pelaku yang bersangkutan.



KEPUSTAKAAN

Agusyanto, Ruddy. 1990. “Jaringan Sosial dan kebudayaan: Kasus Arek-arek Suroboyo di Monas, Jakarta”. Skripsi S-1. Universitas Indonesia.

Barth, Fredrik (ed). 1969. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culcure Difference. Massachusetts: Little, Brown, and Company.

Bruner, M Edward. 1974. “The Expressions of Ethnicity in Indonesia”, Urban Eyhnicity (Abner Cohen, ed). London: Tavistock.

Horrowitz, L.Donald. 1975. “Ethnic Identity”, Ethnicity (Glazer & Moynihan, eds.) USA: Havard University Press.

Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok-pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

PPMKL DKI, 1980. “Profil ‘Migran Siekuler’ di DKI”, Widyapura No. 6/11. Jakarta: Jurnal Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan.

Romanucci-Ross, L and G, Devos (eds.). 1982. “Introduction 1982”, Ethnic Identity. Chicago: The University of Chicago Press.

Roosens, E. Eugeen. 1989. “The Making Natural Feelings: Problems, Concepts, and Theoritical Strating Point”, Creating Ethnicity. London: Sage Publications Incs.

S. sudjito.1986. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Suparlan, Parsudi. 1978. “Pola-pola Komunikasi untuk Masyarakat Kota dan Masyarakat Desa: Sebuah Pendekatan”. Makalah.

----------- . 1980. “Lapangan Kerja Bagi Penduduk Berpenghasilan Rendah di Kota”, Widyapura No. 6/11. Jakarta: Jurnal Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan.

------------ 1984. “Gelandangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota”, Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial. Jakarta: LP3ES.

------------- 1984. “Orang-orang Gelandangan di Jakarta: Politik pada Golongan Termiskin”, Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan.

------------ 1986. “Latar Belakang Budaya Orang Betawi”, Media Ika No.12/XV. Jakarta: Ikatan Kekerabatan Antropologi UI.

Tim Surabaya Post. 1989. Surabaya Post. 10 November 1989.