Sabtu, 08 Agustus 2009

Survei: Antara Penelitian dan Iklan (2-habis)

SINAR HARAPAN Sabtu 11. of Juli 2009 12:00
Survei: Antara Penelitian dan Iklan (2-habis)

OLEH: RUDDY AGUSYANTO

Sejak persiapan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) legislatif yang lalu hingga pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), survei elektabilitas bakal calon (balon) presiden dan balon wakil presiden terus dilakukan oleh berbagai lembaga survei. Setelah itu, berlanjut dengan survei elektabilitas terhadap tiga pasang capres dan cawapres. Hasil survei dari berbagai lembaga survei tersebut telah menghiasi berbagai media cetak dan elektronik.

Detail Berita

Hasil survei dan prediksi-prediksinya, terutama hasil quick count, di satu sisi mengagumkan, sementara di sisi lain mengundang banyak pertanyaan. Apa pun reaksi seseorang, jelas hasil survei yang disebarluaskan ke publik secara berulang-ulang – sedikit banyak – tentu saja berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk menentukan pilihan politiknya, tergantung pada bagaimana masing-masing individu menyikapi hasil-hasil survei tersebut. Namun, mengapa baru sekarang dipermasalahkan - baik mengenai metodologinya maupun keberadaan (independensinya) lembaga-lembaga survei tersebut?
Bukankah sewaktu survei bakal calon presiden dan wakil presiden, mereka merasakan bahwa popularitas mereka terdongkrak? Mungkinkah para pasangan capres dan cawapres beserta tim suksesnya baru menyadari hal ini hanya karena “kursi kekuasaan” yang paling terhormat di negeri ini terasa semakin kecil kemungkinannya untuk dimenangkan.
Survei sebagai sebuah tipe penelitian, yang harus diperhatikan adalah masalah meto-dologi yang dipergunakan apakah sudah memenuhi standar ilmiah – mulai dari pemahaman tentang persebaran populasi, design sample-nya hingga teknik pengumpulan data. Tulisan ini sengaja tidak menyinggung persoalan analisis statistik yang digunakan karena besarnya ruang yang terkandung di dalamnya untuk manipulasi perhitungan-perhitungan statistika. Bahkan, seorang pakar statistik menyatakan bahwa “statistik itu tidak hanya damned lie, tetapi lebih dari itu.”

2.000 Responden Merepresentasikan 170 Juta?
Persoalan utama dalam penelitian yang menggunakan sampel (karena jumlah populasi yang sangat besar) adalah masalah representativitas. Dalam konteks kehidupan berpolitik di Indonesia di mana warga – baik yang simpatisan parpol ataupun tidak - dan kader parpol masih berafiliasi kepada tokoh maka pasangan capres dan cawapres yang berpotensi menang juga tidak ditentukan oleh parpol yang mengusungnya. Selama orientasi dan pilihan politik masyarakat masih seperti ini maka perolehan dukungan suara sangat tergantung pada dinamika hubungan sosial para pendukung dengan individu tertentu dan para tokoh politik - yang signifikan dalam konteks kehidupan mereka. Oleh karena itu, memilih pasangan capres juga perlu pertimbangan serius sebab berpengaruh terhadap dukungan suara – apakah akan meningkatkan elektabilitas atau justru kontraproduktif.
Ketepatan sebuah penelitian survei tergantung pada sejauh mana peneliti mengetahui dan memahami persebaran berdasarkan konteks-konteks kehidupan yang signifikan dalam populasi penelitiannya sehingga penentuan sampel bisa benar-benar mewakili populasi. Berdasarkan persebaran populasi maka bisa ditentukan sampel dan teknik pengambilan sampelnya. Meski teknik penarikan sampel ada beberapa jenis, mengingat konteks kehidupan politik masyarakat Indonesia yang sangat tergantung pada dinamika hubungan sosial dengan orang-orang yang ada dalam jaringan sosialnya, mungkin teknik pe-narikan sampel stratifikasi proporsional lebih cocok agar diperoleh jumlah sampel yang proporsional dengan persebaran yang ada dalam populasi. Sehingga bisa lebih tepat dalam merepresentasikan populasi.
Persoalannya, atribut seperti keanggotaan parpol pun tidak menjamin mereka memberikan dukungannya kepada parpolnya. Di serentetan pilkada menunjukkan bahwa parpol pemenang pemilu pun tidak selalu menjamin calon yang diusungnya akan mendapat dukungan sebesar perolehan suara parpolnya di saat pemilu. Bahkan, di beberapa pilkada, calon pemimpin daerah justru memilih diusung oleh parpol lain, meski parpolnya adalah pemenang pemilu di daerahnya. Sebagai contoh, Golkar adalah pemenang pemilu lalu di suatu daerah, tetapi sang calon pemimpin daerah yang kader Golkar justru maju dengan kendaraan parpol Partai Persatuan Pembangunan (PPP); sementara itu Golkar sebagai parpol pemenang pemilu juga mengajukan calon lain (akhirnya calon dari Golkar kalah).
Belum lagi masalah persebaran populasi berdasarkan golongan sosial, suku bangsa, kebudayaan dan lain-lain yang sedemikian kompleks – apakah masing-masing persebaran populasi ini mampu diidentifikasi dan diambil sebagai sampel secara proporsional? Jika demikian, apakah mungkin hanya dengan sampel sekitar 2.000 responden mampu merepresentasikan (sudah mencakup semua persebaran populasi) sekitar 170 juta pemilih? Setahu saya, semakin heterogen sebuah populasi penelitian maka semakin besar sampel yang dibutuhkan.

Survei sebagai “Soft Campaign”
Berbicara masalah survei sebagai salah satu bentuk “iklan” (soft campaign), kita tidak harus mempermasalahkan persoalan apakah penelitian survei yang dilakukan sudah memenuhi standar secara metodologi atau tidak. Persoalannya bukan terletak pada metodologi, sebab survei dan analisis statistiknya sangat mudah dimanipulasi sehingga dengan sangat mudah disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh peneliti atau “pemesan” penelitian. Masalah standar ilmiah sebuah penelitian survei adalah persoalan etika.
Masalah penelitian survei sebagai bentuk “iklan” adalah masalah keberadaan lembaga survei - apakah independen atau tidak. Masalah ini hanya bisa dijawab oleh lembaga survei itu sendiri – apalagi jika bisa mempertanggungjawabkan secara metodologis dari penelitian yang dilakukannya. Meski secara metodologis penelitian survei bisa dipertanggungjawabkan, namun penelitian survei tentang elektabilitas pasangan capres dan cawapres tetap diragukan bisa merepresentasikan kenyataan sebab pilihan politik di Indonesia sangat kontekstual dan tidak tergantung pada “atribut” apa pun yang disandang pemilih.
Kembali kepada hasil survei yang dipublikasikan kepada publik – yang pasti bisa mempengaruhi tindakan, sikap dan perilaku politik masyarakat pemilih dan mungkin saja mampu menggiring pilihan masyarakat kepada parpol atau capres tertentu. Ibarat iklan obat/vitamin yang disajikan oleh dokter, rumah sakit atau menteri kesehatan. Iklan tersebut bukan lagi iklan biasa, melainkan sudah menjadi sebuah anjuran karena pihak yang mengiklankan adalah pihak yang legitimated dan merupakan salah satu referensi. Demikian halnya dengan sebuah hasil survei yang dikeluarkan oleh lembaga survei. Apalagi jika hasil-hasil survei ini ditayangkan di media cetak dan elektronik secara berulang-ulang. Di sinilah sikap dan peran media (cetak dan elektronik) dibutuhkan, apakah sebuah hasil survei itu layak dipublikasikan atau tidak.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.