Minggu, 14 Agustus 2011

KETIDAKADILAN DALAM MASYARAKAT MULTIKULTUR: Kasus Papua

KETIDAKADILAN DALAM MASYARAKAT MULTIKULTUR:

Kasus Papua

Oleh: Ruddy Agusyanto

Pusat Analisa Jaringan Sosial

Institut Antropologi Indonesia





NKRI sebagai negara-bangsa dengan masyarakat majemuknya tercermin dalam pengelompokan- pengelompokan sosial (berdasarkan orientasi sukubangsa, agama, afiliasi politik, kebudayaan dan lain-lain) yang berbeda satu sama lain – yang terikat dan terstruktur ke dalam satu jaringan (sistem nasional) dan terstratifikasi secara sosial-ekonomi dan sosial-politik. Artinya, ‘kesatuan-kesatuan atau golongan-golongan sosial’ yang menjadi bagian Indonesia itu tidak hanya terdiri dari kesatuan-kesatuan sosial yang berbeda ras, sukubangsa, bahasa, kebudayaan dan agama secara horisontal, melainkan juga dapat dibedakan secara vertikal berdasarkan daya saing dan daya adaptasinya (daya saing dibedakan dari daya adaptasi adalah untuk membedakan respons atas lingkungan yang dihadapi. Konotasi konsep adaptasi adalah sebagai respons pasif; sedangkan daya saing lebih kepada respons aktif). Masyarakat yang mempunyai daya saing dan daya adaptasi rendah, pemerintah atau negara sering menyebutnya atau menggolongkannya ke dalam ‘masyarakat terasing’ atau ‘masyarakat hutan’ dan sejenisnya) terhadap perkembangan- pekembangan aktual yang terjadi dalam kehidupan mereka masing-masing sehingga ada kesatuan-kesatuan sosial yang tampak lebih dominan dari kesatuan-kesatuan sosial yang lain.



Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia tidak cukup hanya dipahami dari sudut pandang kemajemukan secara horisontal semata. Justru, yang terpenting, adalah dimensi vertikal karena perbedaan daya saing dan daya adaptasi dari masing-masing kesatuan sosial yang satu dapat menjadikan atau mengakibatkan kesatuan-kesatuan sosial yang lain termarginalkan.



Kesatuan sosial yang memiliki kemampuan daya saing dan daya adaptasi yang lebih ‘baik/tinggi’ bisa mendominasi atau memarjinalkan keberadaan kesatuan-kesatuan sosial masyarakat yang memilki kemampuan daya saing dan daya adaptasi yang ‘kurang atau lebih rendah’ (secara teknologi, sosial, ekonomi, maupun politik) sebab perbedaan dayasaing dan daya adaptasi tersebut akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam kemampuan mengakses berbagai kesempatan yang menjanjikan tingkat kehidupan yang lebih layak di masa depan. Perbedaan daya adaptasi dan daya saing ini dapat mengakibatkan suatu kesatuan sosial atau golongan sosial tertentu tidak mungkin bersaing dengan satu kesatuan sosial yang memiliki daya saing dan daya adaptasi yang lebih tinggi. Dengan demikian, dari sudut pandang ini, sebenarnya, kita tidak perlu terlalu takut pada masalah perbedaan sukubangsa, agama, ras, dan antar golongan (SARA) seperti rezim orba, yang lebih mengacu pada keberadaan kemajemukan secara horisontal sebab perbedaan bukanlah sumber konflik[1]. Selain itu, perbedaan sukubangsa, agama dan ras merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari sebab merupakan sesuatu yang diperoleh secara askriptif (warisan). Dan, perbedaan ini tidak menyebabkan manusia konflik dengan manusia lainnya seperti yang telah diuraikan di atas.



Dalam pemikiran multikulturalisme, selain diharapkan akan memberi peluang untuk saling berinteraksi satu sama lain agar bisa tumbuh saling mengenal dan menghargai (toleransi) satu sama lain, juga diharapkan hubungan antar kesatuan-kesatuan sosial yang terwujud berada dalam posisi setara – tidak ada perlakuan ‘khusus’ atau tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Masing-masing kesatuan sosial diharapkan bisa berinteraksi dan bekerjasama dalam berbagai sisi kehidupan sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Sementara itu, ada dimensi lain dalam konsep hubungan setara yang terlupakan atau tidak dikaitkan dengan derajat kekuatan karena pada saat itu perhatian hanya terpusat pada hubungan antar kesatuan atau golongan sosial secara horisontal (kebersamaan dalam harmoni – demi stabilitas sosial politik) sehingga hubungan vertikal selama ini hanya dimaknai sebagai hubungan antara negara dan sukubangsa di mana semua kesatuan/golongan sosial yang ada berada pada posisi setara dalam hubungannya dengan negara – tanpa pernah mempersoalkan hubungan vertikal ‘antar’ kesatuan atau golongan sosial yang ada. Padahal dalam kehidupan manusia, tidak hanya interaksi dan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Bila, salah satu dari kebutuhan tersebut merupakan sesuatu yang “langka” atau “terbatas” sehingga tidak mampu mengcover kebutuhan semua kesatuan atau golongan sosial yang ada, maka persaingan pun tak terelakan. Demikian halnya dengan persamaan nilai terhadap ‘sesuatu” yang dianggap sebagai “sumberdaya”, apabila sesuatu tersebut sama-sama dinilai oleh lebih dari satu kesatuan sosial sebagai sumberdaya (bernilai) maka persaingan atau kompetisipun akan terjadi. Lain halnya dengan sesuatu yang hanya dianggap bernilai oleh salah kesatuan sosial saja, sementara yang lain tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang bernilai (sumberdaya) – tidak akan terjadi persaingan/kompetisi. Aspek “persaingan” inilah yang terlupakan atau tak terpikirkan di era Orba – hal ini terulang kembali pada era reformasi seperti kejadian di Papua.



Persaingan/kompetisi adalah proses perjuangan untuk memperoleh sesuatu yang berharga dan terbatas jumlahnya serta hanya dapat dilakukan oleh para pesaing yang seimbang derajat kekuatannya. Kalau persaingan yang terjadi tidak seimbang, yang terjadi bukan persaingan, melainkan dominasi, ibarat sebuah pertandingan tinju antara petinju kelas berat melawan petinju kelas terbang. Agar tidak terjadi dominasi, diperlukan upaya untuk mengurangi ‘kesenjangan’ derajat kekuatan (daya saing dan daya adaptasi) berbagai golongan atau kelompok sosial (sukubangsa, agama dan kebudayaan) yang ada di Indonesia. Hal ini harus menjadi prioritas pemerintah atau negara. Selain itu, sebelum perioritas tersebut dilaksanakan dan sebelum berhasil mencapai ‘keseimbangan atau kesetaraan’ derajat kekuatan, diperlukan adanya peraturan/aturan atau hukum yang mempertimbangkan ‘batas-batas’ atau ‘kondisi-kondisi’ tertentu dalam persaingan – untuk mencegah terjadinya persaingan antar pelaku yang tak seimbang ‘derajat kekuatan’nya – yang disepakati bersama dan harus ditaati oleh mereka yang bersaing sebagai “perlindungan” kepada yang “lemah”. Dengan kata lain diperlukan kebijakan yang beragam untuk melindungi kesatuan-kesatuan atau golongan-golongan sosial yang daya saing dan daya adaptasinya masih lemah dari persaingan dengan kesatuan-kesatuan atau golongan-golongan sosial yang memiliki daya saing dan daya adaptasi lebih tinggi atau diperlukan “regulasi affirmasi” atau “regulasi preservasi” untuk masalah ini. Melepas begitu saja ‘kelompok-kelompok atau golongan-golongan’ masyarakat yang berbeda-beda daya saing dan daya adapatasinya (yang dalam kenyataan, kesenjangan kemampuan/ daya saing dan daya adaptasi yang ada masih ‘sangat besar’ atau ‘timpang’) ini ke dalam ‘persaingan bebas’ sama saja dengan menabur benih konflik.



Persaingan memperebutkan atau mempertahankan sumberdaya, harga diri dan kehormatan akan dirasakan dalam berbagai situasi di mana hukum dan peraturan-peraturan berikut sanksi-sanksi yang menegakkan keadilan akan dirasakan secara subyektif oleh pihak yang ‘lemah’ – dirasakan tidak berjalan secara baik dan efektif. Rasa “ketidak-adilan” subyektif ini akan memicu konflik (potensi konflik) –“perlawanan” atau “resistensi” – dan tidak mustahil mengarah pada gerakan separatisme.



Dalam persaingan, seringkali terjadi salah satu pihak atau masing-masing pihak saling mengaktifkan “identitas kolektif” untuk mendapatkan dukungan kesatuan sosialnya (memobilisasi massa yang se-identitas) untuk mampu memenangkan persaingan atau perlawanan. Hal ini adalah suatu yang wajar, seperti meminta dukungan asosiasi-asosiasi, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi primordial dengan memanipulasi atau mengaktifkan “perbedaan dan persamaan” yang melekat pada dirinya dan pesaingnya guna mendapatkan dukungan kolektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Permasalahannya adalah sentimen kesukubangsaan (etnisitas) dan agama sangat ampuh dan mudah diaktifkan karena melibatkan ‘emosi dan perasaan’ (eksistensi) sehingga orang rela mengorbankan jiwa dan raga[2]. Oleh karena itu pula konflik antara dua individu yang berbeda sukubangsa atau keyakinan agama sangat mudah menjadi konflik regional atau nasional dan mengancam disintegrasi bangsa.



Sebagai contoh, simbol “Bintang Kejora” dalam kasus di Papua bisa dimaknai sebagai “simbol perlawanan” dari warga Papua untuk ketidak-adilan yang dirasakan dan dialaminya. Dengan mengaktifkan simbol-simbol kebudayaan (juga ekspresi budaya lainnya) dalam konteks ini, selain sebagai simbol perlawanan atau resistensi, tetapi juga untuk menggalang solidaritas sosial sesama warga Papua. Tentunya hal ini justru kontra-produktif terhadap upaya nation and national character building (membuat warga Papua merasa menjadi orang Indonesia)



Aturan-aturan persaingan tersebut juga harus mencakup ketentuan bahwa setiap persaingan, tujuan utamanya adalah memenangkan persaingan sesuai dengan aturan yang berlaku (persaingan sehat). Selain itu, juga diperlukan adanya wasit dan juri (yang dipercaya oleh semua pihak) – agar proses persaingan (terjamin) berjalan sesuai aturan-aturan yang berlaku. Proses kerjasama dan persaingan ini dapat berubah dan berwujud sebagai masalah sosial jika ada salah satu peserta persaingan merasa diperlakukan ‘tidak adil’ atau dirugikan karena salah satu pihak yang bersaing melanggar aturan atau ‘curang’ (dalam persaingan kepentingan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta moral yang berlaku dalam masyarakat) sehingga memicu terjadinya konflik. Disinilah pentingnya peran wasit dan juri. Disini pula peran pemerintah atau negara beserta aparatnya sebagai wasit dan juri sangat diharapkan dalam NKRI sebagai negara-bangsa yang multikultural.

NKRI sebagai negara-bangsa yang multikultur: Manajemen Potensi Konflik dalam rangka menjamin keadilan semua warga dan integrasi di Papua



Kerjasama dan persaingan dalam kehidupan sosial manusia, dalam rangka proses pemenuhan dan keinginan tentu saja tidak selalu berlangsung damai-damai saja. Kadang kala diwarnai dengan perselisihan sebagai dinamika proses mencapai “kesepakatan-kesepakatan bersama” karena pada dasarnya manusia meskipun saling membutuhkan tetapi juga saling manipulative satu sama lain demi tercapainya pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Selain itu, manusia juga pada dasarnya adalah mahkluk yang tidak selalu patuh karena manusia mampu menilai dirinya dan orang lain sehingga juga mampu mempengaruhi atau merubah ‘aturan’ yang sudah ada, termasuk melakukan pembenaran-pembenaran demi kepentingan atau tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Singkatnya, manusia adalah makhluk yang aktif dan reflektif. Oleh karena itu, dalam kerjasama dan persaingan pun diperlukan peraturan / aturan yang disetujui bersama sebagai ‘rambu-rambu’ dan harus ditaati oleh mereka yang bersaing.



Oleh karena itu pula Negara harus memperhatikan dan memahami proses dinamika dalam konteks kerjasama dan persaingan dalam kehidupan sosial di Tanah Papua sebagai pijakan dalam membuat regulasi, peraturan atau undang-undang. Dinamika seperti apa dalam proses kerjasama dan persaingan yang bisa memicu perselisihan dan menjurus pada konflik – dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial) antar golongan khususnya dalam rangka pemecahan masalah kasus “ketidak-adilan” yang terjadi di Papua.



NKRI sebagai negara-bangsa harus mampu menjamin keadilan bagi seluruh warganya, agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada warganya yang merasa terlanggar hak-haknya dalam menjalani kehidupannya – termasuk mampu melindungi warganya yang “lemah”. Dalam perspektif ini, kemampuan Negara mengelola segala potensi konflik yang ada dalam kehidupan sosial/bersama antar golongan (sukubangsa, keyakinan agama, sosial, ekonomi, politik atau kebudayaan) di tanah Papua adalah sama dengan Negara menjamin keadilan bagi warga Papua, selain untuk tujuan pencegahan konflik juga untuk melindungi pihak-pihak yang “lemah” dan untuk nation and bational character building.



Kondisi-kondisi kerjasama dan persaingan yang rawan konflik atau berpotensi konflik yang harus dikelola adalah:



1. Ketimpangan Derajat Kekuatan dalam persaingan/kompetisi (daya saing dan daya adaptasi) yang sangat menyolok. Dalam hal ini, warga Papua perlu ditingkatkan derajat daya adaptasi dan daya saingnya sebab persaingan/kompetisi yang tak seimbang derajat kekuatan/kemampuan antara para pelaku persaingan/kompetisi sehingga yang terjadi adalah dominasi - bukan persaingan atau kompetisi. Hal ini pula yang menyebabkan warga Papua termarjinalkan oleh para pendatang – terlanggar hak-haknya atas tanah adat mereka melalui kesepakatan-kesepakatan yang tidak mereka pahami.



1. Selain itu, juga diperlukan “aturan-aturan” atau “kesepakatan” yang melindungi hak-hak mereka akibat “daya adaptasi dan daya saing” yang masih relative lemah. Otonomi khusus dirasakan tidak mampu menjamin tidak terlanggarnya hak-hak mereka – baik karena otsus itu sendiri masih dirasakan belum mampu mengakomodasi kepentingan dan “hak-hak” mereka atau pun karena “penyimpangan” dalam implementasinya. Hal ini perlu ditinjau ulang aturan-aturan dalam otsus dan evaluasi pelaksanaannya – terkait dengan masalah budaya birokrasi pemerintahan yang masih buruk.



1. Distribusi sumberdaya dan penguasaan sumberdaya (termasuk distribusi jabatan-jabatan strategis) yang dirasakan tidak adil oleh warga Papua.



1. Terdapat keinginan untuk balas dendam atau membalas kekalahan (BERULANG). Ini terjadi sejak Papua menjadi bagian dari NKRI. Akar permasalahan tidak/belum terselesaikan. Mereka merasakan ketidak-adilan ini karena tanah di mana mereka tinggal dan hidup yang sudah mereka tempati dan kelola bergenerasi-generasi jauh sebelum berdirinya NKRI. Mengapa setelah berdirinya NKRI, lebih tepatnya setelah warga Papua menjadi bagian dari NKRI justru “hak dan harta-bendanya” direbut/dilanggar, baik oleh NKRI, ata pun para pendatang dan warga negara asing juga perusahaan.



Selama ini, pemerintah/negara seringkali melakukan tindakan represif guna menghentikan konflik yang terjadi agar tidak meluas dan memakan “korban” yang lebih besar. Fungsi dari tindakan represif adalah untuk menghentikan konflik (sementara) agar ada waktu untuk menyelesaikan atau mencari solusi atas konflik yang terjadi. Namun, dengan “dihentikannya konflik” dianggap bahwa permasalahan akan selesai dengan sendirinya atau dianggap sudah selesai, padahal akar permasalahan atau akar penyebab konflik belum diselesaikan.



1. Selanjutnya, kondisi di atas akan mengundang hadirnya pemimpin/provokator, yaitu orang yang mampu memberi dan menghidupkan SEMANGAT sehingga konflik menjadi terus berlangsung dan semakin meruncing.



1. Konflik bisa terwujud sebagai konflik SIMBOLIK, dengan kondisi relative lemahnya “power” yang dimiliki oleh warga Papua, yang jelas tidak mungkin melawan secara fisik terhadap “pendatang” atau NKRI akibat “ketidak-adilan” yang dirasakan dan yang dialaminya maka yang terjadi adalah konflik “simbolik”. FUNGSI konflik simbolik adalah untuk mempertahankan berlangsungnya konflik yang pernah terjadi, supaya selalu diingat/diperbaharui/disegarkan kembali (dari generasi ke generasi). Warga Papua akhirnya mengembangkan STEREOTIPE – seperti berkembangnya stereotip terhadap pendatang, khusunya orang “Jawa” dan NKRI, termasuk atas hubungan pemerintahan Pusat-Lokal.



1. Oleh karena itu, dalam konteks ini, ekspresi kebudayaan (dalam bentuk apapun) bisa dipahami sebagai upaya dalam rangka pemenuhan kebutuhan personal dan kolektif manusia (kebutuhan bukan hanya ekonomi…tapi termasuk masalah hara diri dan eksistensi) – yang juga bisa “dimanfaatkan” untuk tujuan memperoleh dukungan sosial dari mereka sesama sukubangsa atau kebudayaan – dalam rangka kerjasama, persaingan dan konflik ataupun sebagai bentuk resistensi.



Konflik simbolik ini pada akhirnya mereka menciptakan “batas-batas sosial yang diskriminatif” terhadap pendatang dan NKRI. Dalam konteks “perlawanan atau resistensi” terhadap keberadaan NKRI (negara) melalui simbol “Bintang Kejora”.



1. Pemerintah atau negara sebagai wasit dan juri tidak bisa menjaga/memelihara dan menegakkan aturan yang berlaku – otonomiu khusus.



1. Pemerintah atau negara sebagai wasit dan juri yang masih dirasakan memihak (tidak bersikap netral). Bahkan tanpa disadari negara/pemerintah melakukan “peran” ganda, yaitu selain sebagai “wasit dan juri” tetapi juga bertindak sebagai pelaku (atas nama kepentingan bangsa) sehingga pemerintah/negara sendiri yang melanggar regulasi yang telah ditetapkan (regulasi affirmasi atau preservasi – seperti otsus).



Kondisi kerjasama dan persaingan yang mengandung unsur-unsur tersebut di atas adalah rawan konflik, jika tidak segera diatasi atau dikelola dengan baik akan menimbulkan konflik dengan segala konsekuensinya. Kegiatan manajemen potensi konflik ini diharapkan juga mampu mencari dan menemukan solusinya (cara-cara penyelesaiannya) agar potensi-potensi konflik yang ada selain bisa diredam, juga diharapkan bisa dirubah menjadi sebuah “persaingan atau kompetisi yang sehat” – yaitu sebagai proses saling belajar sehingga mampu meningkatkan kemampuan atau daya saing dan daya adaptasi mereka masing-masing.



Dengan demikian, kasus ketidak-adilan Papua ini jika dilihat dari perspektif tersebut maka masalah minoritas di tanah asalnya sendiri sebenarnya bukanlah masalah, seperti yang gencar diserukan oleh banyak pihak – termasuk media bahwa “warga Papua menjadi minoritas di tanahnya sendiri”. Bagaimana jika warga Papua itu minoritas tapi dominan…tentu saja kehidupan orang Papua di Papua tidak ada masalah. tapi masalahnya adalah “merasa” diperlakukan tidak adil – atau dilanggar hak-haknya – tanpa bisa “melawan” (powerless)



Oleh karena itu pula, ekspresi kebudayaan seperti pengaktifan simbol “bintang kejora” adalah konflik simbolik yang digunakan sebagai perlawanan atau resistensi atas ketidak-adilan yang dialaminya bukan kekerasan atau tindakan “maker” terhadap NKRI. Bisa saja simbol tersebut menjadi atau dijadikan bagian dari salah satu elemen/simbol NKRI jika pemerintah/negara mampu mengembangkan interpretasi-interpretasi (pemaknaan) baru atas simbol tersebut atau menempatkan simbol tersebut dalam kerangka simbol-simbol yang lebih luas dan umum sehingga “bintang kejora” tidak lagi menjadi sebuah “simbol perlawanan” tetapi simbol dinamika masyarakat atau komunitas-komunitas lokal di Papua yang dapat disalurkan menuju pada kegiatan dan upaya peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik. Namun sebaliknya, jika pemerintah atau negara tidak segera menyelesaikan masalah “ketidak-adilan” yang dirasakan dan dialami oleh warga Papua saat ini maka dengan berjalannya waktu bukannya tidak mungkin warga Papua akan merasa “tidak ada manfaatnya” menjadi “orang Indonesia” – dengan kata lain keinginan untuk “memisahkan diri” dari Indonesia semakin “masuk akal” bagi mereka.



Ketidak-Adilan Yang Dirasakan Dan Dialami Oleh Warga Papua



Masalah yang dirasakan oleh Warga Papua selama ini:



* Ketidak adilan atas hak yang berkaitan dengan “tanah” mereka – seperti terlanggarnya batas-batas adat, hak atas tanah, tata guna lahan, aturan-aturan adat dan lain-lain (akses ke tanah dan penghormatan terhadap hak-hak adat atas tanah). Mereka merasakan ketidak-adilan ini karena tanah di mana mereka tinggal dan hidup yang sudah mereka tempati dan kelola bergenerasi-generasi jauh sebelum berdirinya NKRI. Mengapa setelah berdirinya NKRI, lebih tepatnya setelah warga Papua menjadi bagian dari NKRI justru “hak dan harta-bendanya” direbut/dilanggar.



* Merasa tertipu oleh masyarakat non Papua baik atas nama negara atau non-negara – seperti perusahaan, warga Indonesia non-Papua/pendatang juga warga negara asing – melalui kesepakatan-kesepakatan yang tidak dipahaminya.



* Otonomi khusus juga dirasakan tidak menyelesaikan masalah atau menjamin tidak terlanggarnya hak-hak mereka – baik karena otsus itu sendiri masih dirasakan belum mampu mengakomodasi kepentingan dan “hak-hak” mereka atau pun karena “penyimpangan” dalam implementasinya. Selain itu, juga masih terdapat ‘tumpang-tindaih” dengan UU atau Peraturan-peraturan lainnya.



* Hanya warga Papua tertentu (elite papua) yang bekerjasama dengan pemerintah atau negara atau asing yang diuntungkan, dan seringkali pula mereka (oknum warga Papua tersebut) justru ikut andil dalam perlakuan ketidak-adilan tersebut.



Semua ketidak-adilan yang dirasakan ini sudah mengganggu proses kehidupan dan keberadaan (eksistensi) diri mereka sehingga timbul keinginan untuk “melawan” atau bertahan, bahkan sebagian warga Papua ingin memisahkan diri dari NKRI – yang ditandai dengan gerakan separatisme OPM – yang bermula dari masalah “kebutuhan pokok” yang terganggu/terancam sehingga OPM dipelesetkan dengan kepanjangan dari Operasi Perut Merdeka.



Hal ini harus dipahami oleh negara atau pemerintah sebab sudah terbukti bahwa paradigma pembangunan yang Top-Down, yang telah diterapkan selama Orde Baru (orba) terbukti gagal. Pemerintah atau negara harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan lokal atau berbasis pada kearifan lokal atau kebudayaan masyarakat lokal. Dengan kata lain, pembangunan masyarakat Papua harus berdasarkan kebudayaan Papua, yang terbagi ke dalam tujuh (7) wilayah adat – yang berbeda satu sama lain. Hal ini juga berarti bahwa pembangunan masyarakat Papua harus memfokuskan diri pada pembangunan “manusia”nya – yaitu “manusia papua”.





MINDSET: “Harta Tak Bertuan” Di Bumi Papua



Bumi yang sangat kaya seharusnya membuat warganya hidup sejahtera, namun dalam kenyataannya justru membuat mereka hidup “menderita” karena selalu terlanggar hak-hak dasar untuk melangsungkan kehidupannya. Kondisi inilah yang dialami oleh warga Papua kebanyakan. Kondisi ini dialami oleh warga Papua karena:

* Posisi tawar atau “daya saing” warga Papua “lemah” (powerless) dibandingkan dengan golongan sosial lainnya yang ada di bumi Papua
* Dengan “lemah”nya daya saing tersebut maka kekayaan bumi Papua dianggap sebagai “harta tak bertuan”. Lemahnya daya saing tersebut juga tercermin dalam “mindset” warga Indonesia lainnya. Dalam konteks nasional:
o warga Papua selalu dianggap sebagai “saudara termuda”. Jelas hal ini bukanlah “termuda” dalam arti paling akhir bergabung menjadi bagian dari NKRI (bisa mengacu padaTimor Timur – sebelum menjadi Timor Leste).
o Dalam konteks nasional, warga Papua selalu ditampilkan dengan “telanjang” (eksotik – masyarakat bersahaja)

pada akhirnya hal ini melegitimated “ketakberdayaan” warga Papua – yang berarti juga mereka boleh dianggap “tidak ada” (dalam konteks “penguasaan” sumberdaya yang ada). Oleh karena itu pula, isu slow motion genocide sempat muncul ke permukaan.



Akibatnya, Kekayaan bumi Papua membuat semua pihak melihat bumi Papua sebagai “harta tak bertuan” (harta karun), di mana semua orang berhak untuk mendapatkannya. Akibatnya, warga Papua sebagai masyarakat yang sudah bergenerasi-generasi hidup dan tinggal di sana “terlupakan” (seolah-olah tidak terlihat atau dianggap tidak ada). Dalam hal ini, mind set semua pihak perlu dirubah, termasuk mind set pemerintah/negara dalam merumuskan paradigma pembangunan Papua dan para pelaksananya.



Kekayaan bumi Papua membuat semua pihak (stakeholders), tak terkecuali negara/pemerintah NKRI – juga para elite Papua sendiri lupa bahwa di sana ada warga Papua yang kehidupannya jauh dari kehidupan yang layak – yang harus terus berjuang hanya demi bertahan hidup.



Para stakeholders memandang Papua masih sebagai sebuah “permainan”. “Membangun manusia Papua” belum menjadi “kerangka pikir” (mindset) para stakeholders. Sejak tahun 1998 papua minta merdeka hingga sekarang , sebagian warga Papua menganggap tidak ada keseriusan dari pemerintah pusat karena tidak adanya “tindakan” dari pemerintah pusat terhadap pelanggaran/penyimpangan yang terjadi. Otonomi yang ada hanya memperkaya elit birokrat (baik dari pemerintah pusat maupun local), UU tidak konsisten – ada duplikasi aturan (tumpang tindih dengan UU/Peraturan yang lain. Singkatnya, kerjasama (kongsi atau kolusi) yang sedemikian rupa tersebut di atas mengakibatkan lahirnya kesan “pembiaran” dengan sengaja terhadap semua pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi.



Pada akhirnya, perkembangan terbaru di Papua, lembaga masyarakat adat Papua juga menjadi jaringan bisnis orang-jaringan pihak-pihak di luar papua. Konteks pemberdayaan adat tidak dilakukan. Lembaga masyarakat adat lalu diubah menjadi dewan adat papua, yang terdiri dari seluruh kepala suku di Papua. Mereka bersatu membentuk presiden dewan adat Papua, dan isunya akan dikembalikan menjadi lembaga masyarakat papua, yang dikhawatiran oleh beberapa pihak (warga Papua) akan terjadi gesekan di Papua (dicurigai untuk memecah belah masyarakat Papua).



Singkatnya, berbagai pihak (stakeholders) tersebut hanya concern terhadap masalah Papua dalam konteks eksploitasi kekayaan bumi Papua. Oleh karena itu, yang terjadi di sana adalah “kerjasama dan persaingan” dalam rangka perebutan/penguasaan “harta tak bertuan” bumi Papua. Mindset seperti ini semakin diperkuat dengan kondisi warga Papua yang pada umumnya masih “powerless” (daya adaptasi dan daya saing) dibandingkan dengan pihak-pihak lainnya yang hidup bersama di bumi Papua. Dengan kata lain, ketidakberdayaan (powerless) warga Papua tanpa disadari melegitimasi mindset dalam memandang Papua sebagai “harta tak bertuan” dan “tak terlihatnya warga Papua sebagai “manusia” sehingga program-program pembangunan tidak berpihak atau tidak berfokus pada pembangunan “warga” – manusianya – Papua. Oleh karena itu dinamika kehidupan sosial di bumi Papua sangat kental diwarnai oleh:

* Perebutan “harta karun”
* Kerjasama berbagai pihak dalam rangka perebutan atau penguasaan “harta karun”
* Lemahnya “daya saing” warga Papua menyebabkan semakin kuatnya “mindset” eksploitasi harta karun tersebut. Akibatnya, banyak terjadi pelanggaran hak-hak dasar warga Papua yang “lemah” tersebut. Sementara itu, para elite Papua sendiri pada akhirnya ikut serta dalam eksploitasi harta karun tersebut (melupakan warganya). Hal ini juga dikarenakan Orang papua sendiri juga tidak merasa sebagai satu budaya (belum terintegrasi secara budaya – masih terkotak-kotak) sehingga para elit papua pun memanfaatkan kondisi ini yang pada akhirnya tampak tidak memikirkan warganya.
* Budaya “bigman”, dimanfaatkan (dimanipulasi) oleh berbagai pihak untuk pengamanan (untuk sekedar meredam gejolak sosial) dalam rangka eksploitasi harta karun tersebut. Mereka cukup hanya melakukan tindakan “charity” yang tidak membutuhkan dana besar (dibandingkan dengan harta karun yang dieksploitasinya)
* Budaya birokrasi Indonesia, cenderung dimanipulasi dalam rangka eksploitasi harta karun bumi Papua – selain karena budaya birokrasi memang masih belum baik



Dengan demikian, NKRI sebagai negara-bangsa tidak mampu menjalankan atau melupakan kewajiban-kewajibannya untuk melindungi segenap warganya dari perlakuan tidak adil. Negara tidak bisa mencegah terlanggarnya hak-hak warga Papua (sebagai pihak yang lemah) dalam kehidupan bersama – kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



Hal ini juga menandakan bahwa “nation” masih merupakan persoalan bagi NKRI. Artinya, kepentingan bangsa belum menjadi rasionalitas dalam menjalankan pemerintahannya. Dengan kata lain, negara belum menjadikan “kepentingan bangsa” sebagai rasionalitas utama (di atas semua kepentingan) dalam mengelola negara. Konsekuensinya, birokrasi negara juga “bermasalah” dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya (birokrasi Indonesia masih rawan “penyimpangan”). Hal ini, tanpa disadari telah mengakibatkan “kontra-produktif” dalam nation building pada warga Papua – mereka semakin tidak merasa menjadi “bagian” dari NKRI. Akibatnya integrasi sosial-budaya warga Papua sebagai bagian dari Bangsa Indonesia menjadi semakin sulit terwujud.



Berdasarkan kenyataan ini, NKRI sebagai negara-bangsa harus segera:

1. Jangka panjang.

* Merubah “kerangka pikir” (mindset) dalam mengelola kepentingan bangsa. Nation building harus dievaluasi dan dirumuskan “ulang” dengan cermat agar “kepentingan bangsa” menjadi rasionalitas utama atau “kerangka pikir” dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dan dalam menjalankan negara/pemerintahannya – termasuk para elite Papua (Elit Papua membelokkan “kepentingan Papua” – mis. alokasi anggaran 60% untuk aparatur dan 40% untuk publik/warga – yang seharusnya terbalik, atau bahkan bisa 80% anggaran dialokasikan untuk kepentingan publik; agar pula dalam melihat otsus bukan hanya sekedar masalah “anggaran” semata, yang akibatnya tidak membawa hasil pada perubahan kualitas warga Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia).



1. Jangka pendek.

Untuk mendukung nation building tersebut maka pemerintah/negara harus segera mengatasi “ketidakadilan” yang dialami warga Papua (keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan) karena warga Papua sudah sampai pada taraf “kehilangan kepercayaan”. Hal ini, jika tidak segera dilakukan maka akan sulit mewujudkan rasa kebangsaan warga Papua (merasa sebagai orang Papua, tetapi juga merasa sebagai bangsa Indonesia). Negara/Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

* Pemahaman kebudayaan Papua sebagai dasar dari pembangunan warga Papua.
o Tujuh wilayah adat. Hal ini penting sebab tidak semua warga Papua bisa diterima di wilayah adat yang berbeda asalnya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan keberhasilan program-program pembangunan di sana.
o Hukum adat yang berlaku. Misalnya masalah hukum “ganti rugi”. Ketika terjadi secara sengaja atau pun tidak sengaja seseorang melukai atau menyebabkan terbuhnya warga Papua maka sanksi yang berlaku adalah “ganti rugi”. Jika terluka maka ganti ruginya adalah dengan membayar beberapa ekor babi. Jika terbunuh, mis seorang anak kecil maka si pelaku harus menggantinya dengan anak kecil juga untuk diserahkan kepada orang tua atau keluarga korban. Jadi, “nyawa tukar nyawa” tidak berarti bahwa anak si pelaku harus dibunuh, tetapi si anak pelaku akan diserahkan sebagai pengganti dari anak dari orangtua korban. Kasus-kasus seperti ini masih sangat dipatuhi dan tidak akan meluas menjadi konflik sosial. Hal-hal semacam ini tidak bisa diselesaikan dengan hukum pisitif dari negara, misalnya dengan penjara kurungan (penjara). Nanti setelah keluar atau bebas, si pelaku tetap dituntut oleh orang tua/keluarga korban untuk membayar ganti rugi.
o Hak-hak dasar warga Papua menurut wilayah adat masing-masing – yang bila terlanggar maka eksistensi warga Papua terganggu. Misalnya pohon sagu di mana masih merupakan kebutuhan pangan yang pokok dan sebagainya. Hal ini perlu diidentifikasi agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka.
o Pemberdayaan warga Papua

Mengatasi ketimpangan “power” (daya saing) warga Papua yang relatif lemah dibanding warga lainnya yang hidup bersama di bumi Papua. Hal ini menyebabkan terlanggarnya hak-hak dasar (termarjinalkannya) warga Papua. Permberdayaan warga Papua harus segera dilakukan – bukan sekedar meningkatkan “kapasitas”, tetapi meningkatkan “bargaining position” mereka.

* Sebagai contoh, banyak program pemberdayaan kepada warga Papua hanya untuk “peningkatan kapasitas”, tetapi tidak memperhatikan “market” sehingga mereka tetap “powerless”.
* Juga pentingnya program “magang” bagi para warga Papua setelah menyelesaikan pendidikannya di kantor-kantor pemerintahan di pulau Jawa mis.nya; atau dilakukan program “pertukaran” pelajar/mahasiswa juga pengajar (guru dan dosen) – selain untuk tujuan pemberdayaan (pembelajaran) tetapi juga untuk pendidikan “multikulturt” dalam rangka “nation building”.
* Oleh karena itu, sebaiknya program-program pembangunan tidak boleh menggunakan kerangka pikir/model “charity”. Misalnya, masalah dana otsus harus diserahkan ke orang Papua, sebaiknya tidak dengan cara diberikan secara cuma-cuma akan tetapi dibuat dalam suatu program (program pemberdayaan). Kalau mereka kesulitan untuk membuat program, maka Uncen siap untuk membantu. Dalam hal ini, paling tidak harus ada link dengan dunia akademisi/universitas. Selama ini, link antara birokrasi dan akademisi masih terputus.
* Harus dilakukan pemetaan – lebih tepatnya evaluasi terhadap program-program pembangunan yang sudah dijalankan
o Keberhasilan
o Kegagalan
o Hambatan
o Siapa saja yang masih belum “terkena” program-program pembangunan yang sudah berjalan tersebut
o Selama program pemberdayaan sedang berjalan, negara/pemerintah harus memberikan “jaminan perlindungan” agar tidak terjadi “dominasi” oleh pihak-pihak lain sebelum diri mereka benar-benar siap bersaing (powerful), al:
+ UU perlindungan terhadap hak-hak dasar warga Papua
+ UU Otonomi khusus harus dievaluasi, baik dari segi isi UU (apakah sudah menjamin atau melindungi kepentingan dasar warga Papua; apakah masih ada “tumpang tindih” dengan UU atau peraturan-peraturan lainnya) mau pun dalam implementasinya atau pelaksanaannya.
# Dievaluasi isi atau substansinya
# Dievaluasi apakah masih ada “ketumpang tindihan” dengan UU atau Peraturan lainnya. Seharusnya dengan adanya otsus maka UU atau peraturan-peraturan lainnya menjadi tidak berlaku lagi sehingga ada “pegangan hukum” yang pasti.
# Dievaluasi implementasi atau pelaksanaannya
# Anggaran harus dipisahkan dari anggaran lainnya agar mudah dikontrol
# Alokasi anggaran otsus seharusnya lebih difokuskan kepada pembelanjaan kepentingan publik (termasuk untuk penciptaan lapangan pekerjaan bagi kaum terdidik muda, para lulusan SMA, PT maupun yang putus sekolah)
# Dalam implementasinya, sistem control-monitoring-coordination (KMK) harus memadai – rewards dan sanction harus diberlakukan. Bila perlu, dibentuk “Tim independen” untuk melakukannya – mengingat budaya birokrasi masih bermasalah. Selain itu, system KMK yang memadai juga diharapkan bisa menghapus kesan tindakan “pembiaran dengan sengaja” dari mindset warga Papua.
# Identifikasi “sumberdaya” yang signifikan bagi semua pihak – yang diperebutkan karena dianggap berharga oleh banyak pihak; juga terhadap “sumberdaya” yang merupakan “kebutuhan dasar” warga Papua (jika sumberdaya tersebut tidak mampu dipenuhi oleh warga Papua maka eksistensi warga Papua terancam – sesuai dengan kebudayaan atau adat masing-masing sukubangsa lokal)
# Pengaturan ulang distribusi dan penguasaan sumberdaya:
* Sumberdaya – hak dasar warga Papua
* Sumberdaya (harta karun)
* Jabatan atau posisi strategis



* Dengan mempertimbangkan atau berdasarkan “keadilan subyektif” dari berbagai pihak yang hidup bersama di bumi Papua. Dengan catatan bahwa warga Papua yang relatif “lemah” harus tetap menjadi dasar dari kerangka pikir dalam pengaturan dan penguasaan sumberdaya tersebut – termasuk harus mempertimbangkan konfigurasi warga Papua menurut peta budayanya agar tidak terjadi “friksi/gesekan” internal warga Papua (252 dialek bahasa dan terbagi dalam 7 daerah adat).
o Dalam hal ini, Majelis Rakyat Papua (MRP) harus menjadi perhatian pemerintah sebab posisinya yang sangat strategis dan merupakan kunci pembangunan Papua sebab Otoritas utama MRP adalah:
+ Memberikan mandat pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRD. Kewenangan yang dimaksud hanya terbatas pada pertimbangan/konsultasi yang terkait dengan masalah “keaslian” bakal calon gubernur sebagai orang Papua dan “moral” dari pribadi yang bersangkutan.
+ Memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama dengan gubernur. Perdasus diadakan dalam rangka pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Otsus. Pasal-pasal yang dimaksud seperti Pasal 76 tentang “Pemekaran Provinsi menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi serta perkembangan di masa datang”. Dengan demikian pemekaran wilayah haruslah memperhitungkan faktor adat dan sosial budaya dari orang asli Papua. Hak-hak itu antara lain, hak ulayat, hak dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan potensi sosial budaya sehingga pemekaran tidak menyalahi kesatuan-kesatuan wilayah sosial-budaya dan adat, seperti yang kita temui dalam UU No 45 Tahun 1999 yang asal membedah Papua seperti membagi ‘kue tar”.
+ Memberi saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku di Tanah Papua khususnya yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Hak-hak itu adalah hak ulayat, hak persekutuan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, seperti hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, air serta isinya.
+ Menyalurkan aspirasi, memperhatikan pengaduan masyarakat adat, umat beragama, dan kaum perempuan dan memfasilitasi tindak-lanjut penyelesaiannya. Kewenangan ini dimaksudkan untuk menciptakan Papua yang damai sebagai perwujudan dari komitmen semua komponen masyarakat di provinsi ini.
+ Memberi pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota mengenai hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.
+ Otsus untuk siapa?. Pertanyaan ini muncul karena sebagian besar yang menikmati anggaran otsus bukan kebanyakan warga Papua yang lemah (hanya sebagian elite Papua dan non-Papua). Selain itu, otsus harus dilihat sebagai “perlindungan, pemberdayaan dan keberpihakan” bukan masalah anggaran semata.
+ Negara harus mampu menjadi wasit atau juri – sekaligus “hakim” yang “adil”. Artinya, negara harus mampu menjamin “kerjasama dan persaingan” dalam kehidupan sosial di papua mematuhi “aturan-aturan” atau UU (kesepakatan) yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini juga diperlukan adanya kesadaran para elit, baik dari warga Papua mau pun non-Papua yang bisa sebagai role model.



[1] Dari data yang ada mengenai berbagai hubungan antar sukubangsa di Indonesia, warga dan suku-sukubangsa yang berbeda itu tidak bermusuhan atau bertentangan ataupun tidak bersahabat satu sama lainnya karena perbedaan asal keturunan dan asal daerahnya.

[2] Seorang anak bukan hanya dilahirkan dalam keluarga sukubangsa tetapi juga sejak bayi dibesarkan menjadi manusia dan mahkluk sosial serta berbudaya oleh keluarga atau orang tuanya yang dilakukannya dengan mengacu pada kebudayaan sukubangsanya. Karena itu kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa yang dipunyai oleh seseorang adalah suatu yang utama dan yang pertama atau yang primordial dalam kehidupannya. Karena itu sentimen kesukubangsaan dengan mudah digalang untuk solidaritas guna memenangkan sesuatu persaingan atau konflik.

Demokrasi Versi Partai Politik

Posted on Agustus 3, 2011 by pajs indonesia

oleh: Ruddy Agusyanto

Kekuasaan Presiden sedemikian besar di era Orde Baru, dan sebaliknya DPR/MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat sangat lemah. Hal ini dianggap sebagai biang keladi dari rusaknya pemerintahan/negara Indonesia, yang menghambat terwujudnya good governance, demokrasi dan penegakkan HAM, yang akhirnya mengakibatkan penderitaan rakyat. Oleh karena itu, cita-cita Reformasi adalah mengembalikan kekuasaan kepada kedaulatan rakyat

Berangkat dari cita-cita Reformasi, UUD 1945 sebagai acuan dasar dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai dengan harapan rakyat. Reformasi konstitusionalpun (constitutional reform) dilakukan agar terwujud negara/pemerintahan yang good governance, demokratis dan tegaknya HAM.

Selama perjalanan reformasi, telah dilakukan empat kali amandemen UUD 1945. Sejak amandemen ke empat tahun 2002 telah terjadi perubahan mendasar pada UUD 1945 (mengubah prinsip dasar), yang semula penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh MPR sekarang dilaksanakan menurut UUD 1945 sehingga semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenang masing-masing (pembagian kekuasaan) serta saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances) sehingga terwujud negara hukum yang demokratis.

Berdasarkan perubahan mendasar ini maka UUD 1945 yang kita kenal selama ini, sejak tahun 2002 meskipun namanya tetap UUD 1945, tapi dari segi isinya UUD 1945 dapat dikatakan sebagai konstitusi baru dengan nama resmi UUD 1945. Perubahan mendasar ini mempengaruhi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang kita rasakan saat ini, mendorong munculnya pertanyaan reflektif, yaitu “apakah kondisi saat ini sudah menjawab cita-cita reformasi?”, “Apakah DPR dan DPD (MPR) sudah merepresentasikan Kedaulatan Rakyat?”

Ternyata, cita-cita reformasi tak kunjung terwujud padahal reformasi telah berjalan lebih satu dasawarsa. Bahkan, akhir-akhir ini berkembang pendapat di berbagai kalangan (terutama rakyat) bahwa era orba ternyata jauh lebih baik ketimbang era reformasi sekarang. Dulu tidak banyak “kerusuhan/konflik sosial”, harga kebutuhan hidup relatif stabil, jarang terjadi PHK dan seterusnya. Apa yang salah dari perjalanan reformasi? Mengapa di era reformasi ini rakyat justru lebih menderita? Padahal cita-cita reformasi adalah mengembalikan kekuasaan pada kedaulatan rakyat. Tanpa kita sadari telah terjadi “penyimpangan” dalam menterjemahkan “demokrasi” dan “kedaulatan rakyat”.


Kedaulatan Rakyat menjadi Kedaulatan Partai Politik

Semenjak era reformasi, amandemen UU Pemilu dan Parpol telah merubah Kedaulatan Rakyat menjadi Kedaulatan Partai Politik (parpol). Pasal 6 A ayat 2 dan pasal 22 E ayat 3 Batang Tubuh UUD 1945 dinyatakan bahwa untuk menjadi Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembuat peraturan dan pengawasan harus berasal dari Partai Politik. Demokrasi di Indonesia tidak dikenal adanya tirani minoritas maupun diktator mayoritas seperti ini. Demokrasi melalui pemilu memang sudah seharusnya tapi bukan berarti “calon pengurus negara” harus (dan satu-satunya) melalui parpol. Mengapa pengurus/pengelola negara menjadi hak monopoli parpol? Bukan hanya sampai di sini, para menteri dan jabatan/posisi eksekutif penting lainnya pun seolah-olah adalah hak tunggal parpol. Telah terjadi monopoli “hak politik” warga negara sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara hanya menjadi hak parpol. Padahal komponen bangsa tidak hanya parpol. Sebagai contoh, “calon independen” sebagai bagian dari perwujudan “kedaulatan rakyat” seharusnya mendapat peluang yang sama dengan parpol sehingga seharusnya tak perlu menunggu keputusan Makamah Konstitusi untuk menyetujuinya. DPD sebagai perwakilan daerah pun pada akhirnya seperti “macan ompong” karena tak punya wewenang dalam pengambilan keputusan sehingga tidak mungkin memperjuangkan kepentingan daerah yang diwakilinya. Bahkan dalam perkembangannya, anggota DPD pun diisi oleh orang-orang dari parpol.

Kenyataan yang lain, parpol adalah institusi non-profit oriented sehingga tidak mampu menghidupi dirinya sendiri dan cenderung tidak mempunyai aset materi. Dengan jangka waktu berkuasa yang relatif singkat (5 tahun), parpol pun cenderung “mengejar setoran” dari para anggotanya yang menjadi pengurus negara demi kelangsungan hidup parpolnya. Oleh karena itu pula parpol akan terus memanfaatkan pengaruhnya untuk mendorong agar para anggotanya menduduki posisi-posisi strategis di legislatif, eksekutif dan bila perlu juga di yudikatif.

Konsekuensinya, persaingan antar parpol pun semakin meruncing, saling menjatuhkan setiap ada kesempatan. Semangat Check and balance antar lembaga tinggi negara juga berubah menjadi saling menjatuhkan. Singkatnya, amandemen ini membuat parpol hanya concern dalam perebutan dan mempertahankan kekuasaan politik – tidak lebih. Akibat, pemecahan masalah-masalah berbangsa dan bernegara hampir selalu diselesaikan secara politis. Oleh karena itu, semua masalah yang ada tidak pernah terselesaikan karena memang tidak pernah disentuh apalagi diselesaikan. Penyelesaian secara politik tidak identik dengan pemecahan masalah. Ini hanya kompromi politik, atau lebih tepatnya adalah kompromi antar parpol.

Sistem Otonomi Daerah dan Otoritas Negara

Negara sebagai sebuah organisasi, konfigurasi saling keterhubungan (baik hubungan horizontal mau pun vertikal) antar unit-unit sosial dan para pelakunya (anggota) adalah artifisial, yang distrukturkan oleh power. Oleh karenanya negara harus mempunyai pusat-pusat power, yang secara terus-menerus mengkaji-ulang kinerja (performance) unit-unit sosialnya dan mempolakan kembali strukturnya demi tercapainya tujuan negara. Dalam hal ini, negara tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para anggotanya untuk memenuhi kewajibannya secara sukarela. Negara memerlukan otoritas untuk menjalankan sistem kontrol-monitoring-koordinasi (KMK) yang memadai.

Dengan amandemen UUD 1945 pasal 18 tentang Pemerintah Daerah – Otonomi Daerah, negara telah kehilangan otoritas yang ditandai dengan kehilangan sistem kontrol-monitoring-koordinasi (KMK) terhadap unit-unit sosialnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Negara telah kehilangan hubungan power dengan pemerintah daerah, yang telah dibatasi atau diatur oleh UU otda. Presiden, Gubernur dan Walikota atau Bupati, tidak ada hubungan power – tidak ada hubungan KMK – satu sama lain. Negara menjadi powerless dengan adanya amandemen tentang pengelola negara harus dari parpol dan otda. Negara sebagai sebuah organisasi, secara total telah kehilangan otoritas untuk menjalankan sistem KMK.

Sementara itu, alat negara yang masih mempunyai sistem KMK relatif memadai – terutama secara vertikal – hanyalah bidang “pertahanan dan keamanan” yaitu: TNI dan Polri. Sayangnya TNI dan Polri juga belum sehat, dengan lemahnya sistem KMK negara dan “tirani parpol” membuat kedua institusi ini berpeluang untuk menyimpang dan cenderung lebih loyal kepada parpol yang berpengaruh. Akibatnya, kedua institusi ini (sebagai unit-unit negara) menjadi kontra produktif terhadap tujuan negara.



Evaluasi Amandemen UUD 1945

Melihat kenyataan ini, parpollah sebenarnya yang lebih layak disebut “negara” dengan “negara-negara” kecilnya di daerah. Dengan demikian, kecil kemungkinannya terjadi stabilitas politik di negeri ini kalau kedaulatan rakyat diterjemahkan sebagai kedaulatan parpol dan demokrasi diterjemahkan sebagai otonomi daerah (seperti pemahaman otda saat ini). Sistem otda bisa diterapkan jika negara mempunyai sistem KMK yang kuat. Jadi, siapapun pemimpinnya jika sistem politik negeri ini masih tirani parpol yang meniadakan sistem KMK negara maka tidak akan terjadi stabilitas politik, apalagi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, tidaklah berlebihan bila UUD 45 yang telah di Amandemen perlu dikaji ulang atau dievaluasi.

Penulis dari Pusat Analisa Jaringan Sosial dan Institut Antropologi Indonesia