Rabu, 28 Januari 2009

PERBEDAAN BUKANLAH MASALAH (Ruddy A)

PERBEDAAN BUKANLAH MASALAH
Majalah OBYEKTIF Edisi Januari 2009


PERBEDAAN tidak menyebabkan manusia konflik dengan manusia lainnya. Jika kita melihat ada korban kecelakaan dijalan, kita tidak bertanya dulu pada korban – “anda sukubangsa apa?” – baru kita menolongnya. Atau saat akan berbelanja ke pasar, apakah kita bertanya kepada penjual dengan pertanyaan serupa – “Ibu atau Bapak dari sukubangsa apa? Agamanya apa? - baru kita memutuskan untuk membeli barang yang kita perlukan atau tidak? Justru sebaliknya, kita bekerja pada perusahaan atau institusi yang sama meski dengan latar belakang yang berbeda satu sama lain, dan tidak terjadi konflik. Kita bisa berteman dan saling bekerja sama.

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, di manapun dia hidup dan tinggal, kerjasama merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Jelas bahwa manusia membutuhkan manusia lainnya. Tidak hanya untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dasar. Untuk tujuan-tujuan tertentu yang ingin mereka capai, juga diperlukan tindakan bersama atau kerjasama sebab kalau dilakukan sendiri, secara ekonomi akan merugikan - dengan kerjasama akan lebih menguntungkan, misalnya pembentukan asosiasi-asosiasi dalam rangka menghadapi monopoli. Atau, kerjasama untuk melawan pesaing dalam perebutan sumberdaya, rejeki, kehormatan atau sesuatu yang ‘langka’ dan dihargai.

Sementara itu, di sisi lain, meski manusia memang saling mendukung tetapi juga saling bertentangan satu sama lainnya. Saling tergantung satu sama lain, tapi juga saling manipulasi untuk mencapai tujuannya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan pada dasarnya manusia itu juga tidak selalu patuh.

Bila, salah satu dari kebutuhan tersebut merupakan sesuatu yang “langka”/terbatas sehingga tidak mampu mengcover semua kebutuhan semua manusia yang memerlukan, maka persaingan pun akan terjadi. Persaingan/kompetisi merupakan proses perjuangan untuk memperoleh sesuatu yang berharga dan terbatas jumlahnya. Persaingan hanya dapat dilakukan oleh para pesaing yang seimbang derajat kekuatannya. Sebagai contoh, dalam olah raga tinju dibagi ke dalam kelas-kelas. Kalau tidak seimbang, yang terjadi adalah dominasi. Oleh karena itu, Dalam persaingan pun diperlukan peraturan / aturan yang disetujui bersama dan harus ditaati oleh mereka yang bersaing. Aturan-aturan tersebut harus mencakup ketentuan bahwa setiap persaingan, tujuan utamanya adalah memenangkan persaingan sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, juga diperlukan adanya wasit / juri – agar proses persaingan berjalan sesuai aturan-aturan yang berlaku. Disinilah pentingnya peran wasit dan juri (harus dipercaya oleh semua pihak).

Dalam persaingan seringkali terjadi salah satu pihak atau masing-masing pihak saling mengaktifkan “identitas kolektif” untuk mendapatkan dukungan “kolektif” agar mampu memenangkan persaingan. Hal ini adalah suatu yang wajar, seperti contoh terbentuknya asosiasi-asosiasi - memanipulasi atau mengaktifkan “perbedaan” yang melekat pada dirinya dan pesaingnya guna mendapatkan dukungan kolektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Proses kerjasama dan persaingan ini dapat berubah dan berwujud sebagai masalah sosial jika ada salah satu peserta persaingan merasa dirugikan (kepentingan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta moral yang berlaku dalam masyarakat) sehingga terjadilah konflik. Menurut Dahren dorf, konflik adalah tindakan permusuhan antara dua pihak, yang terwujud sebagai tindakan-tindakan saling menghancurkan untuk memenangkan sesuatu. Dalam prosesnya seringkali pihak-pihak yang konflik lupa akan tujuan utama yang hendak dicapainya karena saat berada dalam proses konflik, yang terjadi adalah saling menghancurkan (emosional) dan bukan lagi untuk memperebutkan sumberdaya atau kehormatan yang diinginkan.


KONFLIK SOSIAL
Konflik antara dua individu yang berbeda sukubangsa atau keyakinan bisa menjadi konflik regional atau nasional - atau berhenti hanya pada mereka berdua saja. Konflik perorangan berbeda dengan konflik sosial. Konflik sosial adalah konflik golongan sosial (antar golongan sosial) – bisa mewakili sukubangsa, agama, ideologi (“kolektif”) yang sedang terlibat konflik. Oleh karena itu, identitas yang muncul dalam konflik sosial adalah identitas kolektif. Jika konflik perseorangan berubah menjadi konflik sosial, maka identitas/jati diri individual pun berubah menjadi golongan sosial (identitas kolektif). Sebagai contoh, kasus konflik sosial yang saling menghancurkan antara Israel – Palestina misalnya, sumber konfliknya adalah perebutan sumber air Sungai Yordan (konflik ini tidak akan berhenti sebab sumber air tersebut adalah sumber air satu-satunya untuk kedua negara tersebut), yang sampai ke Indonesia berubah menjadi isu konflik “agama”.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, konflik sosial ini harus dicegah sebisa mungkin karena akibatnya adalah “penghancuran” salah satu atau masing-masing pesaing secara “kolektif” – bisa menjadi konflik regional bahkan nasional. Jadi, konflik perseorangan pun harus dicermati agar tidak menjadi konflik sosial. Untuk itu, kita (masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama), terutama para penegak hukum yang menjadi “wasit” atau “juri” harus sensitif terhadap potensi konflik sosial ini.

Mengingat Indonesia terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya, sukubangsa dan agama, dan perkembangan belakangan ini banyak terjadi konflik sosial di berbagai daerah Pilkada serta munculnya gerakan sosial untuk memisahkan diri dari Indonesia, bisa dikatakan bahwa Integrasi Indonesia “rapuh” atau “rawan konflik”. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia menuju multikultur yang demokratis “yang sesungguhnya” (berbeda dalam kesetaraan), saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada sebab perbedaan itu sendiri bukanlah sumber konflik atau yang membuat kita saling bermusuhan atau saling menghancurkan satu sama lain.

Kerjasama dan persaingan adalah wajar dalam kehidupan. Bekerjasama, membentuk asosiasi-asosiasi atau berkoalisi sangat diharapkan jika tujuannya untuk kepentingan bersama (bangsa dan negara) atau selama tidak merugikan pihak lain. Rupanya, “kerjasama” atau “persatuan” ini masih merupakan masalah bagi bangsa Indonesia – dari deklarasi proklamasi kemerdekaan hingga sekarang. Oleh karena itu, “bersatu” ini seolah-olah masih menjadi sebuah “cita-cita” bagi banyak pihak sehingga setelah “persatuan” sudah tercapai, mereka menggunakannya untuk memperebutkan dan melanggengkan kekuasaan atau korupsi seperti yang marak saat ini terjadi sebab mereka tidak/belum merumuskan cita-cita bersama yang lebih besar (cita-cita Bangsa) – hanya untuk tujuan memenangkan persaingan (bahkan tidak jarang untuk tujuan saling menghancurkan). “Kerjasama” atau “bersatu” hanyalah sebuah sarana untuk mencapai apa yang dicita-citakan, bukan sebagai cita-cita.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK