Minggu, 30 November 2008

Preman adalah Profesi

PREMAN ADALAH PROFESI
(Ruddy Agusyanto)
Gatra, 25 Maret 1995

Pejabat bicara soal preman. Wartawan dan masyarakat juga ngomong soal preman. Semuanya mengulas soal preman. Lalu, apa dan siapa preman itu sebenarnya? Dilihat dari cara kerja dan kegiatannya, maka preman pada hakikatnya bisa dipandang sebagai salah satu profesi yang ada di masyarakat. Berdasarkan pijakan ini, maka bisa dibedakan siapa yang bisa dikategorikan preman dan bukan preman.

Preman sebagai profesi membuat seseorang atau sekumpulan orang yang menekuni profesi itu dalam bekerja akan berhati-hati dan penuh perhitungan serta sebisa mungkin menghindari kekerasan atas orang lain, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa. Mereka memikirkan kelanggengan sumber nafkahnya, sehingga tak berbuat sembarangan yang mengundang perhatian orang luar apalagi melanggar hukum secara terang-terangan. Mereka punya cara tersendiri yang, meski ada di luar jalur hukum atau norma umum, sangat sulit dibuktikan secara hukum. Makin profesional seorang preman, kelanggengan sumber nafkahnya makin terpelihara. Kalau tak profesional, klien pun akan menjauh.

Profesi ini akan tetap ada bila berfungsi memenuhi kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Selama kebutuhan akan jasa/keahlian dari sebuah profesi itu ada, maka profesi tersebut akan tetap eksis. Lalu, apa fungsinya preman, sehingga masyarakat membutuhkan mereka? Banyak, misalnya saja, ada orang yang mempunyai utang tapi tak berniat membayarnya. Si pemberi utang bisa berbuat apa? Di negara kita, hukum belum menjangkau atau mengatur masalah itu secara memuaskan. Dengan menggunakan keahlian preman, semua itu menjadi mungkin tanpa membahayakan jiwa si peminjam, dan si pemberi utang tak bisa disalahkan atau bebas dari tuntutan “hukum”. Pekerjaan semacam ini juga tak bisa ditangani oleh aparat keamanan formal, karena melanggar hukum yang ada.

Berpijak pada pandangan ini, maka orang – sekarang disebut preman – yang mabuk, lalu memeras, dan cenderung berlaku brutal secara terang-terangan di muka umum, belum bisa disebut preman. Dia tidak menganggap atau menjalani pekerjaan ini sebagai layaknya sebuah profesi. Orang-orang seperti inilah yang biasanya meresahkan masyarakat umum.

Preman adalah orang yang tak mau terikat oleh norma dan aturan yang berlaku umum di masyarakat. Mereka yang punya prinsip hidup sama ini saling bertemu dan terbinalah hubungan sosial di antara mereka. Akhirnya terjadi pengelompokan sosial (social grouping). Social grouping yang terbentuk dengan sendirinya atau tanpa sengaja itu disebut jaringan preman. Dengan prinsip hidup seperti disebut di atas, maka pekerjaan formal juga tak menjanjikan mereka yang tergolong preman untuk bisa berubah menjadi bukan preman. Sebab, prinsip yang ada pada pekerjaan formal tetap membuatnya terikat oleh aturan yang berlaku umum – tak bebas, terikat oleh bos, dan sebagainya – karena pada dasarnya aturan yang berlaku bukan preman yang menentukan.

Di dalam jaringan preman biasanya muncul star, yang disebut orang luar sebagai bos atau patron. Star ini berbeda dengan pimpinan atau bos dalam pengertian umum. Hubungan antara star dan bukan star bukanlah hubungan atasan-bawahan, melainkan saling tumpang tindih antara hubungan dengan muatan power (mirip atasan-bawahan), muatan sentiment, dan muatan interes. Dan, yang paling mendasar, di dalam jaringan lahir pula aturan, norma, atau hukum (quasi law) tersendiri yang tanpa disadari memberikan batasan-batasan terhadap perwujudan tindakan mereka yang ada dalam jaringan.

Anak jalanan nantinya bisa menjadipreman bila dia sudah memilih pekerjaan tersebut sebagai profesi. Begitu dia memilih jalur tersebut, maka mau tak mau akan bertemu dengan jaringan preman (profesional). Di sinilah terjadi transfer pengetahuan (keahlian) yang disebut sosialisasi. Diajarkan cara bekerja dan aturan atau hukum yang berlaku di antara mereka untuk bisa diterima menjadi anggota jaringan. Bila tak bersedia, dia akan tersingkir dari jaringan preman, bahkan bisa terbunuh. Jarang ada jaringan preman berhasil dikudeta oleh mereka yang baru memasuki dunia profesional. Kalau pun ada, itu termasuk salah satu keajaiban.

Dengan terbunuhnya seorang polisi baru-baru ini dan keresahan masyarakat sudah mencapai tingkat yang tak bisa ditolerir akibat ulah anak jalanan, aparat keamanan dan masyarakat marah. Operasi bersih pun dilaksanakan untuk membasmi anak jalanan. Setelah mereka diringkus, apa tindakan selanjutnya Yang jelas, tak mungkin mereka dibunuh, karena negara kita adalah negara Pancasila. Penjara bukanlah jawaban. Selain itu, operasi seperti ini membutuhkan bisaya dan waktu yang tak sedikit. Lalu, apakah melalui operasi ini, preman – yang sebenarnya anak jalanan – akan terbasmi sampai ke akar-akarnya untuk selamanya

Jelas, preman tak akan hilang, karena keahlian mereka tetap dibutuhkan oleh sebagian masyarakat yang tak bisa dipenuhi oleh siapa pun dalam struktur masyarakat yang berlaku umum. Dengan kata lain, sepanjang pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, yang menjadi lahan preman, selama itu pula preman tetap ada. Di negara maju pun preman ada. Dengan tetap eksisnya profesi preman, maka secara tak langsung anak jalanan pun akan tetap ada, karena ini merupakan salah satu tahapan atau jalan menuju jenjang preman. Mereka hilang dan tumbuh lagi silih berganti. Artinya, selalu ada regenerasi. Lalu, bagaimana dengan operasi bersih?

Senin, 20 Oktober 2008

GOLPUT, KEBERHASILAN SEKALIGUS KEGAGALAN

Golput, Keberhasilan Sekaligus Kegagalan
11 oKTOBER 2008


Oleh
Ruddy Agusyanto

Dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), memilih (mencoblos) dianggap sebagai hak; tapi juga menjadi kewajiban setiap warga negara Indonesia. Maka, khalayak yang berpegang teguh bahwa memilih adalah wajib, akan menganggap mereka yang tidak menggunakan hak pilih sebagai melakukan suatu bentuk pelanggaran. Apapun tarik-menariknya, yang jelas menjelang Pemilu 2009, sebagian besar orang, terutama para elite negeri ini merasa “was-was” melihat skor golongan putih (Golput), yakni mereka yang tidak memilih, prosentasenya cukup signifikan di serentetan Pilkada yang telah berlangsung. Dikhawatirkan pada Pemilu 2009 jumlah golongan ini semakin besar dan apabila mencapai 50% tambah 1, tentunya mengancam legitimasi hasil pemilu.
Banyak pihak, terutama politisi dan akademisi, melihat fenomena Golput sebagai perwujudan dari kegagalan pranata politik (partai-partai politik) dan pranata penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mensosialisasikan pengetahuan politik kepada warga masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran politik - agar warga berpartisipasi aktif – dalam bentuk menggunakan hak pilihnya pada penyelenggaraan Pemilu. Dengan kata lain, tingkat kesadaran politik masyarakat dinilai berbanding terbalik dengan jumlah golput. Semakin besar jumlah Golput maka semakin rendah tingkat kesadaran politik; dan sebaliknya. Sementara ini, sebagian besar masih berpendapat bahwa tingkat kesadaran politik warga masyarakat masih dinilai rendah.
Penilaian dan kekhawatiran akan gelagat Golput ini terjadi karena dibangun berdasarkan asumsi yang memandang manusia (warga masyarakat) adalah “pasif” atau sebagai “obyek” dan selalu patuh. Padahal, manusia itu pada dasarnya adalah “aktif”, mempunyai kemampuan reflektif, yaitu kemampuan berpikir dalam menghadapi realita sehingga dia bisa memantau dirinya, bisa memonitor apa yang dirinya atau orang lain lakukan; selain itu manusia orang-perorang tidaklah selalu patuh.
Jika kita berangkat dari asumsi ini maka Golput bisa dipandang sebagai hasil reaksi terhadap kehidupan pranata politik dan penyelenggara pemilu serta pranata-pranata negara dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka Golput dapat disimpulkan sebagai sebuah pilihan sadar, kecuali terjadi kecurangan (sengaja tidak didaftar sebagai pemilih) atau karena kelalaian/ketidaksiapan pranata penyelenggara pemilu (KPU).

Calon Independen
Yang terjadi di berbagai Pilkada adalah para pendukung calon kepala daerah yang tidak lolos verifikasi KPUD, sebagian besar lebih memilih Golput ketimbang mengalihkan dukungannya ke calon lain. Bagi mereka, calon pemimpin daerah yang mampu dan dipercaya adalah calon kepala daerah yang didukungnya.
Juga munculnya calon independen, umumnya merupakan reaksi dari kekecewaan masyarakat atas perilaku atau tindakan partai politik yang ada - yang tidak mewakili aspirasi mereka. Namun ini pula yang menjadi salah satu sebab mengapa calon perorangan perlu “dihambat”, antara lain dengan pengetatan syarat-syarat bagi mereka. Syarat dukungan minimal sebesar 3 sampai 5% dari total pemilih tentu sulit dilalui. Dari hasil pemilu 2004, hanya Golkar, PDIP, PKB, PPP, Demokrat, PKS dan PAN yang memperoleh suara di atas 3%. Partai politik besar biasanya sudah punya calon sendiri. Berharap dukungan koalisi partai partai kecil juga tidak mudah, karena masing-masing parpol punya syarat yang berbeda satu sama lain–baik syarat finansial maupun pembagian kekuasaan–yang belum tentu bisa dipenuhi oleh calon independen.
Dengan kata lain, calon pemimpin tetap “digiring” agar tetap melalui parpol. Seharusnya persyaratan bagi calon independen dipermudah dengan lebih memfokuskan pada kapabilitas dan kredibilitas sang calon. Jangan sampai calon independen gugur sebelum berperang. Tapi, diusung parpol besarpun bukan jaminan bagi calon untuk memenangkan pilkada. Berlakunya sistem pemilihan langsung membuat parpol besar tidak lagi jadi penentu kemenangan. Apalagi jumlah warga yang tidak menjadi anggota parpol jauh lebih besar daripada mereka yang anggota parpol. Belum lagi sekarang ini berbagai parpol dilanda konflik internal yang pasti memecah jumlah suara pendukung mereka. Kalau pun dukungan parpol pengusung seorang calon benar-benar solid sesuai jumlahnya anggotanya, itu pun masih lebih kecil dari jumlah massa mengambang. Maka menjadi suatu yang wajar kalau golput menjadi pemenang.

Keberhasilan
Berdasarkan kenyataan ini dan dengan asumsi bahwa manusia itu pada dasarnya “aktif” maka fenomena golput dalam berbagai Pilkada di tingkat kabupaten, kota dan provinsi, sebenarnya justru merupakan “keberhasilan” dari pranata politik di Indonesia dalam mensosialisasikan pengetahuan politik sehingga warga masyarakat mampu menilai situasi dan kondisi sistem/kehidupan politik yang tengah berlangsung saat ini. Warga di samping sebagai pemilih atau pendukung (potensial), juga adalah penilai.
Menjadi Golput adalah sebuah keputusan dari penilaian yang dianggapnya paling tepat. Mereka menimbang dan mematut-matut segala perbuatan partai politik serta para politisinya yang lebih mengutamakan kepentingan partai dan pribadinya masing-masing dan menyalahgunakan wewenang yang diembannya daripada mengutamakan kepentingan negara atau rakyat banyak.Golput adalah refleksi ketidakpuasan, aksi protes dan ketidakpercayaan warga masyarakat terhadap pranata politik dan elite politik atau para pemimpin bangsa saat ini, bukan karena ketidaktahuan atau karena kegagalan atau kurang berhasilnya sosialisasi.
Namun di sisi lain, Golput adalah sebuah “kegagalan” pranata politik dalam mensosialisasikan para anggota partai-partai politik agar berperilaku, bersikap dan bertindak untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian, golput adalah pekerjaan rumah bagi parpol sebagai pranata politik dan pranata negara/pemerintah untuk berbenah diri agar warga masyarakat mempunyai pilihan yang sesuai dengan penilaian warga masyarakat yang sudah mulai cerdas ini (ada yang bisa dipilih).
Untuk itu pula, partai politik dan politisi penyelenggara negara sudah seharusnya meninggalkan anggapan bahwa kesadaran politik masyarakat Indonesia masih rendah dan masih mudah dibodohi. Rakyat mampu mengevaluasi dan menilai diri sendiri dan yang orang lain lakukan. Saat ini, warga masyarakat sudah tidak mudah tergiur dengan janji-janji politik saat kampanye Pilkada. Juga nantinya saat pemilu dan Pilpres 2009.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.



Copyright © Sinar Harapan 2008

Senin, 22 September 2008

Korupsi ”Harus Berjemaah”

Korupsi ”Harus Berjemaah”
20 September 2008
Oleh
Ruddy Agusyanto

Saat ini sedang hangat-hangatnya pengungkapan kasus-kasus korupsi para pejabat, baik pejabat dari institusi eksekutif, legislatif maupun yudikatif mau pun dari lembaga lembaga non-departemen. Yang menarik adalah tindak pidana korupsi itu dilakukan secara ‘berjemaah’. Banyak pihak berpendapat bahwa para pemimpin bangsa Indonesia ini sudah mengalami ‘degradasi moral’, apalagi pendapat dari kalangan religius. Apakah memang demikian? Atau ‘sistem ‘kontrol-monitoring-koordinasi’ di organisasi lembaga dan jawatan negara memang tidak memadai?
Organisasi dibangun dari suatu keputusan yang disadari oleh individu atau sekumpulan individu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu melalui kerjasama dengan disiplin yang tinggi atas sumberdaya-sumberdaya manusia dan sumberdaya-sumberdaya material. Oleh karena itu, organisasi sekecil atau sesederhana apapun akan membutuhkan kontrol dan monitoring terhadap hubungan-hubungan antara tujuan dengan tata cara dan hasil yang akan dicapai. Setiap kontrol dan monitoring ini mengimplikasikan suatu proses disipliner yang disadari oleh masing-masing pimpinan atau pusat power organisasi dalam mengadaptasi struktur-struktur internal ke dalam persepsi anggotanya tentang kondisi eksternal mereka.
Dengan kata lain, yang namanya organisasi selalu melibatkan suatu kerjasama sejumlah sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik ke dalam suatu mekanisme kontrol, monitoring dan koordinasi (KMK) yang cermat dan rapih demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang dikehendaki. Tanpa adanya KMK - tujuan-tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai. Tidak hanya itu, fungsi kontrol, monitoring dan koordinasi, sumberdaya-sumberdaya manusia dan material juga bisa diperhitungkan dan direncanakan untuk menghadapi fluktuasi kondisi ekternal yang menghadang di perjalanan. Dengan demikian, sistem kontrol, monitoring dan koordinasi dapat dikatakan mempunyai peran yang krusial atau merupakan ‘jantung’ bagi sebuah organisasi dalam mencapai tujuan atau targetnya.

Pengelompokan Sosial dalam Organisasi
Sistem KMK tentunya telah dirancang sedemikian rupa oleh organisasi di lembaga lembaga tinggi negara seperti DPR, Mahkamah Agung, departemen dan badan badan non-departemen, sampai ke pemerintahan daerah. Pada masing-masing unit dan sub-unit di dalamnya terjalin kerjasama dan saling monitoring sebagai kontrol terhadap kinerja dan pencapaian target. Bahkan diciptakan pula KMK interdepartemental, yakni antar organisasi/institusi di lingkungan legislatif, eksekutif, yudikatif. Itu bisa dalam bentuk komisi atau panitia tetap, MOU, SKB, badan koordinasi. Sehingga tindakan penyimpangan apapun sulit untuk ‘lolos’ dari cakupan sistem KMK yang ada.
Namun, manusia dalam upaya memenuhi hajat hidupnya selalu membutuhkan orang lain, memerlukan ‘kerja sama’ atau hubungan sosial satu sama lain baik secara/bersifat horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu, pengelompokan sosial tidak bisa dihindarkan dan akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam organisasi. Sementara di sisi lain, manusia juga saling bersaing dan memanipulasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Maka dalam kehidupan organisasi bisa terdapat individu-individu/kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain, saling bekerja sama demi tujuan bersama (target-target organisasi) tapi juga saling bersaing dan saling memanipulasi untuk kepentingan-kepentingan individu atau kelompok.
Yang terjadi, distribusi kontrol atas sumberdaya-sumberdaya dan perilaku individu atau kelompok serta formasi kelompok-kelompok kepentingan tersebut saling berkompetisi dalam rangka melindungi atau memperoleh kesempatan atas penguasaan sumberdaya-sumberdaya ‘berharga’ yang tersedia dalam organisasi. Aktivitas politikal semacam ini bisa “tersembunyi” sebab hasil kompetisi (kebijakan, ideologi dan aturan-aturan organisasional yang lahir) selalu dikamuflase dengan cara-cara yang canggih sehingga akan selalu tampak harmonis baik bagi para anggota maupun para pimpinan dan pusat power yang ada dalam organisasi - apalagi bagi “orang luar”.
Dari sudut ini, sebuah keputusan tertentu apapun tidak selalu mencerminkan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi, tetapi merupakan kemampuan kelompok-kelompok tertentu dalam menentukan atau mendefinisikan situasi dan solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh kelompok-kelompok lain.

Rasionalitas Individu dan Organisasi
Hickson menegaskan, di dalam organisasi terdapat “dual rasionalitas” - di satu pihak organisasi dilibatkan ke dalam masalah pemecahan persoalan-persoalan sehingga selalu mencari solusi-solusi yang dianggapnya rasional; sementara itu, di lain pihak, terdapat kelompok-kelompok kepentingan yang selalu berusaha mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri sehingga aktivitas dan keputusan-keputusan yang lahir selalu merepresentasikan dua elemen tersebut (Hickson: 1987).
Tidak ada satu aktivitaspun yang diambil oleh sebuah organisasi tanpa suatu ‘klaim’ bahwa hal itu adalah rasional. Kemampuan untuk melahirkan keputusan atau kebijakan adalah masalah power (mendesak kelompok-kelompok lain), bukan dari superioritas rasionalitas ‘klaim’ yang dicetuskan. Oleh karena itu, keputusan atau kebijakan yang lahir dalam sebuah organisasi selalu merepresentasikan dual rasionalitas, yaitu rasionalitas individu atau sekumpulan individu dan rasionalitas orga-nisasi. Dalam konteks ini, power me-mainkan peran yang krusial. Individu dan kelompok atau kelompok kuasi (jaringan sosial) memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan pengambil keputusan dan kebijakan, juga kemampuan atas akses-akses penguasaan sumberdaya-sumberdaya or-ganisasional. Oleh karena itu membina hubungan dengan orang-orang yang menduduki posisi yang menyandang wewenang/power tertentu menjadi sangat penting.
Kondisi sistem KMK yang sede-mikian kompleks dan canggih di institusi/lembaga tinggi negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), tentunya akan sulit dilanggar oleh perseorangan. Untuk bisa melakukan pelanggaran dengan tidak ketahuan–tentunya harus bekerjasama dengan sub-sub sistem yang ada dalam organisasi bersangkutan (sistem KMK) – yaitu dengan orang-orang yang punya wewenang (power) atas tujuan yang diperjuangkan. Dengan kata lain, tindak pidana korupsi sangat sulit atau hampir bisa dikatakan mustahil dilakukan seorang diri.kecuali sistem KMK organisasi yang bersangkutan memang tidak memadai atau longgar seperti sistem KMK di organisasi kecil atau paguyuban.
Dengan demikian, jika dalam kasus tindak pidana korupsi terungkap bahwa “penyelewengan” tersebut dilakukan oleh perseorangan (seorang diri), hal ini justru menimbulkan sebuah pertanyaan besar sebab tindak pidana korupsi di organisasi setingkat lembaga tinggi negara seharusnya hanya mampu dilakukan oleh “kelompok” atau “kelompok kuasi” (jaringan sosial). Atau kelompok dan kelompok kuasi korup ini sedemikian powerfull sehingga KPK belum mampu menembusnya.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.



Copyright © Sinar Harapan 2008

Jumat, 12 September 2008

Pengelompokan Sosial dan Perebutan Sumber Daya : Kasus Arek-arek Suroboyo di Jakarta

ANALISIS CSIS, 1994

Pengelompokan Sosial dan Perebutan Sumber Daya:
Kasus Arek-arek Suroboyo di Jakarta (Ruddy Agusyanto)


Pendahuluan

BATAS-BATAS kelompok sukubangsa sering berubah-ubah atau tidak stabil. Artinya, kelompok sukubangsa dapat meluas atau menyempit, dengan kata lain bisa menjadi lebih atau kurang eksklusif (lihat Horowitz, 1975). Batas-batas kelompok sukubangsa menyempit atau meluas adalah salah satu strategi adaptasi dari sebuah kelompok sukubangsa dalam rangka menjaga dan memelihara eksistensinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. Begitu juga yang terjadi dengan pengelompokan sosial Arek-arek Suroboyo di Jakarta. Mereka berusaha mengaktifkan identitas kesamaan daerah asal yang merupakan modifikasi atau perluasan atau diferensiasi dari sukubangsa Jawa yang ada di Jawa Timur guna mendapatkan dukungan solidaritas dalam rangka perebutan sumber daya di Jakarta.

Salah satu pendorong yang menyebabkan terjadinya perluasan batas-batas sukubangsa yang terjadi pada kelompok Arek-arek Suroboyo adalah lingkungan yang dihadapi, yaitu masyarakat Jakarta itu sendiri. Pluralisme masyarakat Jakarta mendorong setiap sukubangsa mengaktifkan identitas kesukubangsaannya dalam arti membentuk kelompok-kelompok kesukubangsaan yang cenderung eksklusif dalam menghadapi kelangkaan sumber daya yang tersedia di Jakarta. Seperti juga yang dikatakan oleh Barth bahwa sukubangsa mempunyai potensi lebih besar dibanding identitas umur dan jenis kelamin untuk menjadi wadah bagi kekuatan politik (dalam kasus ini adalah perebutan sumber daya) karena di dalam proses penggolongannya (menggunakan kebudayaan sebagai atribut) melibatkan emosi dan perasaan yang berakar dalam kehidupan manusia (Barth: 1969). Identitas sukubangsa ini akan muncul bila, dalam interaksi, menghadapi sukubangsa lain. Jadi, tidak setiap saat identitas sukubangsa yang muncul dalam interaksi sosial bersifat situasional.

Berangkat dari kerangka pemikiran ini, penulis mencoba mengkaji bagaimana proses dan mekanisme kelompok Arek-arek Suroboyo mengaktifkan atau memanipulasi identitas kedaerahan asal untuk mendapatkan solidaritas dalam rangka perebutan sumber daya di tengah-tengah kelompok-kelompok sukubangsa lain di kota Jakarta.


Arek-arek Suroboyo dan Langkanya Sumber Daya Kota Jakarta

Menurut Koentjaraningrat, di dalam hampir semua masyarakat di dunia, baik yang amat sederhana maupun yang amat kompleks sifatnya, dalam pergaulan antar individu ada perbedaan kedudukan dan derajat atau status (Koentjaraningrat, 1981). Adanya perbedaan status dalam pergaulan antar individu, salah satunya menyebabkan timbulnya stratifikasi hirarkis dalam suatu masyarakat, yang mendudukan seseorang pada posisi golongan status sosial entah rendah, kurang terpandang, atau menengah maupun golongan status atas. Setiap golongan status memiliki atau membentuk gaya hidupnya sendiri, juga adat kebiasaan yang khas serta sikap yang berbeda pula sewaktu berhadapan atau berinteraksi dengan individu dari golongan status sosial lain.

Golongan status rendah atau kurang terpandang cenderung bersikap hormat, sopan, bahkan kadang-kadang siap sedia menjadi pesuruh atau bersikap patuh kepada individu-individu dari golongan status sosial yang lebih terpandang. Sebagian individu dari golongan status sosial bawah/rendah tersebut menganggap bahwa sikap merendah seperti itu merupakan suatu “tekanan”. Hal ini menimbulkan keinginan-keinginan untuk dapat menempati posisi status sosial yang lebih terpandang, karena itulah para orang tua seringkali menganjurkan anak-anaknya agar berusaha supaya bisa mengangkat derajat keluarganya dan jangan sampai mengalami nasib yang sama dengan orang tua mereka. Kecenderungan usaha meningkatkan jenjang status sosial itu terjadi pula pada kaum migran dari kota Surabaya yang berstatus sosial rendah di Jakarta .

Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia memiliki daya tarik yang memukau, termasuk kemudahan mencari nafkah dan meraih kesuksesan atau menaikkan taraf hidup, yang tidak terdapat di kota-kota besar lain di Indonesia. Hal inilah yang mengundang penduduk luar Jakarta untuk mengadu nasib dengan harapan dapat hidup lebih layak dari sebelumnya. Tidak sedikit penduduk kota Surabaya dan sekitarnya yang hijrah ke Jakarta, terutama kaum mudanya. Sebagian dari mereka tertarik pergi ke Jakarta karena pengaruh ajakan teman atau kerabat, dan ada juga yang datang karena inisiatif sendiri dengan berbagai alasan. Sebagian besar dari mereka kurang memperdulikan atau berpikir tentang kemampuan atau modal keahlian apakah yang dimilikinya sebagai persiapan untuk memperoleh pekerjaan atau penghasilan di kota yang akan ditujunya tersebut, apalagi modal yang berupa materi (BONEK). Akibatnya, seringkali kekurang-pedulian itu hanya menambah jumlah pengangguran dan meningkatnya angka kriminalitas sebab di kota Jakarta ini mereka tidak berhasil memperoleh pekerjaan yang layak dan terpaksa menghalalkan segala cara. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Suparlan:

“Kesembilan, mereka yang tergolong berpengasilan rendah pada umumnya sadar akan kerendahan dan kelemahan kedudukan sosial dan ekonomi mereka dalam struktur kota Jakarta (di mana yang kaya sangat kaya dan yang miskin sangat miskin). Sebagian dari mereka menerima kenyataan ini dengan pasrah (fatalistik), sedangkan sebagian lainnya memberontak dan terlibat dalam berbagai kegiatan kriminal. Jumlah kedua golongan ini amat kecil dibandingkan dengan jumlah mereka yang berada di antara kedua golongan ini, yaitu mereka yang mempunyai kecenderungan untuk pasrah tetapi yang pada kesempatan-kesempatan di mana mereka dapat menggunakannya untuk memperoleh keuntungan akan mereka gunakan walaupun harus melanggar hukum yang berlaku” (Suparlan: 1980, hlm. 12)

Kaum migran Surabaya ini harus berjuang keras demi pemenuhan kebutuhan hidup mereka agar bisa tetap bertahan hidup (survive) di kota Jakarta. Untuk hal ini, mereka bersikap tidak memilih-milih jenis pekerjaan. Apa saja jenis pekerjaan yang diperoleh tidak jadi masalah; yang penting kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkaitan dengan kelangkaan sumber daya yang tersedia di Jakarta, kegiatan ekonomi yang ada sangat beragam dan tidak harus sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing individu yang bersangkutan. Dalam mencapai tujuan tersebut, tak jarang pula mereka terpaksa menggunakan kekerasan. Dengan demikian, para migran dari kota Surabaya dan sekitarnya ini benar-benar dituntut memiliki daya adaptasi yang tinggi agar mereka tetap survive di kota Jakarta ini.

Sebagaimana halnya para migran dari kota Surabaya dan sekitarnya, para migran dari berbagai daerah dan kota lainnya di Indonesia yang datang dan hidup di Jakarta mengalami hal yang serupa. Dengan kondisi semacam ini, tidak eran bila sumber daya yang ada di Jakarta semakin terasa “langka” bagi mereka yang tidak memiliki keahlian dan jaringan sosial ke arah sumber daya yang tersedia. Akibatnya, berbagai bentuk “cara” muncul dalam rangka memperoleh sumber daya. Salah satu cara adalah dengan mengaktifkan identitas sukubangsa untuk dapat ikut menikmati dan menjaga sumber daya yang langka tersebut, yang telah berhasil diperoleh dan dikuasainya. Maka terwujudlah pengelompokan-pengelompokan berdasarkan kesukubangsaan, dan Arek-arek Suroboyo adalah salah satu bentuk perwujudan dari modifikasi pengelompokan berdasarkan kesukubangsaan tersebut.


“Pluralisme” Arek-arek Suroboyo

Arek-arek Suroboyo bergabung berdasarkan persamaan bidang mata pencaharian dan minat di suatu wilayah (sumber daya tertentu), di Jakarta. Mereka mengelompok terbagi menurut wilayah, seperti Arek-arek Suroboyo Blok M, Terminal Pulo Gadung, Terminal Rawamangun, Stasiun Kereta Api Senen, Stasiun Kereta Api Gambir, Jl. Sabang dan masih banyak lagi lainnya. Sekalipun mungkin mereka tidak berhubungan, tetapi mudah untuk meminta bantuan jika mengalami kesulitan berkaitan dengan sumber daya yang dikuasainya. Kelompok Arek-arek Suroboyo ini menurut pandangan dan penilaian masyarakat adalah kelompok anak-anak nakal, berandalan atau istilah Jakarta-nya yaitu preman atau prokem.

Pengelompokan sosial ini berdasarkan persamaan daerah asal, yaitu Surabaya dan sekitarnya. Mereka menyebut identitasnya sebagai orang Wetan (Timur) yang berarti orang-orang yang berasal dari Jawa Timur, dan orang luar menyebut mereka sebagai “Arek” (karena sebutan “Arek” adalah khas bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya yang tidak ada atau dipergunakan oleh orang Jawa kecuali orang-orang Jawa Surabaya dan sekitarnya. Dalam pengelompokan sosial ini, menggunakan kebudayaan atau sub-kebudayaan sebagai atributnya di mana simbol atau gejala yang tampak, yaitu bentuk kebudayaan atau sub-kebudayaan yang bersifat membedakan yang biasanya digunakan untuk menentukan identitas para anggotanya dan orang lain; dan nilai-nilai dasar, misalnya standar moral yang digunakan anggota untuk menilai perilaku seseorang. Di dalam proses penggolongan dengan menggunakan atribut kebudayaan atau sub-kebudayaan ini melibatkan emosi dan perasaan, yang di dalamnya tercakup atau bersangkut paut dengan eksistensi dan kelangsungan hidupkelompok yang bersangkutan, sebagaimana halnya sukubangsa sehingga sangat mudah untuk membangkitkan rasa solidaritas guna pencapaian tujuan-tujuan para pelaku yang bersangkutan (lihat Barth: 1969).

Selayaknya identitas sukubangsa, “Arek-arek Suroboyo” juga dibentuk oleh komponen rasional dan irrasional (Devos dan Romanucci Ross: 1982). Di satu pihak, pemakaian secara rasional untuk berbagai kepentingan seperti politis, ekonomik seperti yang kita lihat dalam rangka perebutan sumber daya dengan mengaktifkan identitas “Arek-arek Suroboyo”, dan sebagainya. Di lain pihak, terdapat ciri-ciri irrasional tertentu sebagai counter bagi kepentingan eksistensi dan kontinuitas kelompok Arek Suroboyo itu sendiri.

Mereka, Arek-arek Suroboyo ini tidak menutup diri untuk menerima anggota dari sukubangsa lain (selain orang Jawa, khususnya Jawa Timur). Sebenarnya hal ini juga terjadi di Surabaya karena selain adanya domnasi sub-kebudayaan Jawa Timur juga adanya “sejarah perjuangan” yang menyatukan masyarakat Surabaya dan sekitarnya (tanpa memandang kesukubangsaan) ke dalam satu identitas, yaitu “Arek Suroboyo” sebagaimana halnya sukubangsa baru. Hanya, di Jakarta dimodifikasi atau mengalami perluasan batas-batas identitas “Arek Suroboyo” ini. Tadinya, identitas “Arek Suroboyo” ini berlaku bagi orang-orang yang dilahirkan dan atau dibesarkan di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Kini di Jakarta tidak tertutup kemungkinan bagi mereka (berbagai sukubangsa) yang bukan lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur. Fleksibilitas atau meluasnya batas-batas “etnik” (Arek Suroboyo) adalah sangat adaptif dalam menunjang keberadaan kelompok Arek-arek Suroboyo di Jakarta yang masyarakatnya majemuk, dengan pengelompokan-pengelompokan sukubangsanya dalam rangka perebutan sumber daya.

Oleh karena itu, kelompok Arek-arek Suroboyo dapat digolongkan ke dalam dua kategori besar, yaitu:
1. Individu yang lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur;
2. Individu yang lahir dan atau dibesarkan bukan di JawaTimur


1. Individu yang Lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur
Arek-arek Suroboyo yang termasuk dalam kategori ini adalah individu-individu baik dari sukubangsa Jawa-Madura (Jawa Timur) maupun non sukubangsa Jawa-Madura yang lahir dan atau dibesarkan di Surabaya atau lebih luasnya yaitu Jawa Timur. Mereka yang bukan berasal dari sukubangsa Jawa-Madura yang lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur, mereka ini boleh dibilang sudah melebur menjadi satu dengan warga setempat. Mereka dianggap sebagai warga atau masyarakat yang tidak dibedakan dengan warga penduduk asli, mereka telah terintegrasi ke dalam satu identitas “sukubangsa baru” yaitu “Arek Suroboyo”. Hal ini tampak dengan jelas dengan “budaya tawuran” (perkelahian massal) di mana bukan sukubangsa berhadapan dengan sukubangsa melainkan kesatuan wilayah (kampung) melawan kesatuan wilayah lainnya. Mereka tidak menggunakan identitas sukubangsanya dalam interaksi dengan individu-individu lain kecuali bila bertemu dengan orang yang berasal dari sukubangsa yang sama, dan bahkan seringkali mereka mengaku sebagai orang Jawa Timur

Mereka yang termasuk dalam kategori sebagai individu-individu yang lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur inilah yang membawa dan memberlakukan adat kebiasaan atau sistem nilai dan aturan-aturan perilaku sebagai pedoman dalam bertindak dan menilai perilaku seseorang, lebih khususnya sub-budaya prokem kota Surabaya dan sekitarnya. Dan, saat-saat tertentu, biasanya setelah selesai “bekerja” mereka berkumpul untuk “minum-minum” dengan cara bandaran sebagai salah satu proses pemisahan dan penyatuan yang fungsinya sebagai pelestarian batas-batas “Arek Suroboyo” sehingga mereka tetap berbeda dengan kelompok “sukubangsa” lain (lihat Barth: 1969).


2. Individu-individu yang Lahir dan atau Dibesarkan Bukan di Jawa Timur
Individu-individu yang pernah tinggal di Jawa Timur untuk beberapa waktu sehingga dapat berbahasa dan mengerti norma-norma, aturan-aturan atau adat-kebiasaan kelompok prokem Jawa Timur. Begitu mereka pindah ke Jakarta, telah dianggap oleh kelompok Arek-arek Suroboyo sebagai individu-individu yang sama kedudukannya dengan individu-individu yang lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur karena mereka dapat berperilaku sesuai dengan kerangka acuan sub-kebudayaan Jawa Timur.

Bagi mereka yang dari kategori ini, manipulasi sistem referensi untuk bertindak dari sub-kebudayaan Arek Suroboyo adalah untuk mendapatkan perlakuan – baik hak dan kewajiban yang sama dengan individu-individu dari kategori mereka yang dilahirkan dan atau dibesarkan di Jawa Timur.

Begitu juga bagi individu dari sukubangsa Jawa yang berasal bukan dari Jawa Timur. Hanya mereka ini lebih mudah dalam mengadaptasikan diri karena selain bahasanya masih banyak persamaan juga nilai-nilai sebagai orang Jawa tidaklah terlalu berbeda dengan orang-orang Jawa Timur. Dan, seringkali mereka ini dalam berinteraksi menggunakan struktur yang lebih “besar” yaitu struktur sukubangsa Jawa demi tujuan-tujuan individu yang bersangkutan.

Berikutnya adalah mereka yang berasal dari sukubangsa bukan Jawa-Madura, namun karena pergaulan sehari-hari selama di Jakarta dengan orang-orang Surabaya atau Jawa Timur maka dengan mudah mereka bisa belajar dan mengadopsi sistem referensi perilaku Arek-arek Suroboyo. Mereka menggabungkan diri dengan Arek-arek Suroboyo adalah untuk tujuan dapat ikut menikmati sumber daya yang dikuasai oleh Arek-arek Suroboyo, atau untuk mendapatkan dukungan/rasa solidaritas guna menjaga sumber daya yang dikuasainya.

Perbedaan kedua kategori di dalam identitas tersebut biasanya muncul jika terjadi kesalah-pahaman atau konflik antara anggota dari kategori yang berbeda. Sebagai contoh dalam kasus Arek-arek Suroboyo di Monas, Jakarta (penelitian lapangan tahun 1989), di mana individu dari kategori pertama terlibat dalam konflik fisik dengan individu dari kategori kedua. Waktu itu teman-teman mereka, tak seorangpun yang membela salah satu di antara mereka, namun berusaha mendamaikan dengan diingatkan bahwa mereka berdua sebenarnya tidak perlu berkelahi apalagi sampai saling bunuh karena mereka semua (Arek-arek Suroboyo yang hidup di Monas) adalah senasib. Memang pada saat itu mereka berdua setuju untuk saling memaafkan, akan tetapi individu dari kategori pertama merasa tidak puas dengan cara penyelesaian semacam itu. Dia merasa bahwa teman-temannya tidak adil dalam masalah ini, maka secara tiba-tiba dia berkata:

“Mosok Arek Suroboyo kalah ambek arek Semarang, dorong ono ceritane. Awas sampek kedaden mane, tak pateni koen” (Masa Anak Surabaya kalah dengan anak Semarang, belum ada ceritanya. Awas kalau terjadi lagi, saya bunuh kamu).

Jelas, bahwa individu dari kategori pertama berusaha untuk membangkitkan perasaan dan emosi dari teman-temannya bahwa lawannya (individu dari kategori kedua) adalah sebenarnya “berbeda” guna mendapatkan dukungan.

Hal seperti ini juga terjadi bila menyangkut rahasia pribadi (menyangkut pekerjaan), individu akan bercerita pada teman-teman yang dianggap “dekat”, dan umumnya dari kategori yang sama. Begitu pula dalam mencari parter “operasi”.

Namun demikian, kedua kategori ini dapat melebur menjadi satu sehingga tidak tampak perbedaan-perbedaan yang ada. Hal ini terjadi bila ada gangguan terhadap sumber daya yang dikuasainya. Mereka bergabung menjadi satu untuk menghadapi “pihak luar” yang berusaha merebut sumber daya mereka, seperti kata-kata yang diucapkan oleh salah seorang Arek Suroboyo di Monas :

“ Kita disini berada dalam satu atap, dalam arti makan tidak makan bersama, resiko juga ditanggung bersama, maka kita harus solider terhadap teman. Rasa ini harus dimiliki oleh semua anak yang cari makan di sini. Jadi, jika terjadi perselisihan antar teman sebaiknya kita damaikan, kecuali dengan orang luar maka kita semua harus turun tangan”.

Kita melihat bahwa Arek-arek Suroboyo sendiri sebenarnya di daerah asalnya yaitu Surabaya dan sekitarnya, belum tentu berteman dan kebanyakan dari mereka itu berasal dari berbagai kelompok prokem (marginal) yang berbeda bahkan ada yang saling bermusuhan, namun di Jakarta mereka bersatu. Kondisi di Jakarta yang bermasyarakat majemuk – yang terdiri atas bermacam-macam sukubangsa – dalam interaksi sosial saling mempertahankan batas-batas sukubangsa masing-masing dan terwujud sebagai saling membentuk kelompok-kelompok sukubangsa yang eksklusif.

Keterbatasan sumber daya cenderung menciptakan kelompok-kelompok sukubangsa guna bersaing memperebutkan sumber daya yang tersedia, karena rasa kesukubangsaan (komponen irrasional) sangat mudah dibangkitkan untuk memperoleh solidaritas dalam mencapai tujuan-tujuan pelaku yang bersangkutan. Begitu juga yang terjadi dengan pengelompokan sosial Arek-arek Suroboyo adalah untuk menghadapi lawan yang mungkin berkekuatan sama atau lebih untuk mempertahankan sumber daya yang telah dikuasainya agar tetap survive. Namun, Arek-arek Suroboyo memperluas batas-batas sukubangsa yang tradisional, dalam arti menjadi kurang eksklusif atau lebih terbuka terhadap sukubangsa lain yang berlandaskan pada “identitas” masyarakat Jawa Timur yang terbentuk saat perjuangan – yang dikenal dengan Peristiwa 10 November.


Arek Suroboyo Sebagai “Sukubangsa Baru”: Analisa dan Kesimpulan

Sebagaimana halnya suku bangsa, kelompok ”Arek-arek Suroboyo” ditinjau dari segi sosial dapat dipandang sebagai suatu organisasi atau tatanan sosial. Yaitu mampu menentukan ciri khasnya sendiri, yang dapat dilihat oleh kelompok suku bangsa lain. Ciri khasnya bersifat kategoris, yaitu ciri khas yang mendasar dan umum – yang menentukan seseorang termasuk kelompok suku bangsa mana, dan ini dapat diperkirakan dari latar belakang asal-usulnya, yaitu lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur. Sebagai organisasi sosial, identitas “Arek Suroboyo” terbentuk bila seseorang menggunakan identitas tersebut dalam mengkategorisasikan dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi.

Bagaimana hal ini dapat terjadi, bahwa “Arek Suroboyo” tersebut dipandang sebagai suatu suku bangsa? “Arek Suroboyo” adalah salah satu kelompok atau organisasi sosial yang diikat atas dasar budaya. Mereka terdiri dari orang yang memiliki kesadaran diri dan merasa sebagai satu kesatuan atau golongan yang disatukan oleh tradisi-tradisi tipikal (yang mendasar dan umum) yang dimiliki bersama, yang tidak dimiliki oleh kelompok atau golongan lain. Seperangkat tradisi tersebut adalah bahasa, kontinuitas sejarah, keturunan dan tempat asal-usul, termasuk konsep-konsep mengenai kontinuitas generasional dan eksistensi “Arek-arek Suroboyo”, sehingga identitas “Arek Suroboyo” sebagai suku bangsa sulit dihilangkan. Bedanya dengan suku bangsa adalah sifat keanggotaannya tidak hanya melalui kelahiran, tetapi lebih menekankan pada lahir dan atau dibesarkan di Jawa Timur (lihat Srabaya Post, 1989).

Oleh karena itu,”Arek Suroboyo” menggunakan kebudayaan atau sub-kebudayaan sebagai atributnya, yang biasanya digunakan untuk menentukan identitas seseorang, misalnya standar moral yang digunakan untuk menilai perilaku seseorang. Tidaklah menjadi masalah seberapa berbedanyanya perilaku yang tampak ini. Bila mereka menyatakan A sebagai kelompok yang berbeda dari kelompok B, itu berarti mereka ingin diperlakukan dan dinilai perilakunya dengan tata nilai atau sistem nilai dari kelompok A dan bukan dari kelompok B.

Dengan demikian, adanya perbedaan tersebut bukanlah ditentukan oleh tidak terjadinya interaksi atau kontak antara “Arek Suroboyo” dengan kelompok suku bangsa lain, namun lebih ditentukan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan sehingga perbedaan kategori tetap dipertahankan meskipun terjadi pertukaran peran-serta keanggotaan diantara unit-unit “Arek Suroboyo” dalam perjalanan hidupnya. Ini bisa kita lihat bahwa “Arek Suroboyo” tetap mempertahankan identitasnya biarpun ada anggota-anggotanya yang berinteraksi dengan kelompok lain. Ini menandakan adanya suatu kriteria untuk menentukan keanggotaan kelompok “Arek Suroboyo”, dan berfungsi sebagai cara untuk menandakan mana yang anggota dan mana yang bukan. Batas tersebut merupakan pola perilaku dan hubungan sosial yang kompleks.

Kasus pengelompokan sosial Arek-arek Suroboyo ini sanagat menarik seperti yang telah diuraikan sebelumnya bagaimana proses dan mekanisme mereka sebagai kelompok sosial, dalam hal ini kelompok “suku bangsa baru”, dalam mengahadapi lingkungan kota Jakarta yang masyarakatnya majemuk degan sumber dayanya yang terbatas. Di balik semua ini, sebenarnya di dalam diri kelompok Arek-arek Suroboyo sendiri banyak terdapat masalah-masalah hubungan antar suku bangsa karena mereka (Arek Suroboyo) pada dasarnya adalah “masyarakat” plural sebagaimana halnya masyarakat Jakarta, yang terdiri dari berbagai suku bangsa di bawah naungan satu kebudayaan yaitu Jawa Timur. Mungkin karena “pengalaman” hubungan antar suku bangsa di dalam dirinya sendiri inilah sehingga kelompok Arek-arek Suroboyo mampu memelihara dan menjaga eksistensinya di Jakarta yang masyarakatnya juga plural.

Sebenarnya tidak ada konflik akibat perbedaan suku bangsa atau karena diri mereka berbeda. Konflik itu akan terjadi bila terdapat persamaan kepentingan, dalam kasus ini adalah perebutan sumber daya sehingga mereka masing-masing saling mengaktifkan identitas suku bangsa dengan memperjelas batas-batas suku bangsa masing-masing. Dan, di dalam diri kelompok Arek-arek Suroboyo itu sendiri, perbedaan kategori keanggotaan sebenarnya tidak membuat mereka konflik satu sama lain kecuali ada bentrokan kepentingan-kepentingan pula.

Dalam pelestarian batas-batas “Arek Suroboyo” terdapat situasi sosial antara orang-orang dengan kebudayaan yang berbeda: Kelompok “Arek Suroboyo” hanya dikenal sebagai unit bila kelompok tersebut memperlihatkan perilaku yang berbeda, dengan kata lain ada perbedaan kebudayaan. Tetapi bila orang-orang dengan kebudayaan yang berbeda berinteraksi, diharapkan perbedaan-perbedaan ini akan berkurang, sebab interaksi memerlukan dan membentuk kesatuan simbol dan nilai, atau harus ada kebudayaan yang umum. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah interaksi antar individu yang kategori keanggotaannya berbeda dalam diri Arek-arek Suroboyo, dengan kebudayaan yang umum yaitu kebudayaan atau sub-kebudayaan Jawa Timur.

Dan hubungan antar suku bangsa yang stabil tersebut (karena berbagai suku bangsa tersebut secara sadar mengaku dirinya sebagai “Arek Suroboyo”) membutuhkan adanya struktur interaksi, yaitu seperangkat ketentuan yang mengatur cara berhubungan dan memungkinkankan adanya hubungan di beberapa bidang kegiatan, serta seperangkat ketentuan tentang situasi sosial yang melarang adanya interaksi antar suku bangsa. Batas suku bangsa ini dapat dipertahankan pada keadaan tertentu, dan akan hilang dalam keadaan lain. Perubahan hanya terjadi bila kategorisasi yang ada tidak memadai juga tidak memberi dampak apa-apa bagi pelaku yang bersangkutan.



KEPUSTAKAAN

Agusyanto, Ruddy. 1990. “Jaringan Sosial dan kebudayaan: Kasus Arek-arek Suroboyo di Monas, Jakarta”. Skripsi S-1. Universitas Indonesia.

Barth, Fredrik (ed). 1969. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culcure Difference. Massachusetts: Little, Brown, and Company.

Bruner, M Edward. 1974. “The Expressions of Ethnicity in Indonesia”, Urban Eyhnicity (Abner Cohen, ed). London: Tavistock.

Horrowitz, L.Donald. 1975. “Ethnic Identity”, Ethnicity (Glazer & Moynihan, eds.) USA: Havard University Press.

Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok-pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

PPMKL DKI, 1980. “Profil ‘Migran Siekuler’ di DKI”, Widyapura No. 6/11. Jakarta: Jurnal Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan.

Romanucci-Ross, L and G, Devos (eds.). 1982. “Introduction 1982”, Ethnic Identity. Chicago: The University of Chicago Press.

Roosens, E. Eugeen. 1989. “The Making Natural Feelings: Problems, Concepts, and Theoritical Strating Point”, Creating Ethnicity. London: Sage Publications Incs.

S. sudjito.1986. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Suparlan, Parsudi. 1978. “Pola-pola Komunikasi untuk Masyarakat Kota dan Masyarakat Desa: Sebuah Pendekatan”. Makalah.

----------- . 1980. “Lapangan Kerja Bagi Penduduk Berpenghasilan Rendah di Kota”, Widyapura No. 6/11. Jakarta: Jurnal Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan.

------------ 1984. “Gelandangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota”, Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial. Jakarta: LP3ES.

------------- 1984. “Orang-orang Gelandangan di Jakarta: Politik pada Golongan Termiskin”, Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan.

------------ 1986. “Latar Belakang Budaya Orang Betawi”, Media Ika No.12/XV. Jakarta: Ikatan Kekerabatan Antropologi UI.

Tim Surabaya Post. 1989. Surabaya Post. 10 November 1989.

Selasa, 26 Agustus 2008

Jaringan Sosial dalam Organisasi-Press realease

JARINGAN SOSIAL DALAM ORGANISASI

Manusia selalu membina hubungan sosial dengan manusia lain di mana pun dia tinggal dan hidup, tetapi manusia tidak sanggup membina hubungan atau berhubungan dengan semua manusia yang ada disekitarnya. Hubungan sosialnya selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu. Oleh karena itu mengapa setiap individu/manusia membina hubungan sosial dengan individu/manusia tertentu dan tidak dengan individu/manusia lainnya. Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masing-masing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Jadi, manusia membina hubungan sosial dengan manusia lainnya tidak terjadi secara acak. Konfigurasi hubungan sosial manusia yang satu dengan lainnya ini akhirnya membentuk ‘satu kesatuan sosial’ yang bisa disebut “jaringan sosial”.

Permasalahannya, jaringan sosial itu adalah pengelompokan sosial (tidak sama dengan kelompok sosial), sehingga keanggotaannya seringkali tidak disadari oleh pelaku. Anggota jaringan sosial yang satu dengan anggota lainnya belum tentu saling mengenal. Tak seorangpun menyadari sepenuhnya atau tahu persis – dengan siapa dia berhubungan secara tidak langsung dengan orang atau sekelompok orang lain (umumnya hanya mengenal sebatas “ring satu” dari ego). Sebagai contoh, dalam jaringan pinjam-meminjam buku, Amir biasanya meminjam buku kepada Budi. Amir dengan sadar dan tahu bahwa dirinya punya hubungan sosial dengan Budi. Tetapi Amir belum tentu tahu kalau Budi mempunyai hubungan sosial (pinjam-meminjam buku) dengan siapa saja selain dirinya.

Meskipun para pelakunya belum tentu menyadarinya, tingkah laku yang diwujudkan dalam suatu interaksi sosial itu sistematik, ada pengulangan tingkah laku untuk hal-hal yang sama dan dalam situasi yang sama, ini menandakan adanya: Keteraturan; dan “Aturan” yang disepakati bersama (hukum kuasi), yang membuat tingkah laku yang diwujudkan menjadi 'teratur‘. Hukum kuasi tersebut mengatur saling keterhubungan masing-masing aktor/anggota jaringan - ada hak dan kewajiban yang mengatur masing-masing aktor. Dengan kata lain, hukum kuasi yang terwujud ini membatasi dan menjadi pedoman tindakan, sikap dan perilaku para anggota jaringan sosial yang bersangkutan (sebagai pedoman yang operasional untuk bertindak, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan nyata)

Pengelompokan sosial memang tidak bisa dihindarkan, akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam kehidupan sebuah organisasi, baik secara/bersifat horisontal maupun vertikal. Namun, tidak berfungsinya sistem kontrol, monitoring dan koordinasi sebuah organisasi bukanlah akibat pengelompokan sosial semata. Pengelompokan sosial yang melahirkan 'struktur sosial' atau 'hukum kuasi' yang tidak mendukung 'struktur formal' dan atau begitu sangat menentukan (sudah tidak lagi sekedar memberi ketidakleluasaan atau constraints ) tindakan para anggotanya - baik individual maupun kolektif - sehingga tak seorangpun berani menentang /melanggarnya. Di lain pihak, begitu dominannya 'struktur sosial' yang lahir dari pengelompokan sosial (jaringan sosial) ini mengakibatkan 'struktur formal' organisasi tidak berlaku atau tidak bisa dijadikan pegangan bagi para anggotanya. Seseorang berani melanggar 'struktur formal' tetapi tidak berani melanggar aturan dan norma jaringan sosial. Jaringan sosial seperti inilah yang membuat sistem Kontrol-Monitoring-Koordinasi organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga masing-masing unit sosial organisasi tidak mampu untuk tetap mengarahkan tindakan anggota-anggotanya demi tercapainya tujuan atau target yang telah ditetapkan oleh organisasi.

Dengan memfokuskan diri pada ikatan-ikatan di antara individu (ketimbang kualitas yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan) mendorong kita untuk berpikir tentang ketidakleluasaan-ketidakleluasaan perilaku individual atau kolektif sebab ketidakleluasaan itu inheren dalam cara-cara hubungan sosial yang diorganisasikan. Analisa Jaringan Sosial (AJS) memberikan sebuah pandangan alternatif, di mana atibut-atribut individual menjadi kurang penting dibandingkan jaringan hubungan dan ikatan yang mereka miliki dengan aktor-aktor lain di dalam jaringan. Perselisihan dua individu yang berbeda agama dan sukubangsa bisa menjadi konflik nasional, tetapi bisa juga berhenti pada perselisihan dua individu tersebut, hal ini tergantung pada struktur jaringan sosial masing-masing. Berbeda dengan studi-studi ilmu sosial yang berasumsi bahwa atribut aktor sangat menentukan. Pendekatan ini telah membalikan arah dalam “menjelaskan banyak phenomena dunia yang nyata (real). Pintar atau bodoh, luwes atau kaku dan sejenisnya – tidak begitu menentukan keberhasilan individu. Jaringan sosial memainkan peran kunci dalam “membeli” kesuksesan dan peformance kerja. Jaringan sosial menyediakan cara-cara kerjasama untuk memperoleh informasi, menghalangi atau memenangkan kompetisi dan termasuk mengatur serta menentukan kebijakan. Sebagai contoh, Power sesungguhnya di dalam banyak organisasi seringkali justru berada pada individu-individu anggota jaringan sosial, bukan pada individu dengan job title formal (struktur formal organisasi). Oleh karena itu pula, mengapa presiden SBY sewaktu akan memutuskan kebijakan kabinetnya sering ‘mondar-mandir’ ke DPR atau perlu melobi partai-partai politik meskipun dia dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, AJS mampu memperlihatkan bagaimana suatu aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma yang sudah mapan (bisa) diterapkan atau tidak (demikian halnya dengan aturan-aturan yang telah distrukturkan secara formal di dalam sebuah organisasi). Dan, standar-standar yang jadi pegangan dalam kehidupan nyata (struktur sosial) membentuk kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan bagi alternatif tindakan, sikap dan perilaku, di mana standar-standar ini sebenarnya merupakan hasil tawar-menawar dari pasangan-pasangan hubungan diadik yang ada dalam jaringan sosial yang bersangkutan dan bukan secara langsung berasal dari sesuatu yang abstrak seperti kebudayaan, sistem nilai atau tatanan moral . AJS lebih mempelajari “keteraturan individual atau kolektif berperilaku” ketimbang keteraturan “keyakinan” tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku

Bila hakekat atau prinsip dari hubungan-hubungan sosial yang mengikat para aktor dalam jaringan sosial yang bersangkutan diketahui maka dapat dibuat prediksinya tentang struktur sosial yang terciptakan, jenis kontrol dan jenis-jenis pertukarannya. Selain itu, dari perpotongan-perpotongan berbagai jaringan sosial yang terbentuk dalam organisasi, dengan masing-masing struktur sosial (hukum kuasi) yang diciptakannya dapat menjelaskan sejumlah konflik sosial, perubahan dan pengendalian di dalam organisasi (negara dan masyarakat).

Ruddy Agusyanto

Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi – FISIP UI

Direktur Operasional Pusat Analisa Jaringan Sosial

Tim Pengajar PTIK

Email : ragusyanto@yahoo.com

pajs_ui@yahoo.com

Senin, 11 Agustus 2008

BERANI TAMPIL BEDA

BERANI TAMPIL BEDA ???

Umumnya, sebagian besar orang akan memilih untuk bertindak, bersikap dan berperilaku seperti kebanyakan orang di sekitarnya; atau di mana mereka hidup dan tinggal. Dengan kata lain, seseorang mempunyai kecenderungan untuk berusaha ‘sama” atau “tidak berbeda” dengan kebanyakan orang lainnya. Mereka semua berpatokan apada aturan, norma dan nilai-nilai yang berlaku umum di masyarakatnya. Padahal – norma, aturan dan nilai – tidak pernah secara eksplisit menegaskan ‘variasi-variasi’ (alternatif-alternatif) sikap, tindakan dan perilaku yang tersedia di dalamnya; Norma, aturan dan nilai- hanya menegaskan prinsip-prinsip yang seharusnya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

Oleh karena itu pula, jarang orang berani “berbeda” dengan yang kebanyakan orang lakukan. “Tampil beda” memang dibutuhkan suatu “keberanian”, meski berbeda dengan kebanyakan orang tidaklah selalu berarti ‘negatif’; ‘tampil beda” beresiko akan dibenci, dikucilkan atau bahkan dipenjara jika tidak berhasil membuahkan terobosan-terobosan baru.

Di era globalisasi ini, “tampil beda” justru diperlukan karena sebuah ‘inovasi’ atau ‘invention’ tidak akan terjadi jika tidak ada yang berani ‘tampil beda’ dalam masyarakat yang bersangkutan.

Begitu halnya dengan “Sensasi”. Dalam kerangka pikir ini, ‘sensasi’ bisa dilihat sebagai bagian dari “tampil beda”. Tidak hanya masyarakat (secara kolektif), tetapi perseorangan pun, sering diperlukan ‘tampil beda’ untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.

Jadi tidak ada salahnya jika anda ingin sesekali ‘tampil beda’ untuk alasan-alasan tertentu, meski ada resiko tertentu pula yang anda harus siap hadapi. Sikap berani “tampil beda” justru bisa menghasilkan terobosan-terobosan baru. Selama kita memiliki itikad atau tujuan positif serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Jadi, kenapa harus takut beda ???

Jumat, 08 Agustus 2008

Polisi dan Politisi

Polisi dan Politisi

Oleh
Ruddy Agusyanto

Maraknya demo, terutama sejak bergulirnya kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sering berakhir dengan bentrok fisik antara para demonstran dan polisi–bahkan tak jarang diwarnai tindakan anarkis para demonstran–tak terkecuali demo yang dilakukan oleh mahasiswa.
Di era Orde Baru, “keberanian” layaknya orang yang sedang “berjihad”. Semua menunggu siapa yang berani “tampil””. Tapi, di era Reformasi ini, di mana kita bebas bicara dan mengagungkan “kesadaran akan perbedaan” dan “kesetaraan” mengapa tindakan mahasiswa belakangan ini justru bertolak belakang? Bahkan berbagai diskusi yang ditayangkan di banyak stasiun televisi sungguh memprihatinkan, karena tindakan “anarkis” dalam sebuah demo dianggap wajar oleh kelompok mahasiswa melalui berbagai argumennya.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup, proses kerjasama, persaingan dan konflik memang merupakan proses yang wajar. Di dalamnya, ada upaya saling bekerja sama, saling bersaing, saling tergantung satu sama lain, bahkan juga saling manipulasi untuk mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Namun, dalam kerja sama dan persaingan juga selalu ada aturan yang harus disepakati dan ditaati bersama, sehingga kekerasan dapat dihindari. Persaingan yang sudah menjadi konflik akan atau cenderung menjurus kepada upaya saling menghancurkan.
Kekerasan sering kali timbul antara lain karena peserta dalam persaingan melanggar aturan yang disepakati sehingga merugikan atau mengorbankan kepentingan pihak lain. Juga bisa terjadi karena persaingan yang tidak seimbang derajat kekuatannya, maka akan terjadi dominasi. Oleh karena itu, dalam pertandingan tinju ada kelas bulu, kelas ringan, kelas berat dan seterusnya. Kekerasan juga bisa terjadi karena pemahaman yang tidak sama atas aturan yang berlaku, atau juga karena penegak hukum bersikap tidak adil atau dianggap tidak adil.

Warisan Orde Baru
Di era Orde Baru, polisi adalah bagian dari militer/ABRI, yang fungsinya untuk membungkam kekuatan-kekuatan sosial-politik yang mencoba mengganggu pemerintah yang sedang berkuasa. Polisi bertanggungjawab atas stabilitas dan ketertiban umum demi langgengnya kekuasaan. Tindakan represifnya sangat dominan.
Namun, di era reformasi, polisi sudah berubah statusnya, yaitu sebagai bagian dari masyarakat yang bertugas untuk mengayomi (melayani dan melindungi) masyarakat serta sebagai penegak hukum. Dengan demikian, fungsinya berubah, dari sebagai alat penguasa untuk mempertahankan dan melindungi pemerintah yang sedang berkuasa menuju polisi sebagai kekuatan sipil yang diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat dan penegak hukum.
Perubahan status dan peran polisi ini, selain harus disadari dan dipahami oleh polisi itu sendiri, juga harus dipahami oleh masyarakat yang dilayaninya (termasuk Politisi, Partai Politik dan mahasiswa). Dalam hal ini, polisi dituntut untuk berbenah diri, menyesuaikan diri dan menjadi profesional dalam melayani dan melindungi sesuai dengan “kebutuhan” masyarakat Indonesia yang multikultur demokratis ini. Polisi juga dituntut untuk mampu meredam atau mencegah terjadinya konflik berbagai pihak agar tidak ada pihak yang dirugikan atau terganggunya ketertiban umum.
Sementara itu, bangsa Indonesia (tanpa kecuali) sedang menikmati “pesta kebebasan”. Semua pihak bebas berpendapat dan mempunyai kedudukan yang sama meski berbeda satu sama lain. Jadi tidak ada yang punya “hak atau perlakuan khusus” seperti di era Orde Baru. Semua pihak bebas bekerja sama dan bersaing untuk mencapai keinginannya, asalkan sesuai dengan “aturan main” yang telah disepakti bersama – dalam hal ini undang-undang dan hukum negara.
Persoalannya, apakah UU dan hukum negara warisan Orde Baru masih operasional atau sesuai dengan kebutuhan bermasyarakat dan bernegara di era Reformasi ini? Lalu, apakah “wasit” (penegak hukum) sudah siap dan memahami “aturan main” tersebut? Siapa yang menjadi “Penilai atau Juri”nya?
Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, ditambah dengan munculnya berbagai partai politik dalam perjuangannya untuk berusaha menguasai politik negara, menambah kompleksnya “persoalan” (apalagi menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2009); sehingga tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa “konflik” akan sering terjadi terutama jika penyebab atau potensinya tidak segera diantisipasi.

Dibuat Gamang oleh Politisi
Dalam kerangka pikir ini, para politisi (dengan atau tanpa partai politiknya) ibarat para pemain bola yang sedang bertanding di lapangan hijau. Dalam kompetisi di “lapangan hijau” ini, yang utama adalah “aturan main” harus dipahami dan dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali (termasuk polisi).
Sementara itu, polisi sebagai “wasit”, dalam hal ini harus mampu menjaga dan memelihara permainan/pertandingan berjalan tertib. Jelas bahwa keberadaan polisi di “lapangan hijau” bukan sebagai peserta pertandingan (tidak ikut berkompetisi) ataupun untuk kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Tugasnya hanya mengawasi dan menjaga agar kompetisi berjalan sesuai dengan aturan main. Sedangkan rakyat adalah penonton yang sekaligus sebagai penilai.
Yang menarik adalah kelompok Politisi/Partai Politik, dimana selain mereka berperan sebagai peserta yang sedang berkompetisi, mereka juga bisa berperan sebagai pengawas, atau untuk menilai apakah “wasit”(polisi) sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar - melalui Lembaga Legislatif yang mayoritas terdiri dari para politisi. Hal inilah yang seringkali membuat polisi tampak “gamang” dalam menangani demo, karena tak jarang membuat polisi terjebak ke dalam “situasi” yang dilematis (tak menguntungkan) dan akhirnya membuat diri mereka terperangkap dalam pelanggaran undang-undang atau HAM.
Dengan kata lain, semakin aktif para politisi memainkan peran “gandanya”, semakin “pusing” pula polisi dibuatnya . Apalagi akhir-akhir ini manuver-manuver mereka (baik melalui mahasiswa atau pun tidak) seringkali memojokkan “wasit”, sebagai salah satu strategi untuk memenangkan kompetisi.
Ini seringkali tidak disadari oleh para mahasiswa (juga masyarakat). Oleh karena itu, untuk meningkatkan profesionalisme, sudah saatnya kepolisian mempunyai suatu Institusi Kajian Ilmiah yang melakukan pengkajian berbagai permasalahan yang muncul dan memprediksikan persoalan yang bakal muncul untuk kemudian merekomendasi kebijakan-kebijakan Kepolisian. Bagi politisi, semoga saja tujuan mereka memang benar-benar untuk memperjuangkan kepentingan/ kesejahteraan masyarakat luas.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.

26 Juli 2008

Copyright © Sinar Harapan 2008

”Total Institution” dan Tradisi Kekerasan

”Total Institution” dan Tradisi Kekerasan



Oleh
Ruddy Agusyanto

Korban kekerasan bermunculan dari “asrama-asrama” pendidikan, seperti kasus terbunuhnya siswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Sekolah Tinggi Pelayaran Indonesia (STPI). Setelah kita amati, ternyata hampir di semua institusi pendidikan yang menggunakan sistem asrama sangat rawan dengan kekerasan–terutama yang dilakukan para siswa/taruna senior terhadap para yuniornya.
Ini adalah salah satu ekses negatif dari proses penanaman karakter dan pembentukan identitas kolektif yang eksklusif–yang nantinya membedakan lulusannya dengan lulusan institusi pendidikan umum lainnya.
Institusi pendidikan, di mana selama menempuh pendidikan, siswanya diharuskan tinggal di asrama, dengan seperangkat aturan-aturan yang sedemikian ketat dan berlaku selama “dua puluh empat jam” seperti institusi pendidikan akademi militer, akademi kepolisian, STPDN, STPI dan sejenisnya–oleh Goffman disebut Total Institution.
Total Institution adalah tempat kediaman di mana orang diasingkan dari masyarakat luas dalam periode yang relatif lama dan kelakuan mereka diatur secara ketat. Semua kegiatan di situ diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan yang ada–sesuai dengan pranata-pranatanya – yang dijalankan oleh dan melalui kekuasaan “pejabat” asrama. Misalnya untuk pemenuhan kebutuhan makan setiap siswa/taruna mendapat apa, jam berapa diperbolehkan makan, di tempat mana mereka boleh makan dan tidak boleh makan, dan seterusnya–semuanya diawasi dan ditentukan oleh para “pejabat” asrama.
Semua kegiatan diatur dan dijalankan berdasarkan atas hirarki kekuasaan yang “ketat”.
Dengan struktur kekuasaan seperti ini, tidak menutup kemungkinan di antara para pejabat melakukan penye-lewengan kekuasaan yang diembannya. Artinya, mungkin saja pejabat tinggi asrama memberikan atau melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, tetapi para pejabat yang lebih rendah yang langsung berhubungan dengan para siswa/taruna bisa saja melakukan penyelewengan sebab pejabat asrama adalah seorang yang berkuasa penuh menentukan apa yang boleh dan yang tidak untuk dilakukan para siswa/taruna.

Identitas Kolektif dan Eksklusif
Masing-masing level hirarki mempunyai batasan dan otoritas yang tegas, tidak ada kata ‘tidak’ bagi mereka yang berada pada level hirarki yang lebih rendah. Semua ucapan yang keluar dari mulut seorang yang hirarkinya lebih tinggi adalah “perintah” dan tidak boleh dibantah.
Demikian halnya dengan kehidupan atau hubungan antara siswa/taruna senior dan yunior. Dengan kondisi kehidupan di ‘asrama 24 jam’ yang seperti itu maka posisi pejabat asrama dan siswa/taruna senior menjadi semakin penting dalam kehidupan para siswa/-taruna selama menempuh pendidikan.
Dengan kondisi yang demikian, penyelewengan kekuasaan oleh para siswa/taruna senior semakin besar–apalagi biasanya keamanan “individual” memang relatif minim (resiko/bahaya menjadi sasaran sesama siswa/taruna memang kurang mendapat perhatian). Hal ini, tanpa disengaja akan menciptakan “kebrutalan” atau struktur pembrutalan sehingga ‘asrama 24 jam’ sering dikenal sebagai “dunia yang paling keras” tak ubahnya seperti kehidupan dalam penjara. Oleh karena itu, kehidupan dalam “asrama 24 jam”–sangat rawan dengan tindak kekerasan siswa/taruna senior terhadap siswa/taruna yunior.
Setiap penghuni asrama tidak boleh tidak harus menerima aturan yang berlaku. Di sana mereka mempelajari pola-pola kelakuan dan norma atau nilai sosial “baru”. Mereka juga harus menjadi identik serta harus loyal dengan asrama atau “korps” yang bersangkutan.
Kebebasan pribadi sangat minim, semua yang dilakukan atas nama kelompok/korps, semua sama – mulai dari jenis makanan, potongan rambut, pakaian hingga pola kelakuan. Setiap detik atau menit, tindakan dan kegiatan mereka diawasi oleh pembina, petugas atau pengawas–termasuk oleh siswa/taruna yang lebih senior.
Mereka benar-benar diasingkan dari pengaruh luar, termasuk keluarga. Mereka akan memiliki nilai-nilai bersama yang begitu kritis terhadap penciptaan rasa solidaritas di antara mereka, ditanamkan karakter tertentu, identitas kolektif dan eksklusif (menjadi warga “pilihan” atau “berbeda” dengan warga masyarakat lainnya).
Dalam kehidupan asrama, boleh dikatakan aturan-aturan yang ada lebih banyak berisi larangan, pembatasan kegembiraan atau harus menekan diri. Dalam kondisi yang demikian, membina hubungan sosial dengan sesama yunior (anggota baru), terutama dengan senior maupun pengawas/pembina menjadi sangat penting.
Bahkan bisa dikatakan bahwa menjadi anggota sebuah “klik” (menjadi anggota pengelompokan sosial, yang tak jarang melibatkan pengawas/petugas) merupakan syarat mutlak untuk mampu bertahan hingga selesai masa pendidikan.
Tanpa “klik” yang kuat, mereka akan mudah dikecam atau dieksploitasi oleh penghuni lainnya. Oleh karena itu, di antara mereka tercipta hubungan sosial yang kuat dan biasanya relatif langgeng–hingga selesai masa pendidikan pun mereka tetap dekat satu sama lain.

Hierarki Kekuasaan
Kehidupan dalam penjara, tak ubahnya seperti kehidupan dalam asrama pendidikan (asrama 24 jam). Bedanya, dalam kehidupan di penjara, para penghuni biasanya melebihi kapasitas penjara itu sendiri; fasilitas yang tersedia semuanya serba minim bahkan dapat dikatakan kurang memadai, baik makanan, kondisi kamar, fasilitas kesehatan, penerangan dan sebagainya. Dengan adanya perasaan senasib dan sepenanggungan (merasa sebagai orang yang paling miskin/sengsara), identitas kolektif pun lambat laun mulai tertanam.
Asrama pendidikan sebagai “total institution” dengan konsep sentralnya yaitu ‘pengasingan atau isolasi sosial’ secara total, jika mulai dirasakan ‘longgar’, di mana para penghuninya tidak lagi merasa terisolasi, maka fungsi “resosialisasi” pun (menanamkan pola-pola kelakuan dan norma-norma atau nilai-nilai sosial “baru”) tentu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Kegagalan penjara me-resosialisasi pola kelakuan karena tidak menjalankan konsep “isolasi total” secara konsisten. Institusi penjara berhasil menanamkan identitas kolektif yang baru, tetapi gagal merehabilitasi pola kelakuan narapidana sehingga banyak narapidana “kambuhan” atau semakin meningkatnya kualitas dan bertambah luasnya jaringan “kejahatan” mereka.
Namun, isolasi total tidaklah harus identik dengan “hierarki kekuasaan yang ketat”. Isolasi sosial secara total adalah selama berada dalam asrama, penghuni tidak boleh berhubungan sosial dengan dunia di luar asrama selama 24 jam, agar program-program re-sosialisasi bisa dijalankan dan dapat mencapai target yang diharapkan; sedangkan “hierarki kekuasaan yang ketat” hanyalah salah satu metode untuk menjalankan proses (program-program) re-sosialisasi.
Artinya, proses resosialisasi tidak harus diatur dan dijalankan melalui kekuasaan yang sedemikian hirarkis dan melibatkan siswa/taruna seniornya sebagai pengawas/pembina, agar resiko terjadinya kekerasan terhadap sesama siswa/taruna dapat dihindarkan.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI Pusat Analisa Jaringan Sosial, juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

SINAR HARAPAN 9 JULI 2008

Copyright © Sinar Harapan 2008

PKL, Keluarga Miskin, Akumulasi Aset

PKL, Keluarga Miskin, Akumulasi Aset



Oleh
Ruddy Agusyanto

Demikian marak upaya “penertiban” pedagang kali lima (PKL). Tindakan yang menyolok dari upaya penertiban ini adalah penyitaan atau perusakan aset milik PKL, padahal sumber pendapatan utama mereka adalah dari hasil pengelolaan aset tersebut. Jadi, sangat logis bila terjadi demo besar-besaran seluruh PKL se-Surabaya baru-baru ini.
Selain itu, tipe pendapatan PKL adalah “harian”, permodalannya bersifat jangka pendek dan harian juga. Aparat sering berargumen demi “keindahan dan ketertiban” dan merelokasi PKL ke daerah “baru”, yang umumnya jauh dari “keramaian” (target pasar) sehingga membutuhkan sekian waktu untuk mendatangkan pangsa pasar.
Dengan sifat permodalan PKL, jelas hal ini tidak mungkin mereka lalui karena sebelum pangsa pasar tercipta, sudah keburu kehabisan modal. Aset penduduk miskin memang tidak pernah diperhitungkan. Kita jarang sekali menggunakan konsep property untuk masyarakat miskin, bahkan mereka sendiripun tidak memahami konsep tersebut.
Tingkat kesejahteraan selalu dihitung dari jumlah pendapatan, baik dalam bentuk uang tunai, barang, atau jasa. Oleh karenanya, kebijakan sosial untuk orang miskin selalu dibangun seputar ide tentang pendapatan, yang dikaitkan dengan standar hidup rata-rata.
Asumsi dasar pemikiran ini memandang kemiskinan dan kesulitan hidup sebagai akibat dari ketidakmerataan arus distribusi sumberdaya sehingga solusinya adalah membuat arus distribusi menjadi lebih terarah kepada keluarga miskin. Bantuan yang dilakukan memang dapat mengurangi kesulitan hidup, namun tidak mengentaskan keluarga miskin dari kemiskinan.
Peningkatan pendapatan semata-mata mempertahankan budaya konsumtif sebab dalam kasus keluarga miskin pada akhirnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perut belaka.

Kreativitas dan Inovasi
Sementara itu, mayoritas keluarga di Indonesia terbiasa dan terlatih hidup dalam kondisi minus (sosialisasi sejak kecil). Seminus apapun yang tak terbayangkan, masyarakat kita tetap mampu bertahan hidup. Sebagai contoh, masih banyak warga Indonesia yang berpenghasilan Rp 10.000/hari, tetapi mampu bertahan hidup.
Sebaliknya, jika tiba-tiba dibantu oleh pihak lain sehingga penghasilannya menjadi Rp 100.000/hari, apa yang terjadi? Hidup mereka bukan jadi lebih sejahtera atau bebas dari miskin, tetapi justru menjadi lebih konsumtif dan tak jarang akhirnya terlilit hutang di sana-sini.
Hal ini tidak saja terjadi pada mereka yang tingkat pendidikannya rendah. Sebagai contoh perusahaan yang terdiri dari orang-orang profesional dalam bidangnya, yang biasanya dibayar sesuai dengan progres pekerjaan (per termin)–tetapi begitu disediakan dana 100%, apa yang terjadi? Pekerjaan tidak selesai, danapun tidak bersisa. Memang ironis, inilah “budaya kemiskinan”.
Salah satu ciri penting budaya kemiskinan adalah miskinnya “kreativitas” (untuk tujuan “inovasi). Tanpa daya kreativitas, semua akses terhadap modal, peluang atau relasi yang dimilikinya/tersedia tidak akan banyak bermanfaat bagi dirinya.
Banyak sekali orang yang mempunyai hubungan dekat dengan menteri atau konglomerat tertentu, yang seharusnya membuat mereka semua sukses atau bebas dari kondisi miskin. Realitanya tidaklah demikian. Di sekolah, orang tua dan lingkungan keluarga memacu kita untuk mengejar nilai yang baik supaya kelak memperoleh pekerjaan yang baik. Kita dipersiapkan oleh bangsa ini untuk menjadi “pekerja”. Maka, setelah lulus sekolah, kita sering bingung jika ditanya kelak ingin menjadi apa? Karena kita memang tidak dipersiapkan untuk merancang masa depan kita
Di sisi lain, kita semua sangat kreatif di saat kondisi minus agar tetap survive, namun saat berada pada batas tidak minus atau pada saat mencapai kondisi surplus, daya kreatif pun lenyap entah kemana, tidak tahu harus berbuat apa ...dan pada akhirnya hanya mampu menikmati hasil keadaan surplus yang sudah dicapai dengan penuh perjuangan itu hingga kembali pada kondisi minus.
Kita memang tidak dipersiapkan untuk mengelola kondisi “surplus”. Berbeda dengan tradisi kaum pebisnis, mereka disosialisasikan bagaimana harus survive di saat kondisi minus (efisiensi dan sebagainya) dan pada saat surplus, diajarkan bagaimana mengelola dan mengakumulasikan asetnya.
Oleh karena itu, pembuat kebijakan program pengentasan kemiskinan seharusnya lebih menitik-beratkan pada bentuk investasi dan harus mengidentifikasi potensi masyarakat miskin yang belum diberdayakan.

PKL Lebih Punya Potensi
Program peningkatkan pendapatan dan pemerataan distribusi barang dan jasa, jelas tidaklah membuat keluarga miskin bebas dari kondisi miskin karena tidak mengubah pola pikir (mindset) mereka. Oleh karena itu, tidak ada salahnya melihat sisi lain dari pendapatan yaitu sumber/asal dari pendapatan itu sendiri. Sumber pendapatan bisa dibedakan: Upah dan Gaji; Pengelolaan Aset; Pinjaman dan; Bantuan/santunan.
Keluarga miskin, sumber pendapatan utamanya dari pinjaman dan santunan karena upah (kalaupun ada dan ajeg) tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar/pokok bagi kelangsungan hidupnya. Keluarga miskin “terselubung” adalah keluarga yang sumber pendapatan utamanya mengandalkan upah dan gaji di atas UMR tapi tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya pinjaman atau santunan.
Saya sebut “terselubung” karena dengan upah dan gaji tetap membuat orang lain tidak melihat kondisi miskin yang dialaminya. Berbeda dengan keluarga non-miskin, mereka lebih mengandalkan sumber pendapatan pada “pengelolaan aset” ketimbang pada sumber pendapatan lainnya.
Dalam hal ini, sebenarnya PKL lebih mempunyai potensi dibandingkan keluarga miskin kategori lainnya untuk bebas dari kemiskinan, mereka hanya perlu dibantu agar lebih menitikberatkan pada akumulasi aset (tidak sekadar mengelolanya untuk memenuhi kebutuhan hidup/subsistence).
Program pengentasan kemiskinan saat ini mengabaikan kesejahteraan jangka panjang, demikian halnya dengan program pinjaman/kredit, keluarga miskin bekerja hanya untuk menambah pendapatan para pemilik aset sehingga tidaklah telalu salah jika dikatakan “yang kaya semakin kaya–yang miskin semakin miskin”.
Oleh karena itu, program pinjaman/kredit untuk golongan ekonomi lemah jika tidak dibarengi dengan sosialisasi akumulasi aset tidak akan bermanfaat, kecuali hanya menambah kekayaan/pendapatan para pemilik aset (termasuk institusi Bank). Dengan menitikberatkan pada akumulasi aset, diharapkan dapat mengubah pola pikir dan mendorong keluarga miskin berinteraksi dengan dunia aset, yang dapat membuatnya berpikir untuk tujuan-tujuan jangka panjang serta merealisasikannya menjadi kenyataan.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi – FISIP UI. Juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Copyright © Sinar Harapan 2008

SINAR HARAPAN, 17 JUNI 2008

Jaringan Sosial Dalam Organisasi
Oleh Ruddy Agusyanto

Manusia selalu membina hubungan sosial dengan manusia lain di mana pun dia tinggal dan hidup, tetapi manusia tidak sanggup membina hubungan atau berhubungan dengan semua manusia yang ada di sekitarnya.
Hubungan sosialnya selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu. Oleh karena itu mengapa setiap individu/manusia membina hubungan sosial dengan individu/manusia tertentu dan tidak dengan individu/manusia lainnya.
Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masing-masing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Jadi, manusia membina hubungan sosial dengan manusia lainnya tidak terjadi secara acak. Konfigurasi hubungan sosial manusia yang satu dengan lainnya ini akhirnya membentuk ‘satu kesatuan sosial’ yang bisa disebut “jaringan sosial”.
Permasalahannya, jaringan sosial itu adalah pengelompokan sosial (tidak sama dengan kelompok sosial), sehingga keanggotaannya seringkali tidak disadari oleh pelaku. Anggota jaringan sosial yang satu dengan anggota lainnya belum tentu saling mengenal. Tak seorang pun menyadari sepenuhnya atau tahu persis–dengan siapa dia berhubungan secara tidak langsung dengan orang atau sekelompok orang lain (umumnya hanya mengenal sebatas “ring satu” dari ego). Sebagai contoh, dalam jaringan pinjam-meminjam buku, Amir biasanya meminjam buku kepada Budi.
Amir dengan sadar dan tahu bahwa dirinya punya hubungan sosial dengan Budi. Tetapi Amir belum tentu tahu kalau Budi mempunyai hubungan sosial (pinjam-meminjam buku) dengan siapa saja selain dirinya.

Dibikin “Teratur”
Meskipun para pelakunya belum tentu menyadarinya, tingkah laku yang diwujudkan dalam suatu interaksi sosial itu sistematik, ada pengulangan tingkah laku untuk hal-hal yang sama dan dalam situasi yang sama, ini menandakan adanya: Keteraturan; dan “Atu-ran” yang disepakati bersama (hukum kuasi), yang membuat tingkah laku yang diwujudkan menjadi “teratur”.
Hukum kuasi tersebut mengatur saling keterhubungan masing-masing aktor/anggota jaringan-ada hak dan kewajiban yang mengatur masing-masing aktor. Dengan kata lain, hukum kuasi yang terwujud ini membatasi dan menjadi pedoman tindakan, sikap dan perilaku para anggota jaringan sosial yang bersangkutan (sebagai pedoman yang operasional untuk bertindak, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan nyata)
Pengelompokan sosial memang tidak bisa dihindarkan, akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam kehidupan sebuah organisasi, baik secara/bersifat horizontal maupun vertikal.
Namun, tidak berfungsinya sistem kontrol, monitoring dan koordinasi sebuah organisasi bukanlah akibat pengelompokan sosial semata. Pengelompokan sosial yang melahirkan “struktur sosial” atau “hukum kuasi” yang tidak mendukung “struktur formal” dan atau begitu sangat menentukan (sudah tidak lagi sekedar memberi ketidakleluasaan atau constraints ) tindakan para anggotanya - baik individual maupun kolektif - sehingga tak seorangpun berani menentang /melanggarnya.
Di lain pihak, begitu dominan-nya “struktur sosial” yang lahir dari pengelompokan sosial (jaringan sosial) ini mengakibatkan “struktur formal” organisasi tidak berlaku atau tidak bisa di-jadikan pegangan bagi para anggotanya. Seseorang berani melanggar “struktur formal” tetapi tidak berani melanggar aturan dan norma jaringan sosial.
Jaringan sosial seperti inilah yang membuat sistem Kontrol-Monitoring-Koordinasi organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga masing-masing unit sosial organisasi tidak mampu untuk tetap mengarahkan tindakan anggota-anggotanya demi tercapainya tujuan atau target yang telah ditetapkan oleh organisasi
Dengan memfokuskan diri pada ikatan-ikatan di antara individu (ketimbang kualitas yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan) mendorong kita untuk berpikir tentang ketidakleluasaan-ketidakleluasaan perilaku individual atau kolektif sebab ketidakleluasaan itu inheren dalam cara-cara hubungan sosial yang diorganisasikan.

Analisa Jaringan Sosial
Analisa Jaringan Sosial (AJS) memberikan sebuah pandangan alternatif, di mana atribut-atribut individual menjadi kurang penting dibandingkan jaringan hubungan dan ikatan yang mereka miliki dengan aktor-aktor lain di dalam jaringan.
Perselisihan dua individu yang berbeda agama dan sukubangsa bisa menjadi konflik nasional, tetapi bisa juga berhenti pada perselisihan dua individu tersebut, hal ini tergantung pada struktur jaringan sosial masing-masing. Berbeda dengan studi-studi ilmu sosial yang berasumsi bahwa atribut aktor sangat menentukan. Pendekatan ini telah membalikan arah dalam “menjelaskan banyak phenomena dunia yang nyata (real). Pintar atau bodoh, luwes atau kaku dan sejenisnya–tidak begitu menentukan keberhasilan individu.
Jaringan sosial memainkan peran kunci dalam “membeli” kesuksesan dan peformance kerja. Jaringan sosial menyediakan cara-cara kerjasama untuk memperoleh informasi, menghalangi atau memenangkan kompetisi dan termasuk mengatur serta menentukan kebijakan.
Sebagai contoh, power sesungguhnya di dalam banyak organisasi seringkali justru berada pada individu-individu anggota jaringan sosial, bukan pada individu dengan job title formal (struktur formal organisasi). Oleh karena itu pula, mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu akan memutuskan kebijakan kabinetnya sering ‘mondar-mandir’ ke DPR atau perlu melobi partai-partai politik meskipun dia dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, AJS mampu memperlihatkan bagaimana suatu aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma yang sudah mapan (bisa) diterapkan atau tidak (demikian halnya dengan aturan-aturan yang telah distrukturkan secara formal di dalam sebuah organisasi).
Dan, standar-standar yang jadi pegangan dalam kehidupan nyata (struktur sosial) membentuk kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan bagi alternatif tindakan, sikap dan perilaku, di mana standar-standar ini sebenarnya merupakan hasil tawar-menawar dari pasangan-pasangan hubungan diadik yang ada dalam jaringan sosial yang bersangkutan dan bukan secara langsung berasal dari sesuatu yang abstrak seperti kebudayaan, sistem nilai atau tatanan moral. AJS lebih mempelajari “keteraturan individual atau kolektif berperilaku” ketimbang keteraturan “keyakinan” tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku
Bila hakikat atau prinsip dari hubungan-hubungan sosial yang mengikat para aktor dalam jaringan sosial yang bersangkutan diketahui maka dapat dibuat prediksinya tentang struktur sosial yang terciptakan, jenis kontrol dan jenis-jenis pertukarannya.
Selain itu, dari perpotongan-perpotongan berbagai jaringan sosial yang terbentuk dalam organisasi, dengan masing-masing struktur sosial (hukum kuasi) yang diciptakannya dapat menjelaskan sejumlah konflik sosial, perubahan dan pengendalian di dalam organisasi (negara dan masyarakat).

Penulis adalah pengajar luar biasa dan associate researcher Pusat Kajian Antropologi – FISIP UI. Direktur Operasional Pusat Analisa Jaringan Sosial. Bukunya "Jaringan Sosial dalam Organisasi" diluncurkan Rabu ini (4/6)
di UI.

3 JUNI 2008

Copyright © Sinar Harapan 2008