Senin, 15 November 2010

KEKELIRUAN “PARADIGMATIK” PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA

Paradigma pembangunan selama ini menyebabkan “episentrum” pada kota Jakarta dan Pulau Jawa. Akibatnya, 80% industri berlokasi di Jawa, ledakan jumlah penduduk dan gedung sehingga penggunaan air tanah meningkat. Salah satu dampaknya adalah penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut sehingga banjir menjadi salah satu “ciri khas” Jakarta. Pada akhirnya, Jakarta tidak mampu lagi mengendalikan tata ruang, pelestarian lingkungan, kebutuhan permukiman, kebutuhan transportasi umum, serta tidak mampu mengatasi kemacetan dan seterusnya. Untuk mengatasi kondisi ini, berbagai program digalakkan. Program transmigrasi, percepatan pembangunan daerah tertinggal dan pengembangan pendidikan di luar Jawa, dan seterusnya. Namun, semua upaya tersebut gagal melawan kuatnya episentrum kota Jakarta dan pulau Jawa. Semua ini tidak lain adalah akibat tidak adanya kebijakan visioner selama tiga dasa warsa terakhir. Hal ini, tercermin dari rendahnya kualitas kebijakan dan implementasi kebijakan strategis dalam pengelolaan pembangunan nasional. Singkatnya, semua ini adalah akibat dari kesalahan paradigma pembangunan yang diterapkan oleh negara untuk mengelola kepentingan bangsa.
Kondisi inilah yang mendorong Tim Visi Indonesia 2033 (penggagas) menggulirkan wacana pemindahan ibukota negara. Asumsinya, pertama adalah dengan memindahkan ibukota negara akan melahirkan episentrum baru. Oleh karena itu, episentrum baru yang dianggap paling tepat adalah lokasi yang secara geografis memang merupakan “titik sentral” dari “lokasi” sebagian besar kawasan tertinggal dan kawasan pinggiran. Keberadaan ibukota negara di “titik sentral” nusantara dianggap akan memudahkan pemerintah menata kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa. Untuk mendukung upaya tersebut, penggagas juga menyiapkan beberapa rencana tindakan strategis di bidang ekonomi, pembangunan kawasan, pemerintahan, politik, hukum dan kebudayaan yang kesemuanya bergerak saling mendukung. Asumsi kedua, dengan “memindahan ibukota negara akan mampu membalik paradigma pembangunan”. Singkatnya, dengan memindahkan ibukota negara dianggap dapat menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara yang kompleks di atas.
Asumsi dasar dalam wacana yang ditawarkan, tanpa disadari penggagas telah melakukan kesalahan mendasar secara “paradigmatik” dalam memahami esensi dari “realita” persoalan. Paradigma adalah “kerangka pikir” (point of view) yang digunakan untuk merumuskan “kepentingan bangsa” melalui “kebijakan-kebijakan pembangunan” yang dihasilkannya. Artinya, “episentrum” kota Jakarta dan pulau Jawa adalah akibat dari “kerangka pikir” yang digunakan untuk merumuskan paradigma pembangunan. Oleh karena itu, asumsi pemindahan titik episentrum negara akan menyelesaikan semua permasalahan bangsa adalah keliru. Kesalahan “paradigma pembangunan”lah yang menyebabkan kota Jakarta tidak mampu menahan “beban” yang diakibatkannya dan tidak mampu menjalankan perannya sebagai ibukota negara. Ibukota adalah “pusat kebijakan pembangunan” bukan sebagai “pusat kegiatan pembangunan”.
Selanjutnya, jika paradigma pembangunan dianggap “keliru” maka secara logis bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan yang dihasilkannya juga keliru. Demikian halnya dengan beberapa masalah bangsa yang telah disinggungnya, seperti persoalan nation building, kemiskinan, ketidakadilan, pemerataan pembangunan dan seterusnya seharusnya dilihat pula sebagai akibat dari kesalahan paradigma pembangunan, bukan akibat dari letak ibukota negara berada di titik sentral nusantara atau tidak.
Sementara itu, solusi yang ditawarkan adalah pemindahan ibukota negara. Mengapa bukan sebuah “paradigma pembangunan” yang baru? Sungguh ironis, solusi yang ditawarkan masih tetap menggunakan kerangka pikir episentrum. Artinya, penggagas masih menggunakan paradigma pembangunan yang sama. Lalu, apakah dengan memindahkan ibukota negara akan menyelesaikan persoalan bangsa jika masih menggunakan paradigma pembangunan yang sama? Oleh karena itu pula, penggagas tidak mempersoalkan implementasi kebijakan. Meskipun tertulis dalam dalam usulannya, tapi tidak ada dalam analisisnya. Dengan kata lain, penggagas beranggapan bahwa dalam implementasi kebijakan pembangunan sudah tidak ada persoalan. Apakah memang tidak terjadi penyimpangan dalam implementasinya? Jika demikian, lalu bagaimana dengan budaya birokrasi yang ada saat ini sehingga banyak kasus yang ditangani oleh KPK?
Permasalahan mendasar bangsa ini adalah rasionalitas kepentingan bangsa belum menjadi rasionalitas paradigma pembangunan. Justru sebaliknya, yang terjadi seringkali rasionalitas kepentingan bangsa hanya diterapkan sebatas tindakan politis (politisasi kepentingan bangsa) demi tujuan-tujuan tertentu. Hal ini semakin menambah kompleksnya persoalan bangsa. NKRI sebagai negara-bangsa sudah seharusnya menempatkan rasionalitas kepentingan bangsa berada di atas semua kepentingan lainnya.
Singkatnya, penggagas sebenarnya tidak menawarkan solusi , yaitu “paradigma pembangunan yang baru” sebagai gantinya paradigma pembangunan yang lama, yang dianggapnya keliru dan menjadi penyebab semua persoalan yang melanda bangsa ini. Penggagas hanya menawarkan pemindahan “episentrum” kota Jakarta ke Kalimantan dengan kerangka pikir “spasial-geografis” (titik sentral nusantara). Perlu disadari bahwa dengan memindahkan ibukota negara bukan berarti paradigma pembangunan akan “berubah” atau “berganti” dengan sendirinya. Justru sebaliknya, penggagas hanya memindahkan masalah kota Jakarta ke calon ibukota negara yang baru. Dalam kurun waktu tertentu, ibukota negara yang baru dapat diprediksikan akan mengalami hal serupa dengan kota Jakarta karena akar permasalahannya tidak pernah diselesaikan. Lalu “apakah kita akan pindah ibukota negara lagi? Ini namanya pemerataan masalah, bukan pemerataan kesejahteraan. Penggagas terjebak dalam paradoks paradigma pembangunan yang sama. Selain itu, wacana ini secara tidak langsung justru mensosialisasikan budaya “lari dari masalah”.

Ruddy Agusyanto
Pengajar Antropologi FISIP UI dan Pengajar PTIK
Institut Antropologi Indonesia (IAI) dan Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS)

Sabtu, 24 Juli 2010

FENOMENA DUNIA MENGECIL: Rahasia Jaringan Sosial




PENGANTAR


Tindakan-sikap-perilaku menyimpang tidak pernah disosialisasikan dan memang tidak terdapat dalam standar kehidupan yang berlaku umum (struktur sosial dan kebudayaan), tetapi mengapa justru dominan dalam kehidupan manusia. Hampir semua orang tua dan lingkungan sekolah serta pemuka agama mensosialisasikan bahwa tindakan menyimpang tersebut itu tidak patut dilakukan atau harus dihindari, tetapi pada kenyataannya apa yang disosialisasikan itu tidak menjamin terwujudnya tindakan, sikap dan perilaku seperti apa yang disosialisasikan (diajarkan) tersebut. Pencurian, mabuk-mabukan, penipuan, juga tindak korupsi dominan dalam kehidupan nyata. Bahkan, penyimpangan atau pelanggaran juga terjadi secara kolektif.

Bagaimana ide menyebar dan menjadi trend budaya, sementara di banyak penyebaran ide/norma yang terencana justru seringkali sulit terinstitusionalisasi? Semua ini, konfigurasi hubungan sosial (jaringan sosial) adalah kuncinya. Berbeda dengan analisa-analisa yang menggunakan asumsi bahwa sosialisasi - norma, nilai, aturan - menentukan behavior, analisa jaringan sosial melihat pada struktur dan komposisi hubungan-hubungan sosial atau ikatan-ikatan sosial yang justru mempengaruhi atau menentukan norma-nilai-aturan mana yang ‘boleh’ atau ‘tidak boleh’ di sosialisasikan. Orang-orang yang mempunyai posisi-posisi tertentu dalam jaringan hubungan sosial, yang sering disebut sebagai “agen perubahan” dalam berbagai kejadian justru menjadi penghambat terjadinya perubahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak orang tua yang kaget atau tidak percaya saat dipanggil oleh Polisi bahwa anaknya tertangkap sedang pesta narkoba padahal mereka dididik dengan baik, di sekolahkan di sekolah ‘pilihan’ dan diberi bekal pengetahuan ‘agama’ yang baik oleh orang tua (dan sekolah) mereka.

Manusia ternyata tidak takut kepada Tuhannya atau aturan-norma-nilai yang baku apa pun (seperti negara atau pun agama). Manusia takut kepada orang lain, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan sosial dengan dirinya. Oleh karena itu, pelanggaran seperti perselingkuhan misalnya, pelaku (suami atau istri) selalu menghindar atau bersembunyi dari orang-orang yang punya hubungan dengan dirinya atau dengan pasangan resminya. Oleh karena itu pula, mereka yang selingkuh seringkali janjian bertemu dengan pasangan selingkuhannya di lokasi yang relatif jauh - Singapura misalnya – yang sangat kecil kemungkinannya orang-orang yang punya hubungan sosial dengan dirinya dan pasangan resminya tersebut ‘beredar’. Bukan berarti di Singapura itu tidak ada manusia. Dengan tidak adanya orang-orang yang punya hubungan sosial dengan dirinya dan pasangan resminya, pelaku merasa aman. Demikian halnya dengan tindakan-sikap-perilaku menyimpang lainnya.

Masyarakat merupakan satu kesatuan sosial yang dibangun atas pasangan-pasangan hubungan sosial (diadik) yang intim – tak sekedar saling kenal. Keluarga sebagai unit sosial terkecil dibangun atas hubungan sosial suami-istri (laki-laki dan perempuan). Oleh karena itu, dalam sebuah masyarakat menunjukkan kemiripan tindakan, sikap dan perilaku para warganya. Melalui pasangan-pasangan hubungan sosial inilah terjadi saling sosialisasi atau reproduksi dan rekonstruksi aturan/hukum, norma, nilai, pengetahuan, keyakinan – sebagai pedoman untuk dan bagi tindakan, sikap dan perilaku.

Oleh karena itu pula, dalam proses pemenuhan kebutuhan, manusia selalu membutuhkan bantuan dan kehadiran manusia lainnya – dengan membina hubungan sosial. Hubungan sosial, pada akhirnya bisa dilihat sebagai semacam “pipa” yang bisa dialiri oleh berbagai “muatan” – seperti informasi, materi, sumberdaya, pengaruh, ide dan lain-lain. Atas dasar ini, manusia dalam mencapai tujuannya atau memenuhi kebutuhan dan keinginannya selalu memanfaatkan hubungan-hubungan sosial yang dimilikinya - diikuti dengan konfigurasi saling keterhubungan (jaringan hubungan sosial) tertentu. Pencapaian tujuan yang berbeda akan menunjukkan konfigurasi jaringan hubungan sosial yang berbeda pula.

Namun, dalam kesempatan ini, saya merasa perlu meluruskan bahwa jaringan sosial berbeda dengan kelompok sosial. Hal ini perlu saya sampaikan sebab seringkali jaringan sosial disamakan dengan kelompok sosial. Dalam jaringan sosial, para anggotanya belum tentu menyadari keanggotaannya (identitas kolektif). Seseorang hanya peduli dengan siapa dirinya berhubungan sosial, tetapi tidak menyadari dan tidak tahu bahkan cenderung tidak peduli dengan siapa teman-temannya itu berteman. Oleh karena itu, kita sering menjumpai kejadian atau peristiwa di mana – setelah berkenalan dan relatif lama berbincang-bincang dengan seseorang, ternyata mereka mempunyai teman (bahkan teman dekat) yang sama…inilah rahasia jaringan sosial.

Sejalan dengan perkembangan (revolusi lebih tepatnya) teknologi informasi, interaksi antar manusia menjadi semakin intens sehingga makin meyempurnakan hubungan sosial – dalam arti mampu mempercepat dan memperluas serta meningkatkan kualitas hubungan sosial. Jarak fisik (geografis) dan waktu seolah-olah sudah tak jadi kendala lagi. Semua manusia di bumi ini bisa dengan bebas berinteraksi dan membina hubungan sosial satu sama lain sehingga kita seolah-olah hidup di sebuah “desa global” (small world). Namun, hal ini bukan berarti bahwa ruang fisik/geografis dan ruang sosial menjadi tidak penting. Jaringan sosial justru seringkali dibentuk berdasarkan ruang geografis dan sosial. Dalam banyak hal, kita lebih dimungkinkan berkenalan dan membina hubungan dengan seseorang yang tinggal di sekitar kehidupan kita, atau lebih mungkin mengenal seseorang dari lingkungan sosial kita. Sebagai contoh, meski dalam daftar teman kita di dunia virtual, misalnya facebook – meski terdapat ribuan nama - kita hanya berinteraksi atau berhubungan secara intens dengan beberapa orang saja (secara berulang atau teman-teman yang itu-itu saja). Hal ini dikarenakan bahwa sekedar kenal saja (tanpa kualitas atau belum menjadi hubungan sosial) tidak cukup untuk mengikat kita menjadi satu kesatuan sosial (jaringan sosial). Singkatnya, fenomena dunia mengecil adalah fenomena jaringan, revolusi informasi hanya mempercepat dan menyempurnakannya. Sehubungan dengan hal ini, Manuel Castells, seorang ahli teori/filsuf Spanyol – menegaskan bahwa revolusi informasi ini mendefinisikan transformasi bagi eksistensi manusia – ia menyebut dunia global kontemporer saat ini sesungguhnya adalah dunia jaringan. Jaringan sosial memantapkan sekaligus mengabsahkannya.

Dunia telah berubah, masyarakat dunia di masa depan adalah masyarakat jaringan seperti yang ditegaskan oleh Castells. Dengan demikian, hal yang paling mendasar dalam kehidupan ini adalah memahami pentingnya jaringan sosial di mana informasi/ide, pengaruh, dan sumber daya mengalir. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan ini. Kita selalu menjadi bagian dari jaringan sosial – di manapun kita hidup dan tinggal. Memang, terkadang jaringan sosial menguntungkan kita, dan mungkin merugikan kita di saat yang lain. Setiap tindakan-sikap-perilaku kita dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan-sikap-perilaku orang lain. Oleh karena itu, di era teknologi-informasi (dan komunikasi) ini, di mana semua ‘entitas’ saling terhubung satu sama lain sehingga berpikir dengan menggunakan pola pikir jaringan sudah selayaknya menjadi suatu keharusan bagi kita, tak terkecuali bagi siapa pun.

Atas dasar itu pula, buku yang mengungkap Rahasia Jaringan Sosial ini sengaja disajikan dalam format semi akademik (semi popular) agar bisa menjangkau semua kalangan – tak hanya kalangan akademisi. Selain itu, untuk menghindari kesalahan interpretasi, seperti power (jika diterjemahkan menjadi kekuasaan sepertinya kurang tepat) sehingga dalam buku ini berusaha untuk tetap mempertahankan konsep-konsep atau istilah-istilah tertentu.


Jakarta, April 2010
Penulis

Sabtu, 15 Mei 2010

Santri jawa campur minahasa

•TEMPO, 24 Agustus 1991

Anak-cucu Kyai Modjo -- panglima Perang Diponegoro -- bertahan sebagai orang Jawa dan santri di tengah mayoritas orang Minahasa yang Kristen. Tak ada konflik sosial karena beda suku. KAMPUNG JAWA TONDANO: RELIGION AND CULTURAL IDENTITY Penulis: Tim G. Babcock Penerbit: Gadjah Mada University Press, 1989, 328 halaman NEGARA yang tak punya masalah suku bangsa atau etnis mungkin bisa dihitung dengan jari. Namun, berbagai penelitian antropologis membuktikan bahwa "perbedaan" identitas suku bangsa sendiri sama sekali bukan pencetus konflik. Ini antara lain dibuktikan Tim G. Babcock dalam bukunya Kampung Jawa Tondano, Religion and Cultural Identity (KJT). Penelitian tentang KJT di Minahasa itu sendiri dilakukan pada 1974 sampai 1975, dan dirumuskan dalam sebuah disertasi pada 1981 di Universitas Cornell, Wisconsin, Amerika Serikat. Orang KJT, dalam penelitian itu, merupakan minoritas yang unik di Indonesia. Sebagai orang Jawa, ia minoritas di daerah itu. Tapi secara nasional ia mayoritas. Orang KJT tinggal di sebuah kampung kecil dekat Kota Tondano, Sulawesi Utara, yang didominasi orang Minahasa yang beragama Kristen. Warga KJT menjalankan syariat Islam dan tak melepaskan adat Jawa yang mereka peroleh dari nenek moyang, Kyai Modjo -- salah satu panglima Pangeran Diponegoro -- dan para pengikutnya. Sejarah mereka memang menarik. Babcock secara tepat mengaitkan sejarah kehidupan orang KJT dengan kegiatan keagamaan mereka. Babcock, seperti juga Clifford Geertz, menunjukkan pentingnya aspek kehidupan itu. Orang KJT punya status ekonomi yang cukup tinggi, sebagai pihak yang dibutuhkan jasa dan karyanya. Gaya hidup mereka sangat dinamis, selalu ada kegiatan yang cukup besar dan berani. Berbeda dengan para "santri" Jawa, orang KJT sangat tradisionalis. Praktek keagamaan mereka, seperti upacara peralihan, upacara tahunan, dan upacara penyembuhan/perlindungan, mengandung unsur-unsur heterodoks dan bersifat sinkretis. Lalu, mengapa orang KJT tak mengambil sikap reformis yang secara logis lebih cocok dengan gaya hidup mereka? Jawaban pertanyaan inilah yang ditemukan Babcock dalam sejarah hidup mereka. Selama lebih dari satu abad, sejak masa pembuangan Kyai Modjo pada 1830 sampai 1974/75, penduduk KJT bergaul baik dengan para tetangga dan melakukan asimilasi. Bentuk rumah bergaya Minahasa. Bahkan mereka beramalgamasi (bercampur), yang mulanya tak aneh karena para pengikut Kyai Modjo semuanya pria. Namun, ada satu hal yang tak berubah, yakni agamanya. Dalam lingkungan orang Kristen, mereka tetap Islam dan menjadi Islam tradisional yang "santri". Babcock membuktikan hal ini dengan menggunakan model " santri-abangan-priayi". Beda dengan penelitian Clifford Geertz di Jawa, yang menilai ketiga varian agama itu sebagai sistem sosial yang utuh, Babcock tak menemukannya di lingkungan KJT. Tak ada yang namanya "abangan" dan "priayi" di kalangan pengikut Kyai Modjo di sana. la menyimpulkan bahwa "santri" punya arti lain di KJT. Varian itu bukan cuma atribut, tapi sudah menjadi identitas suku itu. Namun, perlu dipertanyakan, apakah orang KJT itu orang Islam Jawa atau orang Jawa yang Islam. "Ke-Jawa-an" sering mereka tinggalkan sebagai atribut suku bangsa, terutama dalam hubungan dengan orang Minahasa. Tapi apakah hal itu berarti bahwa "santri" telah menggantikan identitas suku bangsa Jawa secara total? Identitas suku bangsa akan muncul bila terjadi interaksi dengan suku bangsa lain. Sayang, Babcock tak menjelaskan interaksi ini lebih mendalam. Sehingga kita tak puas dengan pernyataannya tentang penggantian identitas suku bangsa dari orang Jawa menjadi orang muslim. Bila identitas suku bangsa orang KJT telah berganti menjadi orang Muslim, maka dalam setiap situasi interaksi antarsuku bangsa seharusnya didefinisikan sebagai hubungan antarumat agama. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Mereka sering mengundang orang-orang dari suku bangsa lain dalam kegiatan agama. Mereka menonjolkan kesamaan agamanya. Namun, suku lain itu toh tak bisa menjadi Jawa atau sama dengan orang KJT. Interaksi antarsuku bangsa terjadi dalam situasi-situasi tertentu. Situasi sosial yang terjadi di pasar, atau kegiatan ekonomi lainnya, sering dipergunakan sebagai wadah interaksi antarsuku bangsa di Indonesia. Dalam situasi-situasi ini dapat "dimanipulasi" secara politik, sehingga hal itu diatur oleh struktur sosial yang lebih besar. Orang KJT, misalnya, dapat mendefinisikan situasi sosial jual-beli sebagai hubungan antara dua umat agama. Untuk itu, mereka memakai struktur sosial negara Indonesia. Secara keseluruhan, penelitian Babcock ini amat menarik. Ia menjelaskan bagaimana sebuah minoritas berusaha mempertahankan perbedaan suku bangsa yang menguntungkan bagi mereka dengan cara memanipulasi identitas dirinya pada situasi-situasi sosial dalam berbagai kesempatan. Sayang, Babcock melangkah terlalu jauh dengan kesimpulannya yang membingungkan itu. Terlepas dari kritik tersebut, peneliti Kanada ini, selain mendalami orang KJT dan pembangunan di Indonesia, juga mempelajari Cina. Ia membuktikan dengan jelas bahwa konflik antarsuku bangsa bukanlah bersumber dari perbedaan identitas. Orang Minahasa pun pernah konflik dengan KJT. Tapi penyebabnya bukanlah ke-lslam-an atau ke-Jawa-an. Ruddy Agusyanto* * Antropolog, pengajar antropologi FISIP-UI

Jumat, 26 Februari 2010

Oposisi dalam Selimut Koalisi

Oleh: Ruddy Agusyanto
Sinar Harapan, 24 Feb 2010


Setelah menang mutlak dalam pemilihan presiden (pilpres), se¬harusnya SBY-Boe¬diono percaya diri bahwa suara atau dukungan yang diperolehnya dari rakyat adalah legitimate.

Dengan de¬mikian, tidak seharusnya pula SBY-Boediono mencoba me¬rangkul partai-partai politik yang tidak masuk menjadi anggota koalisinya (oposisi) hanya demi (lebih) menguatkan koalisi yang sudah ada agar menjadi “sempurna”.
Apa yang terjadi? Sejak pelantikan kabinet hingga 100 hari hingga hari ini, pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II di bawah pimpinan SBY-Boediono sepertinya tiada hari tanpa guncangan politik–mulai dari kasus KPK vs Kepolisian dan Kejaksaan, Bank Century, hingga isu impeachment.
Padahal, jika dilihat dari koalisi politik yang dibangun SBY-Boediono, hampir tidak menyisakan ruang bagi oposisi. Lalu, selama sejarah sejak berdirinya negara Indonesia, koalisi yang dibangun oleh pemerintah, koalisi Kabinet Indonesia Bersatu II ini adalah yang terlengkap mendapat dukungan dari berbagai parpol yang ada. Akan tetapi, mengapa pula koalisi yang tanpa cela ini justru merupakan pemerintahan yang paling “labil” selama ini?
Hal ini mengingatkan saya pada konsep masyarakat majemuk yang dicetuskan oleh Furnival (1944). Dia menggambarkan masyarakat Indonesia saat itu terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa dengan kebudayaan yang berbeda-beda–saling bertemu di pasar. Di luar arena pasar, masing-masing hidup dalam komunitasnya masing-masing.
Pertemuan/interaksi di pasar adalah murni berdasar¬kan kepentingan yang relatif konkret seperti mendapatkan barang (jual-beli). Setelah kepentingan masing-masing diperoleh, interaksi atau hu-bungan sosial yang ada juga selesai sampai di situ. Artinya, jaringan hubungan sosial yang terbentuk ini adalah berdasar¬kan atau diatur oleh kepenti¬ngan para pihak yang terlibat di dalamnya. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia saat itu hanya ada di “pasar”. Masing-masing kelompok suku bangsa tidak terintegrasi dalam “ma¬syarakat Indonesia”.
Dalam paradigma jaringan sosial, interaksi dan hubungan sosial yang terjadi “di pasar” tersebut dinamakan “jaringan kepentingan”. Jaringan tipe ini terbentuk atas dasar hubu¬ngan-hubungan sosial yang ber¬makna pada “tujuan-tu¬juan” tertentu yang ingin dicapai para pelaku yang terlibat di dalamnya. Bila tujuan-tujuan tersebut sifatnya spesifik dan konkret—seperti memperoleh barang, pelayanan, pekerjaan dan sejenisnya—setelah tu¬juan-tujuan tersebut tercapai biasanya hubungan-hubungan tersebut tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu, struktur sosial yang terbentuk relatif labil dan sarat dengan ruang kosong untuk saling memanipulasi antara para pihak yang terlibat di dalam jaringan yang bersangkutan. Kita melihat banyak kemungkinan si pelaku di dalam jaringan tersebut me¬manipulasi hubungan-hubu-ngan sosial yang dimilikinya atau saling memanipulasi guna mencapai tujuan-tujuannya.

Belum Ideologis
Demikian halnya dengan koalisi yang dibangun pemerintahan SBY-Boediono saat ini. Hal ini (struktur sosial) diper¬kuat oleh kenyataan bahwa parpol yang ada di Indonesia belum merupakan parpol yang bersifat ideologis. Oleh karena itu pula, seorang anggota parpol tertentu bisa mengatakan bahwa “Lho, yang berkoalisi kan parpol kami dengan SBY-Boediono, bukan dengan Partai Demokrat di mana SBY sebagai anggota dan pelindung Partai Demokrat?”
Masing-masing parpol ang¬gota koalisi tidak terintegrasi satu sama lain dalam koalisi yang dibentuk, SBY-Boediono dan Partai Demokratnya tak mampu mengintegrasikannya. Mereka berjalan dengan agenda parpolnya masing-masing. Kenyataannya, anggota parpol koalisi tidak bisa diatur se¬penuhnya oleh koordinator koalisi, yaitu Partai Demokrat.
Parpol anggota koalisi bah¬kan berani secara terang-terangan merasa tak ada kaitannya antara sikap kritisnya dengan koalisi di kabinet. Hal ini menunjukkan bahwa Partai Demokrat sebagai parpol pemimpin koalisi tidak bisa mengendalikan parpol-parpol anggota koalisinya, yang juga menunjukkan bahwa koalisi yang dibentuk tidak terintegrasi, seperti konsep ma¬sya¬rakat majemuknya Furnival.
Selain itu, dirangkulnya par¬pol-parpol oposisi dan lawan-lawan politiknya bertujuan untuk masuk dalam koalisi “susulan” demi menyempurnakan kekuatan atau kesolidan pemerintahan yang dipimpinnya–dengan asumsi bahwa akan bisa meminimalkan “gang¬¬¬guan” jalannya proses ke-pemimpinannya selama lima tahun.
Dengan masuknya lawan politik dan parpol oposisi ke dalam koalisi pemerintahan, tentu saja hal ini membuat sia¬pa oposisi atau koalisi—lawan atau kawan—menjadi “kabur” batas-batasnya. Ibarat me¬ngundang “musuh” masuk ke dalam “rumah”, yang akhirnya menjadikan tuan rumah mempunyai ”musuh dalam se¬limut”.
Akibatnya, sulit bagi SBY-Boediono dan Partai Demokrat untuk mengidentifikasi apakah tindakan atau langkah-lang¬kah yang diambil oleh seluruh anggota koalisi yang dibentuknya, mendukung pemerintahannya atau tidak. Ini membutuhkan energi yang relatif besar, karena sulit membeda¬kan mana yang dukungan dan mana yang oposisi seperti yang diungkapkan oleh Sekjen Par¬tai Demokrat, “…sebagai ba¬gian dari koalisi seharusnya partai-partai memiliki etika dalam berkoalisi. Apabila ada serangan politik, hal itu se¬harusnya hanya datang dari partai oposisi.”
Tidak hanya itu, bahkan tindakan dan sikap oposisi ini bisa memengaruhi sikap ang¬gota-anggota koalisi yang lain, karena dalam sebuah jaringan sosial terjadi saling sosialisasi di antara para anggota ja¬ringan. Sebaliknya, tindakan “tuan rumah” juga akan mudah terbaca oleh “oposisi” yang sudah berada dalam koalisi. Artinya, koalisi ini menjadi semakin rapuh.

Kualitas Hubungan
Semua sikap dan tindakan para anggota koalisi selalu punya jawaban bahwa sikap dan tindakan yang mereka am¬bil adalah untuk mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Misalnya, dalam kasus Bank Century, dengan statement bahwa, “Kami justru mendukung kebijakan pemerintah SBY-Boediono yang menca¬nangkan pemerintahan bersih atau antikorupsi”. Meski di dalamnya terkandung tujuan-tujuan tertentu di mana mereka sebenarnya bertindak sebagai oposisi—terlindungi dengan bungkus “mendukung pemerintahan antikorupsi.” Tindakan sebagai oposisi bisa terlindungi karena para oposan ini sudah berada dalam selimut koalisi.
Koalisi tidak cukup hanya mengandalkan ikatan pertu¬karan kepentingan semata. Semakin spesifik dan konkret pertukaran kepentingan yang dibangun, struktur sosial (ikatan koalisi) terbentuk juga semakin labil. Koalisi perlu membangun hubungan-hubu¬ngan dengan muatan power dan sentiment (emosi) untuk mengintegrasikan anggota-ang¬gota koalisinya. Sebab, ke-teraturan dalam kehidupan sosial manusia—tindakan, si¬kap dan perilaku, baik di dalam situasi yang terstruktur mau¬pun yang tidak—sebenarnya tergantung pada kualitas hu¬bungan-hubungan sosial yang mengikat para pihak terkait.
Hubungan-hubungan so¬sial yang dibangun seharusnya adalah hubungan yang dekat dan menyatu sehingga lahir saling kontrol yang relatif kuat antaranggota dalam koalisi. Ini akan memudahkan lahirnya nilai-nilai dan norma-norma yang mengembangkan kontinuitas pola-pola jaringan hu-bungan yang relatif stabil, se¬hingga menghasilkan rasa solidaritas. Koalisi memerlukan kualitas hubungan sosial untuk memelihara ikatan-ikatan so¬sial yang dibangunnya.

Penulis dari Pusat Analisis Jaringan Sosial dan Institut Antropologi Indonesia, Pengajar PTIK dan Pengajar Luar Biasa Antropologi FISIP UI.