Sabtu, 05 September 2009

JARINGAN TERORIS

Jumat, 04 September 2009 13:41
SINAR HARAPAN
Jaringan Sosial Teroris
OLEH: RUDDY AGUSYANTO

Aksi teror bom semakin menggelisahkan banyak orang, tak hanya di Indonesia tetapi juga dunia.


Aksi teror mereka hampir bisa dibilang selalu berhasil – dalam arti mengeksekusi target-target peledakan bom yang mereka inginkan. Sepertinya kapan saja mereka inginkan dan mana saja yang akan dijadikan target selalu berhasil mereka eksekusi. Mengapa mereka sedemikian hebat dan mengapa pula satuan antiteror banyak negara sulit mendeteksi atau melacak gerakan mereka agar bisa men-cegah aksi-aksi peledakan bom mereka.
Dalam kasus teror bom di Indonesia, teror adalah sebuah taktik yang efektif bagi pihak yang lebih lemah untuk menghadapi lawan yang lebih kuat dalam sebuah konflik – baik dari segi finansial, peralatan, jumlah anggota dan seterusnya – meski dalam kasus lain bisa tidak demikian. Oleh karena itu, peperangan tidak terjadi secara terang-terangan dalam arti berhadap-hadapan, melainkan secara “gerilya”. Oleh karena itu pula seorang teroris akan berperilaku dan beratribut normal selayaknya warga pada umumnya. Dia akan ketahuan sebagai teroris ketika melaksanakan (eksekusi) misinya.
Jadi, tidaklah mengherankan jikalau teman, sahabat, keluarga seorang teroris akan terkejut karena tidak ditemui tanda-tanda yang mencurigakan sebelumnya. Dalam hal ini, atribut tidak bisa dijadikan patokan untuk mendeteksi pelaku teror – karena mereka tampak normal (cenderung menghindari “munculnya perbedaan”). Oleh karena itu pula mereka hampir selalu berhasil mengeksekusi target terornya (pengeboman). Mereka akan bisa dilacak setelah mengeksekusi misinya – karena baru bisa diketahui atributnya.
Produk dari aksinya adalah teror seperti ketakutan, perusakan dan intimidasi secara massal. Targetnya bisa random atau selektif. Target random untuk target yang mempunyai peluang yang mudah dieksekusi. Sedangkan target selektif, biasanya yang merupakan representasi simbolik dari pihak lawan atau representasi dari “tuntutan” yang jadi tujuan perjuangan terorisme. Maka, target bom bunuh diri tidak selalu mencerminkan target utama dari perjuangan terorisme. Pesan yang ingin disampaikan, baik melalui target random ataupun selektif, adalah yang mampu menghasilkan publisitas besar. Di sini pula, tanpa disadari media massa ikut ambil bagian. Selain bertujuan menyampaikan pesan untuk “lawan” (agar memenuhi “tuntutan”-nya), bagi jaringan teroris sendiri adalah untuk memelihara semangat “perjuangan” dan solidaritas sosial di antara mereka.

Lingkungan Sosial Seideologi
Dalam menjalankan semua misinya dan demi keselamatan perjuangan mereka, perspektif jaringan sosiallah yang tepat untuk menjalankan semua operasinya – mulai dari finansial, persiapan peralatan hingga perekrutan para eksekutor (peledak bom bunuh diri). Rahasia utama dari prinsip jaringan adalah manusia biasanya hanya peduli dan tahu pasti kepada siapa dia berhubungan langsung (alter), tetapi tidak peduli dengan siapa saja para alternya membina hubungan sosial. Oleh karena itu, dalam sebuah jaringan sosial, meskipun mereka saling berhubungan satu sama lain (hubungan tak langsung melalui para alternya) sering kali tidak mengenal satu sama lain dan belum tentu mereka merasa (secara sadar) sebagai anggota dari jaringan sosial yang sama. Ini pula sistem yang digunakan untuk merekrut para eksekutor peledakan bom bunuh diri dan para perantara.
Orang-orang yang direkrut sebagai eksekutor dan perantara tidak termasuk atau bukan anggota jaringan sosial teroris. Oleh karena itu, merekalah yang paling mudah dideteksi atau dilacak. Mereka tidak mengenal para anggota jaringan teroris sesungguhnya. Prinsip jaringan inilah yang menyelamatkan mereka dari pelacakan “lawan” (satuan antiteror), baik dari sisi keanggotaannya maupun rencana-rencana aksi teror mereka.
Jaringan sosial juga berguna untuk menyebarkan “ideologi perjuangan” mereka. Semakin lama semakin banyak warga (aktor) yang tanpa sadar telah mengadopsi “ideologi perjuangan” mereka sehingga semakin berhasil pula mereka membentuk lingkungan sosial yang se-”ideologi”. Jaringan telah mengubah aktor-aktor (dalam artian mengadopsi kebiasaan atau mengembangkan sebuah sikap) - seperti formasi sikap sosial, pengaruh sosial, serta peluang - homogenitas dalam sikap, keyakinan dan praktik-praktiknya. Hal ini memudahkan aktivitas perjuangan, selain juga sebagai “tempat” persembunyian yang aman – karena lingkungan sosial yang seideologi tentu akan menjaga dan memelihara mereka. Oleh karena itu, mereka sangat sulit ditemukan.
Berikutnya adalah akses, yaitu akses informasi untuk menentukan target-target dari aksi teror bom bunuh diri (melalui perantara-perantara yang diciptakannya), seperti informasi tentang aktivitas apa yang akan dilakukan oleh para pejabat dari pihak musuh, siapa saja yang terlibat dalam aktivitas tersebut, di mana dan kapan aktivitas tersebut dilaksanakan. Mereka sudah menyebarkan “aktor-aktor perantara” ke dalam berbagai lingkungan sosial (melalui penularan ideologi perjuangan dan pembentukan lingkungan sosial). Setelah mereka dapatkan dan ditentukan targetnya maka selanjutnya tinggal merekrut para eksekutor untuk mengeksekusinya.

Indonesia Tempat yang Aman
Di Indonesia sudah terbentuk lingkungan sosial seideologi karena penularan sosial telah berjalan mulus dalam kurun waktu yang panjang. Oleh karena itu, mereka juga telah memiliki modal struktural dan akses power sebab dalam konsep jaringan, seorang aktor (jaringan teroris) mampu meraih kesuksesan (apa yang diinginkan) karena ia dapat mengakses sumber daya yang dikontrol/dikuasai oleh para alternya, termasuk informasi, uang, kekuasaan, dan bantuan materi.
Dalam mengoperasikan konsep jaringan, mereka memanfaatkan kelemahan-kelemahan Indonesia sebagai sebuah negara multikultural di mana masih banyak terjadi ketidakadilan (rawan disintegrasi), selain karena kemudahan membuat identitas ganda (kartu tanda pengenal seperti KTP, SIM, paspor dan sejenisnya) — apa pun bisa dilaksanakan karena lemahnya koordinasi antardepartemen peme-rintahan—bukan karena masalah ada atau tidaknya hu-kum/undang-undang bagi teroris (yang sanksinya “berat”) sebab para eksekutor teror bom bunuh diri tidak takut mati. Terorisme dan jaringan teroris menjadi betah atau memilih Indonesia sebagai wilayah operasi perjuangan karena Indonesia merupakan tempat yang aman bagi operasi perjuangan mereka.
Selama kelemahan-kelemahan tersebut tidak segera diatasi maka selama itu pula kita selalu dihantui aksi teror, karena paling tidak akan menghambat gerak atau mempersempit “peluang-peluang” bagi bekerjanya prinsip jaringan yang diterapkan. Kita harus segera mengkaji untuk mengidentifikasi “pesan-pesan” yang disampaikan melalui aksi-aksi teror mereka guna mengidentifikasi content yang mengalir dalam jaringan sosial mereka sesungguhnya. Dengan demikian, bisa diidentifikasi people (para anggota jaringan teroris) sebab ikatan-ikatan sosial dalam sebuah jaringan sosial dapat dilihat, secara eksplisit, seperti pipa saluran [conduits] melalui mana informasi dan sumber daya itu mengalir – “we use content to find people, we use people to find content”, kata Peter Morville.

Penulis adalah Direktur Operasional Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS), Direktur Eksekutif Institut Antropologi Indonesia (IAI). Pengajar Antropologi di FISIP UI dan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Survei: Antara Penelitian dan Iklan (2-habis)

SINAR HARAPAN Sabtu 11. of Juli 2009 12:00
Survei: Antara Penelitian dan Iklan (2-habis)

OLEH: RUDDY AGUSYANTO

Sejak persiapan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) legislatif yang lalu hingga pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), survei elektabilitas bakal calon (balon) presiden dan balon wakil presiden terus dilakukan oleh berbagai lembaga survei. Setelah itu, berlanjut dengan survei elektabilitas terhadap tiga pasang capres dan cawapres. Hasil survei dari berbagai lembaga survei tersebut telah menghiasi berbagai media cetak dan elektronik.

Detail Berita

Hasil survei dan prediksi-prediksinya, terutama hasil quick count, di satu sisi mengagumkan, sementara di sisi lain mengundang banyak pertanyaan. Apa pun reaksi seseorang, jelas hasil survei yang disebarluaskan ke publik secara berulang-ulang – sedikit banyak – tentu saja berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk menentukan pilihan politiknya, tergantung pada bagaimana masing-masing individu menyikapi hasil-hasil survei tersebut. Namun, mengapa baru sekarang dipermasalahkan - baik mengenai metodologinya maupun keberadaan (independensinya) lembaga-lembaga survei tersebut?
Bukankah sewaktu survei bakal calon presiden dan wakil presiden, mereka merasakan bahwa popularitas mereka terdongkrak? Mungkinkah para pasangan capres dan cawapres beserta tim suksesnya baru menyadari hal ini hanya karena “kursi kekuasaan” yang paling terhormat di negeri ini terasa semakin kecil kemungkinannya untuk dimenangkan.
Survei sebagai sebuah tipe penelitian, yang harus diperhatikan adalah masalah meto-dologi yang dipergunakan apakah sudah memenuhi standar ilmiah – mulai dari pemahaman tentang persebaran populasi, design sample-nya hingga teknik pengumpulan data. Tulisan ini sengaja tidak menyinggung persoalan analisis statistik yang digunakan karena besarnya ruang yang terkandung di dalamnya untuk manipulasi perhitungan-perhitungan statistika. Bahkan, seorang pakar statistik menyatakan bahwa “statistik itu tidak hanya damned lie, tetapi lebih dari itu.”

2.000 Responden Merepresentasikan 170 Juta?
Persoalan utama dalam penelitian yang menggunakan sampel (karena jumlah populasi yang sangat besar) adalah masalah representativitas. Dalam konteks kehidupan berpolitik di Indonesia di mana warga – baik yang simpatisan parpol ataupun tidak - dan kader parpol masih berafiliasi kepada tokoh maka pasangan capres dan cawapres yang berpotensi menang juga tidak ditentukan oleh parpol yang mengusungnya. Selama orientasi dan pilihan politik masyarakat masih seperti ini maka perolehan dukungan suara sangat tergantung pada dinamika hubungan sosial para pendukung dengan individu tertentu dan para tokoh politik - yang signifikan dalam konteks kehidupan mereka. Oleh karena itu, memilih pasangan capres juga perlu pertimbangan serius sebab berpengaruh terhadap dukungan suara – apakah akan meningkatkan elektabilitas atau justru kontraproduktif.
Ketepatan sebuah penelitian survei tergantung pada sejauh mana peneliti mengetahui dan memahami persebaran berdasarkan konteks-konteks kehidupan yang signifikan dalam populasi penelitiannya sehingga penentuan sampel bisa benar-benar mewakili populasi. Berdasarkan persebaran populasi maka bisa ditentukan sampel dan teknik pengambilan sampelnya. Meski teknik penarikan sampel ada beberapa jenis, mengingat konteks kehidupan politik masyarakat Indonesia yang sangat tergantung pada dinamika hubungan sosial dengan orang-orang yang ada dalam jaringan sosialnya, mungkin teknik pe-narikan sampel stratifikasi proporsional lebih cocok agar diperoleh jumlah sampel yang proporsional dengan persebaran yang ada dalam populasi. Sehingga bisa lebih tepat dalam merepresentasikan populasi.
Persoalannya, atribut seperti keanggotaan parpol pun tidak menjamin mereka memberikan dukungannya kepada parpolnya. Di serentetan pilkada menunjukkan bahwa parpol pemenang pemilu pun tidak selalu menjamin calon yang diusungnya akan mendapat dukungan sebesar perolehan suara parpolnya di saat pemilu. Bahkan, di beberapa pilkada, calon pemimpin daerah justru memilih diusung oleh parpol lain, meski parpolnya adalah pemenang pemilu di daerahnya. Sebagai contoh, Golkar adalah pemenang pemilu lalu di suatu daerah, tetapi sang calon pemimpin daerah yang kader Golkar justru maju dengan kendaraan parpol Partai Persatuan Pembangunan (PPP); sementara itu Golkar sebagai parpol pemenang pemilu juga mengajukan calon lain (akhirnya calon dari Golkar kalah).
Belum lagi masalah persebaran populasi berdasarkan golongan sosial, suku bangsa, kebudayaan dan lain-lain yang sedemikian kompleks – apakah masing-masing persebaran populasi ini mampu diidentifikasi dan diambil sebagai sampel secara proporsional? Jika demikian, apakah mungkin hanya dengan sampel sekitar 2.000 responden mampu merepresentasikan (sudah mencakup semua persebaran populasi) sekitar 170 juta pemilih? Setahu saya, semakin heterogen sebuah populasi penelitian maka semakin besar sampel yang dibutuhkan.

Survei sebagai “Soft Campaign”
Berbicara masalah survei sebagai salah satu bentuk “iklan” (soft campaign), kita tidak harus mempermasalahkan persoalan apakah penelitian survei yang dilakukan sudah memenuhi standar secara metodologi atau tidak. Persoalannya bukan terletak pada metodologi, sebab survei dan analisis statistiknya sangat mudah dimanipulasi sehingga dengan sangat mudah disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh peneliti atau “pemesan” penelitian. Masalah standar ilmiah sebuah penelitian survei adalah persoalan etika.
Masalah penelitian survei sebagai bentuk “iklan” adalah masalah keberadaan lembaga survei - apakah independen atau tidak. Masalah ini hanya bisa dijawab oleh lembaga survei itu sendiri – apalagi jika bisa mempertanggungjawabkan secara metodologis dari penelitian yang dilakukannya. Meski secara metodologis penelitian survei bisa dipertanggungjawabkan, namun penelitian survei tentang elektabilitas pasangan capres dan cawapres tetap diragukan bisa merepresentasikan kenyataan sebab pilihan politik di Indonesia sangat kontekstual dan tidak tergantung pada “atribut” apa pun yang disandang pemilih.
Kembali kepada hasil survei yang dipublikasikan kepada publik – yang pasti bisa mempengaruhi tindakan, sikap dan perilaku politik masyarakat pemilih dan mungkin saja mampu menggiring pilihan masyarakat kepada parpol atau capres tertentu. Ibarat iklan obat/vitamin yang disajikan oleh dokter, rumah sakit atau menteri kesehatan. Iklan tersebut bukan lagi iklan biasa, melainkan sudah menjadi sebuah anjuran karena pihak yang mengiklankan adalah pihak yang legitimated dan merupakan salah satu referensi. Demikian halnya dengan sebuah hasil survei yang dikeluarkan oleh lembaga survei. Apalagi jika hasil-hasil survei ini ditayangkan di media cetak dan elektronik secara berulang-ulang. Di sinilah sikap dan peran media (cetak dan elektronik) dibutuhkan, apakah sebuah hasil survei itu layak dipublikasikan atau tidak.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.

Sabtu, 11 Juli 2009

survei dan orientasi Politik Kontekstual

Jumat, 10 Juli 2009 13:22
Survei dan Orientasi Politik Kontekstual (1)
OLEH: RUDDY AGUSYANTO



Sejak negara kita menganut sistem pemilihan umum (pemilu) secara langsung, pe-nelitian jenis survei atau polling seolah-olah mendapat lahan baru. Hal ini mendorong berdirinya lembaga-lembaga survei dan semaraknya penelitian survei, terutama yang berkaitan dengan masalah kehidupan berpolitik di negeri ini seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Persentase elektabilitas partai politik (parpol) atau calon kepala daerah dengan berbagai argumennya - mengapa meningkat atau menurun – telah menghiasi berbagai media, cetak maupun elektronik.
Hasil survei, “perhitungan cepat” dan prediksi-prediksinya mengundang decak kagum dan akhirnya menyita perhatian parpol dan calon-calon kepala daerah – tak terkecuali calon presiden dalam pemilihan presiden (pilpres) kali ini – untuk menggunakan jasa lembaga-lembaga survei tersebut. Namun, belakangan ini, menjelang Pilpres 2009, banyak pihak mulai mempermasalahkan keberadaan lembaga survei dan hasil-hasil survei yang dilakukannya. Bukankah selama ini banyak parpol dan calon-calon kepala daerah yang telah menggunakan jasa mereka?
Kiprah lembaga-lembaga survei dan hasil-hasil surveinya tidak pernah dipertanyakan dan selama itu pula tidak ada pihak yang “keberatan” karena merasa khawatir - baik secara metodologis maupun ke-independen-an lembaga survei yang bersangkutan - sehingga ada pihak-pihak tertentu merasa dirugikan. Sebelum membahas masalah penelitian survei, hasil dan dampaknya, kita perlu memahami kehidupan berpolitik masyarakat kita lebih dahulu agar bisa diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.
Dewasa ini, di tengah gelombang globalisasi, masyarakat Indonesia yang heterogen menjadi semakin kompleks. Hal ini mendorong kesadaran individu akan pentingnya bantuan dan kehadiran individu lain dan pentingnya kehidupan bersama. Masing-masing individu akan mempertimbangkan satu sama lain – saling mengurangi “perbedaan” yang ada untuk mencapai “kesepakatan-kesepakatan” bersama dalam konteks-konteks kehidupan yang dijalaninya. Kesepakatan-kesepakatan bersama dalam berbagai konteks kehidupan ini, dibangun dan berlangsung secara terus-menerus sesuai dengan dinamika kebutuhan dan dinamika lingkungan eksternal yang ada, serta selalu dievaluasi oleh masing-masing pihak.

Lebih Loyal kepada Individu
Saling keterhubungan antar-individu tersebut pada akhirnya “mengikat” mereka satu sama lain menjadi satu kesatuan sosial. Kesepakatan-kesepakatan inilah yang pada akhirnya menjadi pedoman tindakan, sikap dan perilaku mereka. Ada serangkaian hak dan kewajiban yang berlaku dalam setiap konteks kehidupan bagi masing-masing individu yang harus dijalankan. Dengan kata lain, setiap konteks kehidupan terwujud serangkaian hubungan sosial (satu kesatuan sosial) yang mempunyai aturan, norma atau hukumnya sendiri – yang berbeda dengan yang berlaku dalam konteks kehidupan yang lain.
Demikian halnya dengan konteks kehidupan politik di Indonesia. Selama ini, orientasi dan pilihan politik tidak signifikan bagi kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia – siapa pun atau parpol apa pun yang menang, tidak mengubah kualitas hidup mereka. Oleh karena itu, ideologi politik bukan merupakan pertimbangan utama bagi seseorang untuk mencontreng parpol, calon bupati/wali kota, calon gubernur atau calon presiden tertentu – tetapi lebih ditentukan oleh masalah keterikatan dengan teman, kerabat, atau tokoh/elite parpol yang merupakan jaringan sosialnya sebab dengan terganggunya hubungan sosial dengan individu-individu yang ada dalam jaringan sosialnya akan berdampak pada terganggunya pe-me-nuhan kebutuhan hidup individu yang bersangkutan.
Oleh karena itu pula seorang kader parpol akan lebih loyal kepada individu-individu yang ada dalam jaringan sosialnya ketimbang kepada parpol atau ideologi politik sebuah parpol. Jadi, tidaklah mengherankan jika “masa mengambang” di negeri ini sangat besar jumlahnya. Akibatnya, siapa pun akan sulit memprediksi tingkat elektabilitas sebuah parpol atau seorang calon kepala daerah termasuk capres, kecuali hanya berdasarkan jumlah kartu anggota dari parpol pendukungnya – yang juga belum tentu setia pada keputusan politik parpolnya. Bahkan, para tokoh/elite politik sebuah parpol bisa dengan mudah pindah ke parpol lain – tak terkecuali seorang pendiri parpol.

Esok Harinya Berbeda
Kembali kepada masalah penelitian survei, tentunya karakter kehidupan politik di Indonesia ini akan berpengaruh pada tipe penelitian apa yang sesuai – apakah penelitian survei atau tipe penelitian yang lain. Jika penelitian survei memang harus dilakukan maka penelitian survei yang seperti apa yang sesuai dan untuk tujuan apa.
Penelitian jenis survei adalah jenis penelitian positivistik-kuantitatif, yang memfokuskan diri pada “atribut” individu yang menjadi populasi penelitian - seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, pilihan politik dan seterusnya yang biasanya disebut sebagai variabel.
Selanjutnya, variabel-variabel tersebut dianalisis secara statistika (analisis variabel) - dengan membandingkan atau mengorelasikannya. Dalam hal ini, individu yang dipilih sebagai responden dicabut dari lingkungan sosialnya (atomistik) sehingga data relasi responden dengan teman, kerabat atau tokoh/elite politik yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk menentukan pilihan politiknya tidak ter-cover atau terabaikan karena mereka belum tentu terpilih sebagai responden.
Selain itu, dalam penelitian survei, kuesioner merupakan instrumen utama. Siapa saja yang menyebarkan kuesioner atau siapa saja yang menjadi pewawancara tidak akan mempengaruhi hasil/jawaban responden. Dalam banyak kasus, ternyata siapa yang mewawancarai atau menyebarkan kuesioner mempengaruhi jawaban responden. Jawaban responden saat diwawancarai pegawai kelurahan berbeda dengan jawaban saat diwawancarai oleh anak SMA atau mahasiswa. Bahkan, ada sejumlah pengalaman bahwa wawancara hari ini dan esok harinya diperoleh jawaban yang berbeda, sungguh kontekstual.
Dengan kondisi kehidupan berpolitik di Indonesia yang belum bersifat ideologis atau sangat kontekstual seperti ini maka ketepatan hasil survei yang dilakukan berbagai lembaga survei di Indonesia patut mendapat acungan “dua jempol”. Hanya dengan sampel 2.000 responden dari populasi 220 juta penduduk (0,000009% sampel) lembaga survei sudah mampu memprediksi tingkat elektabilitas atau quick count perolehan suara. Padahal, meski secara metodologis sudah benar dilakukan, penelitian jenis survei tetap masih belum tentu mampu merepresentasikan kenyataan karena karakter populasi yang sifatnya unpredictible.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.

Kamis, 14 Mei 2009

Parpol Hanya untuk Tiket Pendaftaran

Oleh
Ruddy Agusyanto

“Dunia politik itu tidak ada yang abadi”, begitu sering diucapkan oleh para pakar atau pengamat dan tokoh politik sehingga tanpa kita sadari, jargon tersebut menjadi sebuah “keyakinan” di dunia politik negeri ini. Ketidakpastian itulah yang abadi. Siapa teman dan siapa lawan bisa saling tukar tempat kapan saja... itulah politik. Jika memang demikian, tentunya sungguh sulit membuat analisis atau prediksi terhadap fenomena, gejala atau peristiwa politik. Kalau sudah demikian, seharusnya juga tidak perlu ada ilmu pengetahuan yang namanya ilmu politik?
Jargon tersebut muncul di saat terjadi kebuntuan analisis, yaitu di saat tak bisa menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi. Para pengamat atau pakar politik serta elite politik masih berpikir bahwa masyarakat itu homogen sehingga memandang masyarakat terkotak-kotak.
Demikian halnya melihat partai politik (parpol) juga terkotak-kotak. Hal ini terjadi karena teori dan konsep yang dipergunakan adalah teori dan konsep yang berasal dari hasil penelitian-penelitian di masyarakat yang relatif homogen (masyarakat sederhana) sekian puluh tahun yang lalu.
Saat ini, sangatlah sulit menjumpai masyarakat yang homogen seperti itu sehingga teori dan konsep tersebut tidak mampu menjelaskan kompleksitas yang terjadi. Memandang sebuah parpol sebagai satu kesatuan sosial yang homogen membuat kita tidak melihat variasi dan dinamika sikap-tindakan-perilaku (yang terjadi sesungguhnya) sehingga tidak mampu menangkap dan memprediksi serta menjelaskan proses “perubahan” yang terjadi.

“Muatan Kepentingan” Para Tokoh
Berdasarkan hal ini maka ideologi juga tidak signifikan untuk menganalisis parpol di Indonesia. Seorang pendiri sebuah parpol pun bisa pindah ke parpol lain, yang tidak sama secara ideologis - apalagi kader. Kader hanya loyal kepada tokoh atau elite tertentu, bukan kepada ideologi parpolnya. Dengan demikian, tidak ada dukungan suara yang stabil. Oleh karena itu pula, sangat diragukan sebuah wilayah administratif tertentu atau kelompok/golongan sosial bisa diklaim sebagai “basis” parpol tertentu. Jika parpol tidak lagi ideologis, bagaimana kita bisa menjamin bahwa suatu wilayah, kelompok atau golongan sosial tertentu adalah basis parpol tertentu?
Selama parpol masih kehilangan ideologinya maka dukungan suara terhadap parpol pun sangat fluktuatif. Pendukung atau kader berafiliasi kepada tokoh (person) – dari tingkat DPC, DPD dan DPP - sehingga perolehan suara sebuah parpol sangat tergantung pada dinamika hubungan sosial para pendukung dengan para tokoh parpol yang bersangkutan. Maka SBY tidak sama dengan Demokrat; JK tidak mewakili Golkar; atau Mega bukanlah representasi dari PDIP. Oleh karena itu, tiga parpol besar tersebut tidak bisa berbangga diri dengan perolehan suara yang dicapainya sebab suara itu bukan suara parpolnya, melainkan karena para tokoh (di tingkat DPC, DPD dan DPP) di parpol mereka masing-masing.
Dengan kenyataan bahwa selama pendukung dan atau kader masih berafiliasi kepada tokoh maka capres dan cawapres yang berpotensi menang juga tidak ditentukan oleh parpol yang mengusungnya. Banyak contoh dari berbagai pilkada – calon dari parpol bukan pemenang pemilu pun bisa menang meski pesaingnya adalah tokoh dari parpol pemenang pemilu.
Dengan kata lain, tokoh atau elite politik mempunyai posisi yang demikian penting dalam memperjuangkan kepentingan parpolnya - termasuk proses negosiasi mengenai penentuan capres dan cawapres. Dengan demikian, koalisi antarparpol yang dibangun sebenarnya merupakan koalisi antarelite parpol. Di sisi lain, bisa dikatakan bahwa parpol benar-benar hanya merupakan sebuah tiket untuk bisa mendaftar sebagai capres atau cawapres – tidak lebih.
Berdasarkan kenyataan di atas, interaksi dan hubungan sosial yang dibangun dalam proses koalisi antarparpol, jelas didominasi “muatan kepentingan” para tokoh politik (yang katanya telah mereka konsolidasikan di internal parpol masing-masing). Dalam paradigma Analisis Jaringan Sosial, proses koalisi antarparpol yang sedang berlangsung ini bisa dikategorisasikan sebagai jaringan kepentingan.

Seni Ketidakpastian
Jaringan kepentingan adalah jaringan sosial yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus yang ingin dicapai oleh para pelaku (dalam hal ini para elite atau tokoh politik masing-masing parpol). Bila tujuan-tujuan tersebut sifatnya spesifik dan konkret - seperti memeroleh barang, pelayanan, pekerjaan dan sejenisnya - setelah tujuan-tujuan tersebut tercapai biasanya hubungan-hubungan tersebut tidak berkelanjutan. Bila tujuan-tujuan dari hubungan-hubungan sosial yang terwujud adalah spesifik dan konkret seperti ini maka struktur sosial yang lahir dari jaringan sosial tipe ini juga sebentar dan berubah-ubah.
Tindakan dan interaksi yang terjadi dalam jaringan tipe ini selalu dievaluasi berdasarkan tujuan-tujuan relasional. Pertukaran (negosiasi) yang terjadi dalam jaringan kepentingan ini diatur oleh kepentingan-kepentingan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, pada jaringan kepentingan ini terdapat ruang bagi tindakan - yang relatif besar (lebih besar dibanding jaringan hubungan jenis lainnya) sehingga sering kita lihat banyak kemungkinan si pelaku memanipulasi hubungan-hubungan sosial yang dimilikinya (manuver-manuver) untuk mencapai tujuan-tujuannya. Yang relatif stabil dalam hal ini hanyalah kepentingan yang diperjuangkan.
Jika yang dilihat dan dianalisis adalah masalah proses manipulasi atau pengaktifan hubungan sentiment dan power (manuver-manuver) dalam rangka memperjuangkan kepentingan masing-masing, tentu saja tampak selalu berubah-ubah atau semuanya menjadi tidak pasti – semuanya bisa berubah dalam hitungan menit atau detik. Selama muatan sentiment atau power tertentu yang diaktifkan gagal mencapai kesepakatan (pencapaian kepentingan), tentunya pelaku akan mencoba mengaktifkan atau memanipulasi jenis hubungan sentiment atau power yang lain.
Konsekuensinya dengan mengaktifkan jenis hubungan sentiment dan power yang berbeda maka orang-orang, kelompok atau golongan sosial yang dituju pun tentu akan berubah. Kawan bisa menjadi lawan saat harus bersaing; dan menjadi kawan saat membutuhkan kerja sama untuk menghadapi lawan yang lebih kuat dalam rangka memperjuangkan kepentingannya. Jika manuver-manuver tindakan dalam proses kerja sama dan persaingan yang menjadi fokus perhatian (bukan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan) maka memang benar bahwa dunia politik itu menjadi unpredictable atau sering disebut juga sebagai “seni ketidakpastian”.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.







Copyright © Sinar Harapan 2008

Senin, 20 April 2009

Paradigma Jaringan Sosial dan Dinamika Kolektif

Oleh
Ruddy Agusyanto

Sejak acara pencentangan pemilihan umum (pemilu) legislatif berlangsung, hampir semua media televisi (TV) sepanjang waktu menyiarkan dinamika hasil perolehan suara partai politik (parpol), lengkap dengan berbagai analisis politiknya. Bahkan, beberapa pengamat dan tokoh sosial-politik sebagai narasumber sampai berpindah-pindah dari satu stasiun TV ke stasiun TV yang lain.
Demokrat sebagai sebuah parpol “kecil” yang baru berdiri, secara mencengangkan mampu mengungguli (berdasarkan quick count) dua parpol “besar” yaitu Golkar dan PDI Perjuangan yang sudah dikenal punya segudang pengalaman pemilu. Bahkan, wilayah-wilayah administratif tertentu yang diketahui dan dipahami sebagai basis kedua parpol tersebut bisa direbut dukungan suaranya oleh Demokrat. Fenomena ini menjadi topik yang menarik untuk diulas.
Di era informasi ini, perkembangan teknologi komunikasi sedemikian pesat, membuat jarak fisik atau geografis tidak lagi menjadi kendala untuk berinteraksi dengan siapa pun di dunia ini. Jarak geografis serasa semakin “dekat”. Akibatnya, hampir tidak ada lagi masyarakat atau negara yang terisolasi. “Batas-batas” antarnegara dan budaya pun menjadi “cair”. Warga negara atau anggota yang berlainan negara dan kebudayaan mampu berinteraksi satu sama lain menembus batas; demikian halnya dengan para pendukung/simpatisan dan kader parpol di suatu wilayah administratif.
Dalam perkembangannya, batas-batas ini menjadi sekadar batas “administratif” karena para warganya sama sekali “tak terhalang” oleh batas-batas tersebut dalam kehidupan interaksinya. Dunia telah menjadi satu jaringan sosial yang sangat besar dan kompleks tanpa batas.
Dampaknya, tidak hanya “memperpendek” atau “meniadakan” jarak geografis/fisik, tetapi juga “jarak sosial”. Akibat selanjutnya, masyarakat mana pun menjadi tak ada yang benar-benar homogen karena terjadi saling mempengaruhi dan saling sosialisasi “lintas batas”. Di satu pihak masyarakat dalam suatu wilayah terjadi “heterogenisasi”, di lain pihak masyarakat terjadi “homogenisasi” berdasarkan “konteks” interaksi dan hubungan sosial yang terwujud.

Tetap dengan Cara Konvensional
Jarak sosial dalam ilmu sosial sering kali dijelaskan melalui perbedaan derajat pendidikan, penghasilan, kekayaan, pekerjaan dan sejenisnya sehingga bagi mereka yang memiliki derajat sosial yang berbeda mempunyai jarak sosial sebesar perbedaan derajat sosial itu pula. Oleh karena itu, sering kali kita lihat bahwa dalam sebuah permukiman, orang kaya dengan tingkat pendidikan tinggi meskipun tinggal bersebelahan dengan keluarga miskin yang tukang pijat dengan tingkat pendidikan rendah, belum tentu mereka “berteman” karena jarak sosial di antara mereka yang begitu “jauh”. Namun, pada kesempatan lain, ternyata orang miskin tukang pijat tersebut mempunyai pelanggan tetap seorang pejabat.
Secara kebetulan, tetangga kayanya sedang perlu “berhubungan” dengan pejabat tersebut untuk kepentingan tertentu. Dari salah satu upayanya, si tetangga kaya menghubungi “teman”-nya supaya bisa dipertemukan dengan sang pejabat. Ternyata teman yang dimintai pertolongan tersebut merefensi tetangganya yang tukang pijat itu. Singkat cerita, pertemuan yang diinginkan oleh si tetangga kaya dengan sang pejabat terealisasi berkat si tetangga yang tukang pijat. Di kemudian hari, si kaya yang berpendidikan dan si miskin yang tak berpendidikan akhirnya “berteman”. Jarak sosial tak menjadi masalah lagi.
Saat ini, masyarakat begitu dinamis dan tak ada yang bisa menghalangi interaksi dan saling sosialisasi antarmasyarakat yang berbeda-beda. Siapa pun dia, selalu menjadi bagian dari jaringan sosial di mana pun dia hidup dan tinggal. Tindakan-sikap-perilaku seseorang dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan-sikap-perilaku orang lain. Artinya, hubungan sosial itu dinamis. Konsekuensinya adalah struktur sosial juga menjadi dinamis. Tetapi, sementara itu, para tokoh atau elite politik parpol masih melihat batas-batas administratif atau wilayah sebagai suatu yang relatif absolut sehingga dalam berbagai analisisnya selalu menggunakan unit analisis per wilayah sehingga model-model atau program-program kerjanya (termasuk pemenangan pemilu) tetap menggunakan cara-cara yang konvensional.

Tidak Sensitif terhadap Gejala Perubahan
Kendati mereka dalam kehidupan sehari-hari telah menjalaninya, misalnya berkomunikasi dengan SMS, email atau Facebook – yang meniadakan batas-batas administratif atau wilayah geografis - mereka tetap saja memperlakukan masyarakat di suatu wilayah seolah-olah mempunyai “batas-batas” yang relatif tegas (terkotak-kotak). Dampaknya, mereka akan melihat masyarakat di suatu wilayah geografis juga “homogen” dengan asumsi struktur sosialnya pun relatif “stabil”.
Atas dasar asumsi ini pula, secara sadar atau tidak, membuat perlakuan para parpol atas wilayah yang dianggap basisnya menjadi terlalu percaya diri sehingga mesin politiknya tidak bekerja secara optimal. Tidak sensitif terhadap gejala-gejala perubahan. Keyakinan bahwa pendukungnya tidak mungkin “berubah” (stabil) inilah yang justru menghasilkan kekecewaan setelah mendapatkan kenyataan bahwa dukungan suara terhadap parpolnya mengalami penurunan atau tidak sebanyak jumlah yang seharusnya karena berpindah ke parpol lain.
Dengan demikian, disadari atau tidak, Demokrat sebenarnya telah menggunakan pola pikir jaringan, memetakan dan memanfaatkan jaringan sosial yang terwujud di masyarakat (termasuk di daerah basis parpol lain); dan bersamaan dengan itu secara tak langsung diperoleh atau teridentifikasi pula masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang bersangkutan sehingga bisa digunakan sebagai dasar untuk merumuskan rencana kerjanya. Selain memetakan dan memanfaatkan jaringan sosial yang ada di masyarakat, secara bersamaan (otomatis) tercipta pula “jaringan sosial baru” yang bisa digunakan untuk mendifusikan dan mensosialisasikan ide-ide baru dalam rangka “menjaring” dukungan suara melalui orang-orang yang menjadi “simpul-simpul” jaringan sosial.
Di era informasi saat ini, semua “entitas” saling terhubung, berpikir dengan menggunakan pola pikir jaringan sudah selayaknya menjadi suatu keharusan bagi kita, tak terkecuali bagi parpol dan politikusnya. Jaringan sosial mampu menembus serta meniadakan “batas geografis” dan “batas sosial”. Oleh karena itu, mengapa dua orang bertikai bisa menjadi konflik regional bahkan nasional, tapi bisa juga berhenti di mereka berdua saja – semua itu jaringan sosial adalah kuncinya.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–
FISIP UI.

18 April 2009

Copyright © Sinar Harapan 2008

Senin, 30 Maret 2009

BUKANLAH SATU-SATUNYA RACUN

Ruddy Agusyanto

Kita semua tahu bahwa merokok adalah tidak baik bagi kesehatan. Menurut, dr. Muchtar Ikhsan, pakar kesehatan yang berbicara pada seminar "Fatwa MUI versus wacana antirokok" di Jakarta, 24 November 2008, yang diselenggarakan oleh PWI Koordinatoriat Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, mengatakan bahwa racun yang terdapat pada rokok merupakan ancaman bagi kehidupan umat manusia. "Satu batang rokok dapat memotong kehidupan kita selama 5 menit," katanya.

Sementara itu, Pramoedya Ananta Toer, mengatakan bahwa dengan merokok dan rajin mengatur nafas menjelang tidur adalah kunci panjang umur. Beberapa kenyataan, di pedesaan banyak orang usia 90 tahunan masih hidup sehat meski merokok; Kenyataan lainnya, banyak kawan kita yang masih terbilang muda usia, yaitu sekitar 40 atau 50 tahun meninggal akibat serangan jantung, kanker otak atau paru-paru, yang ternyata mereka tidak mengkonsumsi rokok sepanjang hidupnya. Kenyataan ini sungguh mengundang tanda tanya dan kontradiktif dengan pengetahuan kesehatan tentang bahaya rokok.

Udara yang kita hirup setiap detik telah tercemar tidak hanya oleh asap rokok, tetapi juga tercemar oleh limbah industri, rumah tangga dan kendaraan bermotor. Belum lagi pencemaran limbah kimia yang semuanya itu tidak hanya mencemari udara,tapi juga terhadap sumber air – lebih jauh lagi juga ke lahan-lahan pertanian. Melihat kenyataan ini maka sungguh mengerikan hidup kita - “Berapa life-time kita jika sebatang rokok saja mengurangi 5 menit usia kita?” Bagaimana dengan mereka yang tidak mengkonsumsi rokok apakah usianya lebih panjang dengan kondisi lingkungan yang sudah tercemar ini?

Polusi Udara
Polusi tidak hanya berasal dari rokok. Polusi udara merupakan ancaman yang paling langsung terhadap sistim pernafasan, tapi melalui tahapan waktu polusi udara juga bisa mengakibatkan rusaknya bagian tubuh manusia yang lainnya seperti otak dan jantung. Zat polutan paling utama yang bertanggung jawab terhadap pencemaran udara ialah:
- Sulfur oxida. Sulfur oksida dihasilkan oleh pembakaran minyak fosil seperti batubara, petroleum, dan gas alam. Sulfur oksida dapat mengakibatkan bronkitis, emphysema (pembengkakan pada paru-paru karena pembuluh udara kemasukan udara), dan asma, iritasi terhadap mata, tenggorokan, sistem pernafaran bagian atas, batuk-batuk dan tercekik.
- Nitrogen dioxida. Nitrogen dioksida berasal dari buangan kendaraan bermotor dan pembakaran minyak fosil. Akibat yang ditimbulkan adalah berbagai masalah dalam sistem pernafasan dan berkurangnya pasokan oksigen ke darah. Lebih lanjut, nitrogen dioksida dengan menyerap energi dari sinar matahari mengalami reaksi kimia yang membentuk ozon. Ozon dapat mengakibatkan iritasi atau dan tenggorokan serta penyakit paru-paru.
- Karbon monoksida. Karbon monoksida, adalah gas mematikan yang tidak berwarna dan tak berbau yang dikeluarkan dari buangan kendaraan bermotor. Tingkat karbon monoksida sangat tinggi di area lalu lintas yang padat, dipersimpangan jalan, di area tertutup seperti garasi dan terowongan. Akibat utama dari karbonmonoksida adalah berkurangnya suplai oksigen dari sel-sel darah merah. Dosis Karbonmonoksida yang tinggi bisa mengakibatkan kurangnya oksigen dalam darah, yang menyebabkan terganggunya pernafasan, kegagalan otak dan jatung. Akibat lainnya adalah rusaknya pendengaran, penglihatan dan pikiran. Menghirup Karbonmonoksida secara berlebihan juga bisa mengakibatkan tidak sadarkan diri bahkan kematian.
- Hidrokarbon. Hidrokarbon juga dihasilkan dari buangan kendaraan bermotor sebagai hasil dari pembakaran fosil yang tidak sempurna.Hidrokarbon adalah faktor signifikan dalam kabut asap photocemical. Kabut asap photochemical merupakan hasil interaksi sinar matahari dengan inversi suhu dan buangan kendaraan bermotor. Kabut ini muncul di area yang sirkulasi udaranya tidak baik terutama di area yang udaranya panas dan lembab.

POLUSI KIMIA
Setiap tahunnya industri Amerika menghasilkan sekitar 126 juta pon limbah kimia (entah berapa pon di Indonesia?). Berdasarkan EPA hanya sekitar 10% diantaranya bahan kimia ini yang bisa dibuang secara aman. Sisanya secara ilegal dibuang di daerah perkotaan, lubang terbuka, atau di laguna. Limbah beracun dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, hidung atau kulit. Beberapa tersimpan dalam lemak manusia dan hewan, menumpuk dalam jaringan tubuh sehingga mengakibatkan kerusakan pada organ-organ vital, lemahnya tubuh dan kematian. Beberapa zat limbah beracun ini seperti asbestos, benzene, vynil chlorid, dan arsenic adalah zat-zat yang bisa mengakibatkan kanker. Akibat lainnya adalah teratogenic (menyebabkan cacat kelahiran) atau mutagenic (memicu mutasi dalam gen)
- Pestisida dan Herbicida. Pesticida seperti DDT, aldrin dan dieldrin dapat dengan mudah menyebar dan bertahan lama dalam lingkungan sekitarnya dan cenderung menumpuk dalam jaringan lemak manusia dan hewan. Demikian juga Herbicida yang digunakan untuk menggundulkan.Kedua zat ini bisa mengakibatkan kanker, kerusakan hati, depresi, tidak bisa tidur, keguguran kandungan, bayi yang mati dalam kandungan dan cacatnya janin.
- Asbestos. Apabila sering terhirup meski dalam jumlah kecil dapat mengakibatkan penyakit kanker paru-paru dan sistem usus.
- juga Timah dan Mercuri dan lain-lain

POLUSI AIR.
Air tanah maupun air permukaan sangat rentan terhadap polusi. Air dari dalam tanah bisa terkontaminasi oleh berbagai zat kimia sintetis, bahan-bahan pembersih/mencuci dari limbah rumah tangga, limbah industri, kebocoran dari minyak dalam tanah, tangki gas maupun dari bahan kimia pertanian. Polusi di permukaan air bisa timbul dari banyak sumber. Polusi air di permukaan tanah juga bisa terjadi akibat hujan. Bahan-bahan kimia atau polusi lainnya kemungkinan tercuci ke dalam air melalui hujan atau karena tindakan manusia lainnya. Hujan asam juga merupakan ancaman bagi kehidupan dalam air.Hujan asam terdiri dari nitrogen dan sulfur oksida dari buangan kendaraan bermotor, pembakaran batubara dan asap dari pabrik. Naik ke atas ke dalam atmosfir, zat-zat polutan ini tersebar, bereaksi dengan uap lembab dan berubah menjadi nitric dan sulfuric acid yang akhirnya jatuh kembali ke bumi.
RADIASI.
Beberapa radiasi timbul secara alami dalam lingkungan, tetapi tingkat radiasi yang dibuat oleh manusia dari X ray kedokteran, oven microwave, TV berwarna dan sumbersumber lainnya. Tidak ada dosis minimum dari radiasi yang dapat dianggap aman. Berbagai penyakit bisa timbul akibat dari radiasi termasuk kanker yaitu apabila terkena radiasi yang berlebihan dan berkepanjangan.

Berdasarkan data polusi di atas maka bisa dikatakan bahwa: (1) racun tembakau/rokok bukan satu-satunya racun dan bukan yang paling mematikan; (2) polusi lebih banyak diakibatkan oleh limbah gas buangan kendaraan bermotor ketimbang yang berasal dari rokok. Oleh karena itu, pernyataan “satu batang rokok mengurangi kehidupan kita selama 5 menit”:
 masih memerlukan penelitian lebih lanjut atau perlu bukti-bukti baru sebab “racun” yang masuk ketubuh kita setiap detiknya bukan hanya asap rokok.
 Selanjutnya, penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak/belum mempertimbangkan “racun” selain tembakau/rokok yang masuk ke dalam tubuh sample penelitian. Dengan kata lain hanya memfokuskan pada “racun tembakau/rokok” yang dikorelasikan dengan “life expectation”. Argumen ini sebenarnya ‘keberatan’ yang pernah diajukan oleh Philip Moris (pengusaha rokok internasional).

ROKOK, ternyata bukanlah satu-satunya sumber penyebab kematian yang paling berbahaya jika melihat pencemaran udara yang terjadi di lingkungan hidup kita. Ada kasus yang menarik, seseorang meninggal dunia karena kanker paru-paru di usia menjelang 70 tahun dan sejak remaja hingga akhir hayatnya merokok. Dokter menyimpulkan bahwa penyakitnya adalah akibat merokok. Namun, setelah ditelusuri, ternyata almarhum sejak remaja hingga usia pensiun (55 tahun) bekerja di pabrik batere.

Oleh karena itu meski semua sepakat bahwa rokok tidak baik bagi kesehatan, wajar pula bila “fatwa haram” yang dikeluarkan MUI masih mengundang pro dan kontra. Belum lagi kaitannya dengan masalah-masalah non-kesehatan, seperti dampak sosial, ekonomi dan politik. Namun, di luar semua itu, permasalahan utama dari rokok adalah bahaya dari ‘racun’ yang dihasilkan, yang bisa membahayakan kesehatan, tidak hanya secara personal bagi perokok itu sendiri, tetapi juga secara sosial, yaitu bagi orang lain yang terpolusi asap rokok (“perokok pasif”). Maka dari itu, yang diperlukan adalah peraturan daerah atau undang-undang larangan merokok di tempat umum dan larangan menjual rokok pada anak-anak – yang sanksi hukumnya jelas.

Kita memang perlu membatasi ruang merokok di tempat-tempat publik agar tidak merugikan orang lain dan mengurangi pencemaran udara yang sudah sedemikian parah. Bila perlu, tidak hanya ada gerakan “Sehari Tanpa Asap Rokok”, tetapi mungkin perlu juga “Sehari Tanpa Asap Kendaraan Bermotor atau Tanpa Asap Pabrik”.

OBYEKTIF, Edisi 2 / 2009

Minggu, 29 Maret 2009

Pilpres: Koalisi Kontekstual

Oleh
Ruddy Agusyanto

Pemilihan umum (pemilu) 9 April 2009 tinggal beberapa hari lagi, kampanye mulai intens dilakukan oleh hampir semua partai politik (parpol) di berbagai wilayah di Indonesia, berbagai lobi politik juga dilakukan. Karena begitu banyak parpol peserta pemilu kali ini, persoalan upaya memenangkan persaingan pun menjadi semakin “kompleks”, mulai dari pelanggaran aturan kampanye sampai dengan saling menyu-dutkan parpol lain. Selain itu, berbagai parpol mulai “berancang-ancang” membangun koalisi sebagai persiapan untuk pemilihan calon presiden nanti.
Namun, yang mengejutkan banyak pengamat dan analis politik adalah rencana-rencana koalisi dan pernyataan-pernyataan para ketua umum parpol yang bersangkutan selalu diakhiri dengan kalimat “... ini penjajagan, kita lihat setelah pemilu 9 April nanti baru kita menentukan sikap.” Seolah-olah tidak “peduli” lagi dengan yang namanya “ideologi politik” parpolnya. Apakah memungkinkan atau tidak secara ideologis jika parpolnya berkoalisi dengan parpol-parpol yang secara ideologis berbeda – sepertinya sengaja “luput” dari pertimbangan mereka. Tentunya, hal ini tidak hanya membuat bingung para pengamat dan analis politik, saya pikir para kader dan pendukung simpatisan juga “bingung”. Apa yang terjadi?
Selama sistem pemilihan langsung diterapkan, di serentetan pemilihan kepala daerah (pilkada) sering kali menunjukkan bahwa parpol pemenang pemilu tidak selalu menjamin calon yang diusungnya akan mendapat dukungan sebesar perolehan suara parpolnya. Apalagi jaminan menang. Artinya, pemimpin daerah terpilih tidak harus berasal dari parpol pemenang pemilu. Di beberapa pilkada, calon pemimpin daerah justru memilih diusung oleh parpol lain, meski parpolnya adalah pemenang pemilu di daerahnya. Sebagai contoh, Golkar adalah pemenang pemilu lalu di suatu daerah, tetapi sang calon pemimpin daerah yang kader Golkar justru maju dengan kendaraan parpol PPP; sementara itu Golkar sebagai parpol pemenang pemilu juga mengajukan calon lain. Akhirnya, calon dari Golkar sendiri kalah dalam perolehan suara.

Parpol Pilihan Tidak Identik dengan Pemimpin Pilihan
Pengalaman dari berbagai pilkada ini, masing-masing parpol memperoleh pelajaran yang berharga bahwa: (1) Parpol pilihan rakyat tidak sama dengan pemimpin pilihan rakyat; (2) Persentase perolehan suara untuk tampil sebagai pemenang tidak cukup hanya mengandalkan dukungan perolehan suara parpolnya, meskipun parpol yang bersangkutan adalah parpol pemenang pemilu. Pelajaran inilah yang mendasari rencana-rencana koalisi antarparpol yang dibangun oleh para elite parpol dalam menghadapi pilpres mendatang.
Oleh karena itu, para parpol juga sudah mulai menyeleksi siapa saja yang mempunyai peluang “besar” sebagai calon presiden (capres). Artinya, capres tidak harus berasal dari parpolnya atau tidak harus kader parpol pengusungnya. Berbeda dengan pemilu legislatif yang mungkin “masih lebih” merupakan perjuangan ideologi politik dalam memenangkan persaingan, meskipun dalam kampanye sering juga kita lihat “pesan” yang disampaikan (iklan) juga tidak selalu sama dengan ideologi politiknya demi perolehan suara. Pilkada atau pilpres bukan lagi menjadi perjuangan ideologi politik, tetapi cenderung sebagai perjuangan perebutan “power” semata sehingga ideologi politik akhirnya menjadi “kontekstual”.
Dalam pilkada atau pilpres, koalisi yang dibangun adalah untuk perolehan suara semata, meski harus rela berbagi “kue power” dengan parpol yang tidak “seideologis” melalui “kesepakatan-kesepakatan” yang dibangunnya. Dampaknya saat menjalankan pemerintahan, pada beberapa hasil pilkada pada kenyataannya “pasangan” hasil koalisi belum tentu bisa tetap saling mendukung sampai akhir masa kepemerintahannya. Dan, tak jarang pula, di tengah masa pemerintahannya “pasangan” pemimpin daerah sudah “tak sehati” lagi sehingga rencana atau program-program yang telah dijanjikan tidak bisa terlaksana. Di sisi lain, pemimpin daerah terpilih yang karena bukan berasal dari parpol pemenang pemilu atau “kelompok” parpol “besar” (berdasarkan perolehan suara/kursi), juga menjadi serba “cang-gung” dalam memutuskan kebijakan atau menjalankan kepemerintahannya karena “tekanan” mayoritas parpol dan parpol pengusungnya di DPRD. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban.

Yang Mengikat Adalah “Kepentingan”
Masyarakat semakin kompleks dan heterogen sehingga tidak mungkin lagi semua “kebutuhan” mampu dipenuhi dengan hanya mengandalkan bantuan dan kehadiran dari komunitasnya sendiri. Perlu juga dibangun kerja sama dengan komunitas lain agar kebutuhan-kebutuhan tertentu mampu dipenuhi. Oleh karena itu pula, jika kita lihat secara individual, banyak orang di masyarakat kompleks tidak cukup hanya menjadi anggota satu organisasi (rata-rata menjadi anggota di lebih dari satu organisasi). Jadi, tidaklah mengejutkan dalam berbagai bentuk koalisi (tak hanya di bidang politik), jaringan kerja sama justru terdiri dari orang, organisasi atau komunitas yang mempunyai latar belakang berbeda-beda (heterogen).
Ideologi politik, etnis dan budaya akhirnya menjadi “kontekstual”. Yang mengikat mereka menjadi satu jaringan sosial atau membangun kerja sama atau koalisi adalah “kepentingan” – yaitu “kebutuhan” tertentu yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, ideologi politik tersingkirkan demi kepentingan perolehan suara untuk memenangkan kompetisi perebutan “power” atau mempertahankan “power” adalah suatu hal yang wajar. Jika koalisi yang dibangun seperti yang terjadi saat ini maka jelas bahwa tujuan koalisi adalah untuk memenangkan persaingan perebutan kursi kepemimpinan, bukan untuk kepentingan rakyat, meski di balik itu “siapa pun yang akan dicalonkan dan terpilih nantinya”, parpollah yang tetap lebih banyak “mengatur”.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa parpol hanyalah sebuah “sarana” menuju kursi kepemimpinan, baik bagi sang calon pemimpin eksekutif maupun para calon anggota legislatif, bukan sebuah perjuangan ideologi politik untuk mensejahterakan rakyat. Sebagai pelipur lara bagi rakyat, paling tidak lima tahun sekali mendapat hiburan gratis dan berbagai “hadiah” dari banyak parpol saat kampanye, sebagai “pengganti” kekecewaan dari wakil dan pemimpin yang telah mereka pilih lima tahun yang lalu. Bagi parpol dan para elitenya, “... sampai ketemu lagi lima tahun mendatang wahai rakyatku ...”. Lalu, bagaimana dengan pendidikan politik yang menjadi salah satu kewajiban atau “tugas suci” parpol?

Penulis adalah pengajar luar biasa dan associate Puska Antropologi FISIP UI. Juga mengajar di PTIK.

Copyright © Sinar Harapan 28 MARET 2008

Senin, 16 Maret 2009

Perlukah Fatwa Haram Golput?

Pemilu 2009 semakin dekat, sebagian besar orang, terutama para elite negeri atau lebih tepatnya elite politik, mungkin juga partai-partai politik (parpol) “wajah lama”” merasa “was-was” melihat “gelombang sunami” golongan putih (golput), yakni mereka yang tidak memilih - prosentasenya cukup signifikan di serentetan Pilkada yang telah berlangsung. Dikhawatirkan gelombang golput ini berlanjut dan mencapai puncaknya pada Pemilu 2009. Tentu saja hal ini akan berimbas pula pada perolehan suara parpol-parpol “wajah lama”. Apabila mencapai 50% tambah 1, tentunya mengancam legitimasi hasil pemilu.

Sebagian pihak, terutama politisi dan akademisi, membaca fenomena golput sebagai perwujudan dari kegagalan pranata politik (parpol) dan pranata penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mensosialisasikan pengetahuan politik kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran politik - agar warga berpartisipasi aktif – dalam bentuk menggunakan hak pilihnya pada penyelenggaraan Pemilu. Oleh karena itu, tingkat kesadaran politik masyarakat dinilai berbanding terbalik dengan jumlah golput. Semakin besar jumlah golput maka semakin rendah tingkat kesadaran politik; dan sebaliknya. Akibatnya, sebagian pihak ini, berpendapat bahwa tingkat kesadaran politik warga masyarakat masih dinilai rendah sehingga memandang golput sebagai suatu “ketidak pedulian” atas nasib bangsa dan negara.


Golput adalah hasil evaluasi
Fenomena golput sebenarnya dapat dilihat sebagai sebuah “keberhasilan” dari pranata politik di Indonesia dalam mensosialisasikan pengetahuan politik sehingga warga masyarakat mampu menilai sistem/kehidupan politik yang tengah berlangsung saat ini. Masyarakat menilai atau mengevaluasi segala perbuatan partai politik dan para politisinya. Mereka dinilai lebih mengutamakan kepentingan parpol dan pribadinya masing-masing serta menyalahgunakan wewenang yang diembannya daripada mengutamakan kepentingan negara atau rakyat banyak Maka dari itu, dalam hal ini, warga masyarakat di samping sebagai pemilih atau pendukung (potensial), juga adalah penilai sehingga golput harus dilihat sebagai sebuah “kritik membangun” bukan sebagai “ketidak-pedulian” terhadap nasib bangsa dan negara.

Parpol dan politisi serta penyelenggara negara sudah seharusnya meninggalkan anggapan bahwa kesadaran politik masyarakat Indonesia masih rendah dan masih mudah dibodohi. Rakyat mampu mengevaluasi dan menilai diri sendiri dan yang orang lain lakukan. Saat ini, warga masyarakat sudah tidak mudah tergiur dengan janji-janji politik saat kampanye. Maka wajar pula kalau golput di khawatirkan akan mencapai puncaknya di pemilu 9 April 2009 nanti jika pranata politik dan para elitnya tidak segera “berbenah diri”.

Setiap warga punya “hak dan kewajiban” selain berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa dan bernegara dalam bentuk menggunakan hak pilihnya (tidak golput), tetapi juga berkewajiban dan berhak pula untuk ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa dan negara melalui “kritik membangun” – yaitu melalui golput. Dengan demikian, golput seharusnya dilihat pula sebagai sebuah “kegagalan” pranata politik dalam mensosialisasikan para anggotanya agar berperilaku, bersikap dan bertindak demi kepentingan bangsa dan negara. Golput adalah sebuah reaksi atas kekecewaan terhadap parpol dan para elitenya. Kekecewaan atau ketidakpuasan warga terhadap kinerja parpol “wajah lama” dan para elitenya ini, juga ditandai dengan lahirnya beberapa parpol “wajah baru”.

Jika parpol dan para elitenya mampu melihat golput sebagai sebuah reaksi kekecewaan atau ketidakpuasan masyarakat dan warga pendukung sebelumnya; dan melihat bahwa masyarakat dan pendukungnya juga mampu menilai/mengevaluasi diri mereka maka sudah seharusnya golput tidak diterjemahkan sebagai bentuk “ketidak-pedulian”, atau sebagai tindakan yang tak bertanggungjawab, atau di lebel sebagai “bukan warga negara yang baik”.

Golput harus ditanggapi sebagai pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, menjadi kewajiban parpol sebagai pranata politik dan pranata negara/pemerintah untuk segera berbenah diri. Bukan menuntut “kewajiban” warga hanya karena takut kehilangan dukungan suara warga masyarakat yang justru sudah mulai cerdas.


Relevansi Fatwa
Pertanyaan selanjutnya, jika golput demikian adanya, apakah masih diperlukan Fatwa Haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Walaupun kedudukan hukum fatwa golput adalah haram tidak sekuat undang-undang atau peraturan hukum negara, hal ini dapat mengundang lahirnya regulasi lain Selain itu, fatwa juga bisa mengundang banyak pihak, baik perorangan maupun kelompok melakukan tindakan-tindakan yang katanya untuk“menegakkan ajaran agama” berdasarkan interpretasi ‘subyektif’ masing-masing. Akibatnya, bukannya tidak mungkin bisa mengganggu ketertiban dan keteraturan sosial atau mengganggu jalannya proses demokrasi.

Semoga saja parpol dan para elite politik negeri ini, bukan hanya sekedar karena kekhawatiran berkurangnya jumlah dukungan, lalu memanipulasi “ajaran agama” melalui “fatwa haram”. Selain Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan negara agama, golput juga harus dilihat sebagai bentuk reaksi atas ketidakpuasan/protes atau sebagai sebuah kritik yang membangun – di mana sebagai warga negara punya hak dan kewajiban yang sama untuk membangun bangsa dan negara ini menjadi lebih baik.

Ruddy Agusyanto
OBYEKTIF Edisi ke-2/2009

Minggu, 01 Maret 2009

Etnik Betawi di Persimpangan Jalan

Oleh
Ruddy Agusyanto

Kelompok etnik Betawi mulai dikenal sejak abad ke-19, merupakan hasil dari suatu melting pot atau percampuran dari berbagai kelompok etnik yang berasal dari berbagai wilayah di kepulauan Indonesia dan dari luar Indonesia. Orang Betawi dibedakan dari kelompok etnik lainnya sejak diadakan pencatatan penduduk/sensus pada tahun 1893. Usianya masih tergolong muda, baru seabad. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata “Batavia”, yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.
Etnik Betawi diminta untuk membedakan dirinya dari golongan-golongan lain yang ada di Jakarta pada waktu itu. Peristiwa ini menjadi landasan mulainya kesadaran mengenai siapa dirinya, menelusuri/mencari asal-usul yang paling mendasar dan umum. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, identitas Betawi ini tidak mengakar pada diri mereka, melainkan asal lokalitas wilayah-wilayah permukiman dari masing-masing komunitas Betawi yang ada di Jakarta pada waktu itu.
Identitas lokal masih begitu kuat dibanding kesadaran akan identitas bersama, misalnya orang Matraman, orang Mester, orang Kemayoran dan seterusnya. Hal ini secara tidak langsung merupakan permasalahan baru bagi orang Betawi pada saat itu karena harus mencari, menelusuri identitas etnik yang disandangnya - yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Dalam perjalanan waktu, akhirnya mereka menemukan “kesamaan” yaitu adanya tema utama dalam variasi kebudayaan mereka yaitu Islam. Lalu bahasa dan pola komunikasi yang sama berdasarkan bahasa Melayu membuat perbedaan-perbedaan yang ada dapat dijembatani dan saling menyesuaikan. Dengan tema utama kebudayaan Islam, orang Betawi secara tidak langsung memiliki kedudukan yang sama dengan orang Indonesia lainnya. Sesuai dengan kondisi saat itu bahwa yang dilawan adalah Belanda, yang bukan “Islam”. Mereka mampu bersaing dalam struktur yang lebih luas yaitu Indonesia, misalnya munculnya “Perkoempoelan Kaoem Betawi” yang didirikan oleh tokoh masyarakat Betawi Moh Hoesni Thamrin pada tahun 1923. Kesadaran mereka sebagai orang Betawi dibangkitkan.

Cenderung Merugikan
Namun, dalam beberapa kasus kehidupan nampak terlalu berlebihan sehingga mengakibatkan kerugian-kerugian terhadap kemajuan diri mereka sendiri di masa lampau. Misalnya antisekolah dan kemajuan-kemajuan yang dianggap dibawa oleh Belanda yang “bukan Islam” atau “kafir” sehingga sekolah dan kemajuan-kemajuan tersebut sama dengan “kekafiran” - biarpun nama Betawi asalnya dari Belanda.
Dalam keseharian, orang Betawi yang hidup berdampingan dengan para pendatang yang hidup di Jakarta, ciri-ciri keislaman yang berlebihan dalam kebudayaannya menjadi tidak operasional lagi yang mengakibatkan mereka menjadi kurang mampu bersaing dengan para pendatang. Persaingan dan perjuangan dalam perebutan sumber daya saat ini karena tidak lagi masalah “bukan Islam” atau masalah “kekafiran”. Untuk dapat bersaing dengan suku bangsa lain yang hidup di Jakarta adalah berdasarkan pengetahuan, keahlian, spesialisasi, kreativitas, kemandirian dan sejenisnya, selayaknya dalam kehidupan kota-kota besar lainnya. Akhirnya, semakin lama mereka semakin terdesak, tidak hanya dalam arti geografis tetapi dalam arti yang lebih luas.
Menghadapi kenyataan ini, orang Betawi melakukan adaptasi atau melakukan perubahan sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya untuk bisa survive, baik yang timbul dari kemauan sendiri ataupun dari bantuan pihak luar. Hal ini mulai menampakkan hasil, antara lain mulai masuknya anak-anak Betawi ke dunia sekolah, belajar keterampilan dan sebagainya. Sementara itu, upaya tersebut tetap tidak mampu mengubah citra orang Betawi tentang ciri-ciri identitas etnik dan kebudayaan mereka yang menekankan ciri-ciri keislamanan yang kuat – di pikiran orang bukan Betawi.
Stereotip ini di satu pihak mengungkapkan nilai-nilai kebaikan, di lain pihak mengungkapkan kelemahan. Malah, kalau kita telaah lebih jauh, cenderung merugikan ketimbang menguntungkan. Ciri-ciri baik seperti keramahan, baik hati, suka menolong, suka mengobrol, senang humor – bagi non-Betawi hanya diberlakukan untuk kepentingan pergaulan, dan sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan lawan interaksi mereka. Sementara itu, penilaian ciri-ciri yang buruk seperti boros, hidup hanya memikirkan hari ini saja, kurang maju, malas, mudah tergiur oleh bujukan dan sebagainya – jelas sangat merugikan. Sebagai contoh, masih banyak terdapat orang non-Betawi lebih suka untuk tidak memilih orang Betawi sebagai tenaga kerja.

Tidak Jauh Beda dengan Zaman Belanda
Sementara orang Betawi sedang bangkit melawan stereotip tersebut, ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan mereka melestarikan kebudayaannya. Hal ini, tanpa disadari mengandung sisi-sisi yang merugikan Betawi dan pastinya menguntungkan pihak luar. Jika yang diinginkan oleh pihak luar adalah pelestarian ciri-ciri fisik seperti kesenian dan sejenisnya, tentunya tidak jadi masalah – selama perwujudan ciri-ciri tersebut tidak mengakibatkan orang Betawi kembali pada kebudayaannya yang lama, yang sebenarnya sudah tidak operasional lagi untuk menghadapi lingkungannya saat ini, seperti tema kebudayaan “keislaman yang berlebihan”.
Terus terang, sampai saat ini masih dapat kita rasakan bahwa orang Betawi terpengaruh oleh tekanan lingkungan (non-Betawi) sehingga mereka seolah-olah berada di persimpangan jalan; di satu sisi ingin kembali ke “masa lampau”, sementara di sisi lain ingin mengejar “ketertinggalan-ketertinggalan” agar mampu berbicara di struktur sosial yang lebih luas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi yang dihadapi oleh orang Betawi saat ini tidak jauh berbeda dengan masa pencatatan penduduk pada zaman Belanda. Mereka diminta kembali untuk menentukan ciri-ciri identitas etniknya, diminta untuk membedakan dirinya terhadap orang lain.
Hal ini ditandai dengan berdirinya beberapa perkumpulan Betawi, seperti Forum Betawi Rempug (FBR) dan Forum Komunikasi Anak Betawi (FORKABI) atau Barisan Muda Betawi (BMB) dan sejenisnya di Jakarta. Etnik Batak, Minang, Bali dan lain-lain, tidak memerlukan “perkumpulan” berdasarkan etnis di daerah asalnya - Perkumpulan Minang tidak perlu ada di tanah Minang, Perkumpulan Batak tidak perlu ada di tanah Batak atau Perkumpulan Bali tidak perlu ada di Pulau Bali dan seterusnya.
Bila orang Betawi sudah mampu menentukan identitas etniknya secara mantap maka permasalahan utama orang Betawi bisa dianggap selesai, yang selanjutnya akan mengacu pada pemikiran terhadap kemajuan diri mereka di arena sosial yang lebih luas. Selama masalah identitas etnik ini belum terpecahkan maka selama itu pula orang Betawi belum bisa berkiprah lebih jauh – mereka akan sibuk mencari keyakinan diri atau sibuk dengan identitas etniknya.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK.


28 Feb 2009
Copyright © Sinar Harapan 2008

GOLPUT CALON PEMENANG PEMILU 2009

Ruddy A
Obyektif Edisi Jan 2009


Menjelang Pemilu 2009, sebagian besar orang, terutama para elite negeri ini merasa “was-was” melihat skor golongan putih (Golput), yakni mereka yang tidak memilih, prosentasenya cukup signifikan di serentetan Pilkada yang telah berlangsung. Dikhawatirkan pada Pemilu 2009 jumlah golongan ini semakin besar dan apabila mencapai 50% tambah 1, tentunya mengancam legitimasi hasil pemilu.

Banyak pihak, terutama politisi dan akademisi, melihat fenomena Golput sebagai perwujudan dari kegagalan pranata politik (partai-partai politik) dan pranata penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mensosialisasikan pengetahuan politik kepada warga masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran politik - agar warga berpartisipasi aktif – dalam bentuk menggunakan hak pilihnya pada penyelenggaraan Pemilu. Dengan kata lain, tingkat kesadaran politik masyarakat dinilai berbanding terbalik dengan jumlah golput. Semakin besar jumlah Golput maka semakin rendah tingkat kesadaran politik; dan sebaliknya. Sementara ini, sebagian besar masih berpendapat bahwa tingkat kesadaran politik warga masyarakat masih dinilai rendah.

Penilaian dan kekhawatiran akan fenomena Golput ini terjadi karena dibangun berdasarkan asumsi yang memandang manusia (warga masyarakat) adalah “pasif” atau sebagai “obyek” dan selalu patuh. Padahal, manusia itu pada dasarnya adalah “subyek aktif”, mempunyai kemampuan reflektif, yaitu kemampuan berpikir dalam menghadapi realita sehingga dia bisa memantau dirinya, bisa memonitor apa yang dirinya atau orang lain lakukan; selain itu manusia tidaklah selalu patuh.

Jika kita berangkat dari asumsi ini maka Golput bisa dipandang sebagai hasil reaksi atas kehidupan pranata politik dan penyelenggara pemilu serta pranata-pranata negara dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka Golput dapat disimpulkan sebagai sebuah pilihan sadar,


Calon Independen
Yang terjadi di berbagai Pilkada adalah para pendukung calon kepala daerah yang tidak lolos verifikasi KPUD, sebagian besar lebih memilih Golput ketimbang mengalihkan dukungannya ke calon lain. Bagi mereka, calon pemimpin daerah yang mampu dan dipercaya adalah calon kepala daerah yang didukungnya.

Munculnya calon independen, umumnya merupakan reaksi dari kekecewaan masyarakat atas perilaku atau tindakan partai politik dan para pemimpin partai-partai politik tersebut - yang tidak mewakili aspirasi mereka. Ini pula yang menjadi salah satu sebab mengapa calon perorangan perlu “dihambat”, antara lain dengan pengetatan syarat-syarat bagi mereka. Syarat dukungan minimal sebesar 3 sampai 5% dari total pemilih tentu sulit dilalui. Dari hasil pemilu 2004, hanya Golkar, PDIP, PKB, PPP, Demokrat, PKS dan PAN yang memperoleh suara di atas 3%. Partai politik besar biasanya sudah punya calon sendiri. Berharap dukungan koalisi partai partai kecil juga tidak mudah, karena masing-masing parpol punya syarat yang berbeda satu sama lain–baik syarat finansial maupun pembagian kekuasaan–yang belum tentu bisa dipenuhi oleh calon independen.

Dengan kata lain, calon pemimpin tetap “digiring” agar tetap melalui parpol. Seharusnya persyaratan bagi calon independen dipermudah dengan lebih memfokuskan pada kapabilitas dan kredibilitas sang calon. Jangan sampai calon independen gugur sebelum berperang. Jika memang tidak mewakili aspirasi mayoritas masyarakat, tentunya “calon independent” yang bersangkutan tak akan terpilih atau keluar sebagai “pemenang”.

Meski demikian, diusung parpol besarpun bukanlah jaminan bagi calon untuk memenangkan pilkada. Berlakunya sistem pemilihan langsung membuat parpol besar tidak lagi jadi penentu kemenangan. Apalagi jumlah warga yang tidak menjadi anggota parpol jauh lebih besar daripada mereka yang anggota parpol. Belum lagi sekarang ini berbagai parpol dilanda konflik internal yang pasti memecah jumlah suara pendukung mereka. Kalau pun dukungan parpol pengusung seorang calon benar-benar solid sesuai jumlahnya anggotanya, itu pun masih lebih kecil dari jumlah massa mengambang. Oleh karena itu banyak terjadi kecurangan (sengaja tidak didaftar sebagai pemilih atau muncul sejumlah pemilih ‘baru’ secara misterius dengan KTP ‘baru’) di berbagai pilkada atau karena kelalaian/ketidaksiapan pranata penyelenggara pemilu Daerah (KPUD) – entah disengaja atau tidak disengaja.

Golput adalah Keberhasilan, sekaligus Kegagalan
Berdasarkan kenyataan ini dan dengan asumsi bahwa manusia itu pada dasarnya “aktif” maka fenomena golput dalam berbagai Pilkada di tingkat kabupaten, kota dan provinsi, sebenarnya justru merupakan “keberhasilan” dari pranata politik di Indonesia dalam mensosialisasikan pengetahuan politik sehingga warga masyarakat mampu menilai situasi dan kondisi sistem/kehidupan politik yang tengah berlangsung saat ini. Warga di samping sebagai pemilih atau pendukung (potensial), juga adalah penilai.
Menjadi Golput adalah sebuah keputusan dari penilaian yang dianggapnya paling tepat. Mereka menimbang dan mematut-matut segala perbuatan partai politik serta para politisinya yang lebih mengutamakan kepentingan partai dan pribadinya masing-masing dan menyalahgunakan wewenang yang diembannya daripada mengutamakan kepentingan negara atau rakyat banyak.Golput adalah refleksi ketidakpuasan, aksi protes dan ketidakpercayaan warga masyarakat terhadap pranata politik dan elite politik atau para pemimpin bangsa saat ini, bukan karena ketidaktahuan atau karena kegagalan atau kurang berhasilnya sosialisasi.
Namun di sisi lain, Golput adalah sebuah “kegagalan” pranata politik dalam mensosialisasikan para anggota partai-partai politik agar berperilaku, bersikap dan bertindak untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian, golput adalah pekerjaan rumah bagi parpol sebagai pranata politik dan pranata negara/pemerintah untuk berbenah diri agar warga masyarakat mempunyai pilihan yang sesuai dengan penilaian warga masyarakat yang sudah mulai cerdas ini (ada yang bisa dipilih).
Untuk itu pula, partai politik dan politisi penyelenggara negara sudah seharusnya meninggalkan anggapan bahwa kesadaran politik masyarakat Indonesia masih rendah dan masih mudah dibodohi. Rakyat mampu mengevaluasi dan menilai diri sendiri dan yang orang lain lakukan. Saat ini, warga masyarakat sudah tidak mudah tergiur dengan janji-janji politik saat kampanye Pilkada. Juga nantinya saat pemilu dan Pilpres 2009. Maka menjadi suatu yang wajar kalau golput menjadi pemenang jika pranata politik dan para elitnya tidak segera “berbenah diri”..

AULIA POHAN TIKET SBY MENUJU RI-1 2009?

Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seringkali “mengejutkan” kita dengan tindakan pengungkapan kasus-kasus korupsi para pejabat, baik pejabat dari institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif mau pun lembaga lembaga non-departemen sehingga berbagai pihak mengacungkan ‘jempol’ atas prestasi KPK. Namun, dibalik prestasi kerja yang sudah diakui banyak pihak, ternyata masih ada ‘keraguan’ sebagian pihak tertentu yang menuding kalau KPK masih melakukan “tebang pilih’. Mengapa masih ada ‘kesangsian atau keraguan’ atas performance KPK?

Rasionalitas Individu / kelompok kepentingan VS Rasionalitas Organisasi
Dalam upaya memenuhi hajat hidupnya, manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain, memerlukan ‘kerja sama’ atau membina hubungan sosial dengan orang lain, baik secara/bersifat horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu, pengelompokan sosial tidak bisa dihindarkan dan akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam organisasi. Sementara itu, di sisi lain, manusia juga saling bersaing dan memanipulasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Oleh sebab itu, dalam kehidupan organisasi terdapat individu-individu/kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain, saling bekerja sama demi tujuan bersama (target-target organisasi) tapi juga saling bersaing dan saling memanipulasi untuk kepentingan-kepentingan individu atau kelompok.

Kerjasama – persaingan - konflik, dalam kehidupan organisasi adalah sebuah proses yang wajar. Distribusi kontrol atas sumberdaya-sumberdaya dan perilaku individu atau kelompok serta formasi kelompok-kelompok kepentingan yang ada saling berkompetisi dalam rangka melindungi atau untuk memperoleh kesempatan atas penguasaan sumberdaya-sumberdaya ‘berharga’ yang tersedia dalam organisasi. Hal ini juga merupakan hal yang wajar. Namun aktivitas politikal semacam ini juga bisa “tersembunyi” sebab hasil kompetisi (kebijakan, ideologi dan aturan-aturan organisasional yang lahir) selalu dikamuflase dengan cara-cara yang sedemikian rupa sehingga akan selalu tampak harmonis baik bagi para anggota maupun para pimpinan dan pusat power yang ada dalam organisasi - apalagi bagi “orang luar”.

Dari sudut pandang ini, suatu keputusan tertentu apapun tidak selalu mencerminkan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi, tetapi lebih merupakan kemampuan kelompok-kelompok tertentu dalam menentukan atau mendefinisikan situasi dan memecahkan solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh kelompok-kelompok lain. Atau, bisa dikatakan pula bahwa tidak ada satu aktivitaspun yang diambil oleh sebuah organisasi tanpa suatu ‘klaim’ bahwa hal itu adalah rasional bagi organisasi. Kemampuan untuk melahirkan keputusan atau kebijakan adalah masalah power (mendesak kelompok-kelompok lain), bukan dari superioritas rasionalitas ‘klaim’ yang dicetuskan. Oleh karena itu, keputusan atau kebijakan yang lahir dalam sebuah organisasi selalu merepresentasikan dual rasionalitas, yaitu rasionalitas individu atau sekumpulan individu dan rasionalitas organisasi. Dalam konteks ini, power memainkan peran yang krusial. Individu dan kelompok atau kelompok kuasi (jaringan sosial) memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan pengambil keputusan dan kebijakan, juga kemampuan atas akses-akses penguasaan sumberdaya-sumberdaya organisasional. Oleh sebab itu membina hubungan dengan orang-orang yang menduduki posisi yang menyandang wewenang/power tertentu menjadi sangat penting.

Korupsi adalah Tindakan Kolektif
Tak satu organisasipun yang terpisah dari para aktornya; selalu terdapat aktor-aktor tertentu yang mencoba membujuk membelokkan kualitas ‘sistem’ dalam organisasi, seperti yang dikemukakan oleh Giddens dalam teorinya strukturasi. Meskipun demikian, issue kunci tetap pada “cara-cara” bagaimana organisasi berusaha untuk mengkontrol dan memonitor potensi disorganisasi di dalam dirinya sendiri, dan hal ini tak dapat dihindari. Di dalam semua sistem sosial selalu terjadi dialektika kontrol antara individu dan struktur. Individu adalah subyek aktif, oleh karena itu struktur sosial dapat ditawar atau diubah melalui tindakan sosial para anggotanya, sebab individu mempunyai kemampuan reflektif, yaitu kemampuan transformatif. Maka dari itu, issue sentral dalam studi organisasi selalu memusatkan perhatian pada : (1) Hubungan antara aktor-aktor sebagai subyek individual dengan berbagai tujuan dan kepentingan mereka sendiri-sendiri; (2) Organisasi sebagai sebuah struktur kontrol, monitoring, dan koordinasi yang mencoba menuntun para aktor tersebut untuk bertindak sesuai ‘bagi’ organisasi sebagai sebuah sistem.

Organisasi/institusi selalu melibatkan suatu kerjasama sejumlah sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik ke dalam suatu mekanisme kontrol, monitoring dan koordinasi (KMK) yang 'rapi' agar supaya tujuan-tujuan tertentu atau target-target organisasi/institusi yang bersangkutan mampu dicapai. Tanpa adanya KMK - tujuan-tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai. Semakin kompleks sebuah organisasi/institusi tentunya sistem KMK yang diciptakan akan semakin ‘ketat’ pula. Demikian pula halnya dengan organisasi/institusi di lembaga lembaga tinggi negara seperti DPR, Mahkamah Agung, departemen dan badan badan non-departemen, sampai ke pemerintahan daerah, dimana masing-masing unit dan sub-unit di dalamnya terjalin kerjasama dan saling monitoring sebagai kontrol terhadap kinerja dan pencapaian target; bahkan diciptakan pula KMK interdepartement, yakni antar organisasi/institusi di lingkungan legislatif, eksekutif, yudikatif, agar tindakan penyimpangan apapun sulit untuk ‘lolos’ dari sistem KMK yang ada. Kondisi sistem KMK yang sedemikian kompleks dan canggih ini, tentunya akan sulit dilanggar oleh perseorangan. Untuk bisa melakukan pelanggaran agar tidak ketahuan – tentunya harus “bekerjasama” dengan sub-sub sistem yang ada dalam organisasi/institusi yang bersangkutan – yaitu dengan orang-orang yang punya ‘wewenang/power’ atas tujuan yang diperjuangkan. Dengan kata lain, tindak pidana korupsi sangat sulit atau hampir bisa dikatakan ‘mustahil’ untuk dilakukan oleh perseorangan.

Dengan demikian, jika dalam kasus tindak pidana korupsi terungkap bahwa “penyelewengan” tersebut dilakukan oleh perseorangan, maka hal ini justru menimbulkan “pertanyaan besar”, sebab tindak pidana korupsi di organisasi/institusi (apalagi) setingkat “lembaga tinggi negara” seharusnya hanya mampu dilakukan oleh tindakan “kelompok” (kolektif). Inilah yang mungkin membuat sebagian pihak masih meragukan atas kinerja KPK atau masih adanya anggapan bahwa KPK masih melakukan “tebang pilih”. Jika tindakan korupsi adalah sebuah tindakan kolektif, maka tindakan korupsi perorangan, yaitu dengan “tertangkapnya” seseorang oleh KPK bisa dikatakan merupakan “kambing hitam” dari kolektifnya – untuk melindungi kelompoknya. Atau, telah terjadi negosiasi dan tercapai “kesepakatan” tertentu antara KPK dan “kelompok-kelompok” koruptor ini. Apabila fakta yang terjadi demikian, maka jangan heran jika KPK dituduh telah menjadi atau bisa dijadikan ‘alat’ untuk menyerang/menjatuhkan kelompok-kelompok tertentu oleh kelompok-kelompok tertentu lainnya – apalagi menjelang Pemilihan Umum (pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Atau, apakah kelompok-kelompok koruptor ini memang sedemikian “powerfull” nya sehingga KPK belum sanggup ‘menembusnya’?.

Apapun yang terjadi, dengan kinerja KPK yang sudah berani menindak Aulia Pohan yang notabene adalah “besan” presiden SBY merupakan suatu prestasi yang layak mendapat acungan jempol, yang mungkin sementara waktu ini bisa menjawab atau mematahkan pendapat sebagian pihak yang masih meragukan kinerja KPK (yang masih tebang-pilih). Meski demikian, KPK belum bisa menikmati “pujian” dengan “membusungkan dada” bahwa mereka telah membuktikan “ke-independen-an” dirinya. Sebagian pihak berpendapat bahwa mungkin saja “gebrakan” atas penetapan status terdakwa Aulia Pohan oleh KPK merupakan bagian dari skenario besar “Tim Sukses” SBY sebagai “tiket” SBY menuju kursi RI-1 di pilpres 2009 mendatang. Hal ini diperkuat dengan adanya “kelambanan” penanganan KPK atas kasus Aulia Pohan - yang seolah-olah diperlukan “ijin” dari SBY, padahal Aulia Pohan hanyalah seorang “besan” SBY – jika dibandingkan dengan kasus-kasus lain yang sudah ditanganinya.

Sekali lagi, bravo KPK, kami terus menunggu prestasi-prestasi kerja berikutnya – seperti kasus “lumpur Lapindo” dan sederetan kasus-kasus lainnya yang menunggu “gebrakan” KPK – bukan untuk menghapus “keraguan” sebagian pihak atas prestasi kerja, tetapi demi kesejahteraan Bangsa dan Negara.

Ruddy A
Obyektif
Edisi Jan 2009

Rabu, 28 Januari 2009

PERBEDAAN BUKANLAH MASALAH (Ruddy A)

PERBEDAAN BUKANLAH MASALAH
Majalah OBYEKTIF Edisi Januari 2009


PERBEDAAN tidak menyebabkan manusia konflik dengan manusia lainnya. Jika kita melihat ada korban kecelakaan dijalan, kita tidak bertanya dulu pada korban – “anda sukubangsa apa?” – baru kita menolongnya. Atau saat akan berbelanja ke pasar, apakah kita bertanya kepada penjual dengan pertanyaan serupa – “Ibu atau Bapak dari sukubangsa apa? Agamanya apa? - baru kita memutuskan untuk membeli barang yang kita perlukan atau tidak? Justru sebaliknya, kita bekerja pada perusahaan atau institusi yang sama meski dengan latar belakang yang berbeda satu sama lain, dan tidak terjadi konflik. Kita bisa berteman dan saling bekerja sama.

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, di manapun dia hidup dan tinggal, kerjasama merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Jelas bahwa manusia membutuhkan manusia lainnya. Tidak hanya untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dasar. Untuk tujuan-tujuan tertentu yang ingin mereka capai, juga diperlukan tindakan bersama atau kerjasama sebab kalau dilakukan sendiri, secara ekonomi akan merugikan - dengan kerjasama akan lebih menguntungkan, misalnya pembentukan asosiasi-asosiasi dalam rangka menghadapi monopoli. Atau, kerjasama untuk melawan pesaing dalam perebutan sumberdaya, rejeki, kehormatan atau sesuatu yang ‘langka’ dan dihargai.

Sementara itu, di sisi lain, meski manusia memang saling mendukung tetapi juga saling bertentangan satu sama lainnya. Saling tergantung satu sama lain, tapi juga saling manipulasi untuk mencapai tujuannya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan pada dasarnya manusia itu juga tidak selalu patuh.

Bila, salah satu dari kebutuhan tersebut merupakan sesuatu yang “langka”/terbatas sehingga tidak mampu mengcover semua kebutuhan semua manusia yang memerlukan, maka persaingan pun akan terjadi. Persaingan/kompetisi merupakan proses perjuangan untuk memperoleh sesuatu yang berharga dan terbatas jumlahnya. Persaingan hanya dapat dilakukan oleh para pesaing yang seimbang derajat kekuatannya. Sebagai contoh, dalam olah raga tinju dibagi ke dalam kelas-kelas. Kalau tidak seimbang, yang terjadi adalah dominasi. Oleh karena itu, Dalam persaingan pun diperlukan peraturan / aturan yang disetujui bersama dan harus ditaati oleh mereka yang bersaing. Aturan-aturan tersebut harus mencakup ketentuan bahwa setiap persaingan, tujuan utamanya adalah memenangkan persaingan sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, juga diperlukan adanya wasit / juri – agar proses persaingan berjalan sesuai aturan-aturan yang berlaku. Disinilah pentingnya peran wasit dan juri (harus dipercaya oleh semua pihak).

Dalam persaingan seringkali terjadi salah satu pihak atau masing-masing pihak saling mengaktifkan “identitas kolektif” untuk mendapatkan dukungan “kolektif” agar mampu memenangkan persaingan. Hal ini adalah suatu yang wajar, seperti contoh terbentuknya asosiasi-asosiasi - memanipulasi atau mengaktifkan “perbedaan” yang melekat pada dirinya dan pesaingnya guna mendapatkan dukungan kolektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Proses kerjasama dan persaingan ini dapat berubah dan berwujud sebagai masalah sosial jika ada salah satu peserta persaingan merasa dirugikan (kepentingan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta moral yang berlaku dalam masyarakat) sehingga terjadilah konflik. Menurut Dahren dorf, konflik adalah tindakan permusuhan antara dua pihak, yang terwujud sebagai tindakan-tindakan saling menghancurkan untuk memenangkan sesuatu. Dalam prosesnya seringkali pihak-pihak yang konflik lupa akan tujuan utama yang hendak dicapainya karena saat berada dalam proses konflik, yang terjadi adalah saling menghancurkan (emosional) dan bukan lagi untuk memperebutkan sumberdaya atau kehormatan yang diinginkan.


KONFLIK SOSIAL
Konflik antara dua individu yang berbeda sukubangsa atau keyakinan bisa menjadi konflik regional atau nasional - atau berhenti hanya pada mereka berdua saja. Konflik perorangan berbeda dengan konflik sosial. Konflik sosial adalah konflik golongan sosial (antar golongan sosial) – bisa mewakili sukubangsa, agama, ideologi (“kolektif”) yang sedang terlibat konflik. Oleh karena itu, identitas yang muncul dalam konflik sosial adalah identitas kolektif. Jika konflik perseorangan berubah menjadi konflik sosial, maka identitas/jati diri individual pun berubah menjadi golongan sosial (identitas kolektif). Sebagai contoh, kasus konflik sosial yang saling menghancurkan antara Israel – Palestina misalnya, sumber konfliknya adalah perebutan sumber air Sungai Yordan (konflik ini tidak akan berhenti sebab sumber air tersebut adalah sumber air satu-satunya untuk kedua negara tersebut), yang sampai ke Indonesia berubah menjadi isu konflik “agama”.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, konflik sosial ini harus dicegah sebisa mungkin karena akibatnya adalah “penghancuran” salah satu atau masing-masing pesaing secara “kolektif” – bisa menjadi konflik regional bahkan nasional. Jadi, konflik perseorangan pun harus dicermati agar tidak menjadi konflik sosial. Untuk itu, kita (masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama), terutama para penegak hukum yang menjadi “wasit” atau “juri” harus sensitif terhadap potensi konflik sosial ini.

Mengingat Indonesia terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya, sukubangsa dan agama, dan perkembangan belakangan ini banyak terjadi konflik sosial di berbagai daerah Pilkada serta munculnya gerakan sosial untuk memisahkan diri dari Indonesia, bisa dikatakan bahwa Integrasi Indonesia “rapuh” atau “rawan konflik”. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia menuju multikultur yang demokratis “yang sesungguhnya” (berbeda dalam kesetaraan), saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada sebab perbedaan itu sendiri bukanlah sumber konflik atau yang membuat kita saling bermusuhan atau saling menghancurkan satu sama lain.

Kerjasama dan persaingan adalah wajar dalam kehidupan. Bekerjasama, membentuk asosiasi-asosiasi atau berkoalisi sangat diharapkan jika tujuannya untuk kepentingan bersama (bangsa dan negara) atau selama tidak merugikan pihak lain. Rupanya, “kerjasama” atau “persatuan” ini masih merupakan masalah bagi bangsa Indonesia – dari deklarasi proklamasi kemerdekaan hingga sekarang. Oleh karena itu, “bersatu” ini seolah-olah masih menjadi sebuah “cita-cita” bagi banyak pihak sehingga setelah “persatuan” sudah tercapai, mereka menggunakannya untuk memperebutkan dan melanggengkan kekuasaan atau korupsi seperti yang marak saat ini terjadi sebab mereka tidak/belum merumuskan cita-cita bersama yang lebih besar (cita-cita Bangsa) – hanya untuk tujuan memenangkan persaingan (bahkan tidak jarang untuk tujuan saling menghancurkan). “Kerjasama” atau “bersatu” hanyalah sebuah sarana untuk mencapai apa yang dicita-citakan, bukan sebagai cita-cita.

Penulis adalah Pengajar Luar Biasa dan Associate Researcher Pusat Kajian Antropologi–FISIP UI, Pusat Analisa Jaringan Sosial. Juga mengajar di PTIK