Senin, 16 Maret 2009

Perlukah Fatwa Haram Golput?

Pemilu 2009 semakin dekat, sebagian besar orang, terutama para elite negeri atau lebih tepatnya elite politik, mungkin juga partai-partai politik (parpol) “wajah lama”” merasa “was-was” melihat “gelombang sunami” golongan putih (golput), yakni mereka yang tidak memilih - prosentasenya cukup signifikan di serentetan Pilkada yang telah berlangsung. Dikhawatirkan gelombang golput ini berlanjut dan mencapai puncaknya pada Pemilu 2009. Tentu saja hal ini akan berimbas pula pada perolehan suara parpol-parpol “wajah lama”. Apabila mencapai 50% tambah 1, tentunya mengancam legitimasi hasil pemilu.

Sebagian pihak, terutama politisi dan akademisi, membaca fenomena golput sebagai perwujudan dari kegagalan pranata politik (parpol) dan pranata penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mensosialisasikan pengetahuan politik kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran politik - agar warga berpartisipasi aktif – dalam bentuk menggunakan hak pilihnya pada penyelenggaraan Pemilu. Oleh karena itu, tingkat kesadaran politik masyarakat dinilai berbanding terbalik dengan jumlah golput. Semakin besar jumlah golput maka semakin rendah tingkat kesadaran politik; dan sebaliknya. Akibatnya, sebagian pihak ini, berpendapat bahwa tingkat kesadaran politik warga masyarakat masih dinilai rendah sehingga memandang golput sebagai suatu “ketidak pedulian” atas nasib bangsa dan negara.


Golput adalah hasil evaluasi
Fenomena golput sebenarnya dapat dilihat sebagai sebuah “keberhasilan” dari pranata politik di Indonesia dalam mensosialisasikan pengetahuan politik sehingga warga masyarakat mampu menilai sistem/kehidupan politik yang tengah berlangsung saat ini. Masyarakat menilai atau mengevaluasi segala perbuatan partai politik dan para politisinya. Mereka dinilai lebih mengutamakan kepentingan parpol dan pribadinya masing-masing serta menyalahgunakan wewenang yang diembannya daripada mengutamakan kepentingan negara atau rakyat banyak Maka dari itu, dalam hal ini, warga masyarakat di samping sebagai pemilih atau pendukung (potensial), juga adalah penilai sehingga golput harus dilihat sebagai sebuah “kritik membangun” bukan sebagai “ketidak-pedulian” terhadap nasib bangsa dan negara.

Parpol dan politisi serta penyelenggara negara sudah seharusnya meninggalkan anggapan bahwa kesadaran politik masyarakat Indonesia masih rendah dan masih mudah dibodohi. Rakyat mampu mengevaluasi dan menilai diri sendiri dan yang orang lain lakukan. Saat ini, warga masyarakat sudah tidak mudah tergiur dengan janji-janji politik saat kampanye. Maka wajar pula kalau golput di khawatirkan akan mencapai puncaknya di pemilu 9 April 2009 nanti jika pranata politik dan para elitnya tidak segera “berbenah diri”.

Setiap warga punya “hak dan kewajiban” selain berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa dan bernegara dalam bentuk menggunakan hak pilihnya (tidak golput), tetapi juga berkewajiban dan berhak pula untuk ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa dan negara melalui “kritik membangun” – yaitu melalui golput. Dengan demikian, golput seharusnya dilihat pula sebagai sebuah “kegagalan” pranata politik dalam mensosialisasikan para anggotanya agar berperilaku, bersikap dan bertindak demi kepentingan bangsa dan negara. Golput adalah sebuah reaksi atas kekecewaan terhadap parpol dan para elitenya. Kekecewaan atau ketidakpuasan warga terhadap kinerja parpol “wajah lama” dan para elitenya ini, juga ditandai dengan lahirnya beberapa parpol “wajah baru”.

Jika parpol dan para elitenya mampu melihat golput sebagai sebuah reaksi kekecewaan atau ketidakpuasan masyarakat dan warga pendukung sebelumnya; dan melihat bahwa masyarakat dan pendukungnya juga mampu menilai/mengevaluasi diri mereka maka sudah seharusnya golput tidak diterjemahkan sebagai bentuk “ketidak-pedulian”, atau sebagai tindakan yang tak bertanggungjawab, atau di lebel sebagai “bukan warga negara yang baik”.

Golput harus ditanggapi sebagai pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, menjadi kewajiban parpol sebagai pranata politik dan pranata negara/pemerintah untuk segera berbenah diri. Bukan menuntut “kewajiban” warga hanya karena takut kehilangan dukungan suara warga masyarakat yang justru sudah mulai cerdas.


Relevansi Fatwa
Pertanyaan selanjutnya, jika golput demikian adanya, apakah masih diperlukan Fatwa Haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Walaupun kedudukan hukum fatwa golput adalah haram tidak sekuat undang-undang atau peraturan hukum negara, hal ini dapat mengundang lahirnya regulasi lain Selain itu, fatwa juga bisa mengundang banyak pihak, baik perorangan maupun kelompok melakukan tindakan-tindakan yang katanya untuk“menegakkan ajaran agama” berdasarkan interpretasi ‘subyektif’ masing-masing. Akibatnya, bukannya tidak mungkin bisa mengganggu ketertiban dan keteraturan sosial atau mengganggu jalannya proses demokrasi.

Semoga saja parpol dan para elite politik negeri ini, bukan hanya sekedar karena kekhawatiran berkurangnya jumlah dukungan, lalu memanipulasi “ajaran agama” melalui “fatwa haram”. Selain Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan negara agama, golput juga harus dilihat sebagai bentuk reaksi atas ketidakpuasan/protes atau sebagai sebuah kritik yang membangun – di mana sebagai warga negara punya hak dan kewajiban yang sama untuk membangun bangsa dan negara ini menjadi lebih baik.

Ruddy Agusyanto
OBYEKTIF Edisi ke-2/2009

Tidak ada komentar: