Minggu, 01 Maret 2009

AULIA POHAN TIKET SBY MENUJU RI-1 2009?

Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seringkali “mengejutkan” kita dengan tindakan pengungkapan kasus-kasus korupsi para pejabat, baik pejabat dari institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif mau pun lembaga lembaga non-departemen sehingga berbagai pihak mengacungkan ‘jempol’ atas prestasi KPK. Namun, dibalik prestasi kerja yang sudah diakui banyak pihak, ternyata masih ada ‘keraguan’ sebagian pihak tertentu yang menuding kalau KPK masih melakukan “tebang pilih’. Mengapa masih ada ‘kesangsian atau keraguan’ atas performance KPK?

Rasionalitas Individu / kelompok kepentingan VS Rasionalitas Organisasi
Dalam upaya memenuhi hajat hidupnya, manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain, memerlukan ‘kerja sama’ atau membina hubungan sosial dengan orang lain, baik secara/bersifat horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu, pengelompokan sosial tidak bisa dihindarkan dan akan selalu terjadi di mana manusia hidup dan tinggal, tak terkecuali di dalam organisasi. Sementara itu, di sisi lain, manusia juga saling bersaing dan memanipulasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Oleh sebab itu, dalam kehidupan organisasi terdapat individu-individu/kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain, saling bekerja sama demi tujuan bersama (target-target organisasi) tapi juga saling bersaing dan saling memanipulasi untuk kepentingan-kepentingan individu atau kelompok.

Kerjasama – persaingan - konflik, dalam kehidupan organisasi adalah sebuah proses yang wajar. Distribusi kontrol atas sumberdaya-sumberdaya dan perilaku individu atau kelompok serta formasi kelompok-kelompok kepentingan yang ada saling berkompetisi dalam rangka melindungi atau untuk memperoleh kesempatan atas penguasaan sumberdaya-sumberdaya ‘berharga’ yang tersedia dalam organisasi. Hal ini juga merupakan hal yang wajar. Namun aktivitas politikal semacam ini juga bisa “tersembunyi” sebab hasil kompetisi (kebijakan, ideologi dan aturan-aturan organisasional yang lahir) selalu dikamuflase dengan cara-cara yang sedemikian rupa sehingga akan selalu tampak harmonis baik bagi para anggota maupun para pimpinan dan pusat power yang ada dalam organisasi - apalagi bagi “orang luar”.

Dari sudut pandang ini, suatu keputusan tertentu apapun tidak selalu mencerminkan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi, tetapi lebih merupakan kemampuan kelompok-kelompok tertentu dalam menentukan atau mendefinisikan situasi dan memecahkan solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh kelompok-kelompok lain. Atau, bisa dikatakan pula bahwa tidak ada satu aktivitaspun yang diambil oleh sebuah organisasi tanpa suatu ‘klaim’ bahwa hal itu adalah rasional bagi organisasi. Kemampuan untuk melahirkan keputusan atau kebijakan adalah masalah power (mendesak kelompok-kelompok lain), bukan dari superioritas rasionalitas ‘klaim’ yang dicetuskan. Oleh karena itu, keputusan atau kebijakan yang lahir dalam sebuah organisasi selalu merepresentasikan dual rasionalitas, yaitu rasionalitas individu atau sekumpulan individu dan rasionalitas organisasi. Dalam konteks ini, power memainkan peran yang krusial. Individu dan kelompok atau kelompok kuasi (jaringan sosial) memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan pengambil keputusan dan kebijakan, juga kemampuan atas akses-akses penguasaan sumberdaya-sumberdaya organisasional. Oleh sebab itu membina hubungan dengan orang-orang yang menduduki posisi yang menyandang wewenang/power tertentu menjadi sangat penting.

Korupsi adalah Tindakan Kolektif
Tak satu organisasipun yang terpisah dari para aktornya; selalu terdapat aktor-aktor tertentu yang mencoba membujuk membelokkan kualitas ‘sistem’ dalam organisasi, seperti yang dikemukakan oleh Giddens dalam teorinya strukturasi. Meskipun demikian, issue kunci tetap pada “cara-cara” bagaimana organisasi berusaha untuk mengkontrol dan memonitor potensi disorganisasi di dalam dirinya sendiri, dan hal ini tak dapat dihindari. Di dalam semua sistem sosial selalu terjadi dialektika kontrol antara individu dan struktur. Individu adalah subyek aktif, oleh karena itu struktur sosial dapat ditawar atau diubah melalui tindakan sosial para anggotanya, sebab individu mempunyai kemampuan reflektif, yaitu kemampuan transformatif. Maka dari itu, issue sentral dalam studi organisasi selalu memusatkan perhatian pada : (1) Hubungan antara aktor-aktor sebagai subyek individual dengan berbagai tujuan dan kepentingan mereka sendiri-sendiri; (2) Organisasi sebagai sebuah struktur kontrol, monitoring, dan koordinasi yang mencoba menuntun para aktor tersebut untuk bertindak sesuai ‘bagi’ organisasi sebagai sebuah sistem.

Organisasi/institusi selalu melibatkan suatu kerjasama sejumlah sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik ke dalam suatu mekanisme kontrol, monitoring dan koordinasi (KMK) yang 'rapi' agar supaya tujuan-tujuan tertentu atau target-target organisasi/institusi yang bersangkutan mampu dicapai. Tanpa adanya KMK - tujuan-tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai. Semakin kompleks sebuah organisasi/institusi tentunya sistem KMK yang diciptakan akan semakin ‘ketat’ pula. Demikian pula halnya dengan organisasi/institusi di lembaga lembaga tinggi negara seperti DPR, Mahkamah Agung, departemen dan badan badan non-departemen, sampai ke pemerintahan daerah, dimana masing-masing unit dan sub-unit di dalamnya terjalin kerjasama dan saling monitoring sebagai kontrol terhadap kinerja dan pencapaian target; bahkan diciptakan pula KMK interdepartement, yakni antar organisasi/institusi di lingkungan legislatif, eksekutif, yudikatif, agar tindakan penyimpangan apapun sulit untuk ‘lolos’ dari sistem KMK yang ada. Kondisi sistem KMK yang sedemikian kompleks dan canggih ini, tentunya akan sulit dilanggar oleh perseorangan. Untuk bisa melakukan pelanggaran agar tidak ketahuan – tentunya harus “bekerjasama” dengan sub-sub sistem yang ada dalam organisasi/institusi yang bersangkutan – yaitu dengan orang-orang yang punya ‘wewenang/power’ atas tujuan yang diperjuangkan. Dengan kata lain, tindak pidana korupsi sangat sulit atau hampir bisa dikatakan ‘mustahil’ untuk dilakukan oleh perseorangan.

Dengan demikian, jika dalam kasus tindak pidana korupsi terungkap bahwa “penyelewengan” tersebut dilakukan oleh perseorangan, maka hal ini justru menimbulkan “pertanyaan besar”, sebab tindak pidana korupsi di organisasi/institusi (apalagi) setingkat “lembaga tinggi negara” seharusnya hanya mampu dilakukan oleh tindakan “kelompok” (kolektif). Inilah yang mungkin membuat sebagian pihak masih meragukan atas kinerja KPK atau masih adanya anggapan bahwa KPK masih melakukan “tebang pilih”. Jika tindakan korupsi adalah sebuah tindakan kolektif, maka tindakan korupsi perorangan, yaitu dengan “tertangkapnya” seseorang oleh KPK bisa dikatakan merupakan “kambing hitam” dari kolektifnya – untuk melindungi kelompoknya. Atau, telah terjadi negosiasi dan tercapai “kesepakatan” tertentu antara KPK dan “kelompok-kelompok” koruptor ini. Apabila fakta yang terjadi demikian, maka jangan heran jika KPK dituduh telah menjadi atau bisa dijadikan ‘alat’ untuk menyerang/menjatuhkan kelompok-kelompok tertentu oleh kelompok-kelompok tertentu lainnya – apalagi menjelang Pemilihan Umum (pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Atau, apakah kelompok-kelompok koruptor ini memang sedemikian “powerfull” nya sehingga KPK belum sanggup ‘menembusnya’?.

Apapun yang terjadi, dengan kinerja KPK yang sudah berani menindak Aulia Pohan yang notabene adalah “besan” presiden SBY merupakan suatu prestasi yang layak mendapat acungan jempol, yang mungkin sementara waktu ini bisa menjawab atau mematahkan pendapat sebagian pihak yang masih meragukan kinerja KPK (yang masih tebang-pilih). Meski demikian, KPK belum bisa menikmati “pujian” dengan “membusungkan dada” bahwa mereka telah membuktikan “ke-independen-an” dirinya. Sebagian pihak berpendapat bahwa mungkin saja “gebrakan” atas penetapan status terdakwa Aulia Pohan oleh KPK merupakan bagian dari skenario besar “Tim Sukses” SBY sebagai “tiket” SBY menuju kursi RI-1 di pilpres 2009 mendatang. Hal ini diperkuat dengan adanya “kelambanan” penanganan KPK atas kasus Aulia Pohan - yang seolah-olah diperlukan “ijin” dari SBY, padahal Aulia Pohan hanyalah seorang “besan” SBY – jika dibandingkan dengan kasus-kasus lain yang sudah ditanganinya.

Sekali lagi, bravo KPK, kami terus menunggu prestasi-prestasi kerja berikutnya – seperti kasus “lumpur Lapindo” dan sederetan kasus-kasus lainnya yang menunggu “gebrakan” KPK – bukan untuk menghapus “keraguan” sebagian pihak atas prestasi kerja, tetapi demi kesejahteraan Bangsa dan Negara.

Ruddy A
Obyektif
Edisi Jan 2009

Tidak ada komentar: